Epidemiolog UGM: Abai Prokes Jadi Faktor Kenaikan Tajam Covid-19

Kenaikan tajam Covid-19 tak 100% karena varian baru.

oleh Anugerah Ayu Sendari diperbarui 23 Jun 2021, 10:40 WIB
Pengendara motor melintasi mural bertema imbauan protokol kesehatan COVID-19 di kawasan Cakung Barat, Jakarta, Minggu (18/10/2020). Mural karya warga setempat tersebut bertujuan mengingatkan masyarakat akan pentingnya memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Yogyakarta Indonesia dengan mengalami tren kenaikan kasus Covid-19 selama beberapa minggu terakahir. Di Yogyakarta jumlah pasien Covid-19 terus meningkat dan puncaknya terjadi penambahan 638 kasus pada Sabtu (19/6/2021). Ini merupakan angka pasien positif Covid-19 tertinggi sejak awal pandemi di Yogyakarta.

Munculnya varian baru Covid-19 menjadi faktor meningkatnya angka ini. Namun, kenaikan tajam kasus positif virus corona ini menurut epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama, bukan disebabkan varian baru saja. Kenaikan ini juga hasil dari masyarakat yang abai akan protokol kesehatan seperti mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan dan membatasi mobilisasi.

“Kenaikan wajar karena 3T kurang dan masyarakatnya abai sama 5M,” kata Bayu Satria dalam keterangan resminya, Senin (21/6/2021).

2 dari 4 halaman

Perlu evaluasi kebijakan

Petugas saat melakukan operasi yustisi protokol kesehatan untuk meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan warga di Lebek Bulus, Jakarta, Senin (14/9/2020). Pemprov DKI memperketat kembali PSBB karena kasus Covid-19 mengalami peningkatan. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Selain itu, pemerintah dinilai masih kurang dalam melaksanakan upaya pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing) dan perawatan (treatment) atau dikenal dengan istilah 3T. Naiknya jumlah kasus Covid-19 akhir-akhir ini, menurut Bayu, menyebabkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) perlu dievaluasi apalagi masyarakat semakin abai akan protokol kesehatan.

“PPKM mikro harus dievaluasi. Jangan diperpanjang tanpa evaluasi apapun karena kita tidak tahu kendala apa yang menyebabkan gagalnya PPMKM mikro. Selain masalah 5M yang tidak dijalankan masyarakat, ada peran pemerintah yang kurang disana terutama soal lawan hoaks dan orang-orang yang suka menyebarkan informasi salah,” tegasnya.

3 dari 4 halaman

Tidak bisa disamakan dengan negara lain

Pejalan kaki melintasi mural bertemakan Imbauan Protokol Kesehatan Covid-19 di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Minggu (25/10/2020). Gubernur DKI Anies Baswedan kembali memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) masa transisi hingga 8 November 2020. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Meski kenaikan kasus positif Covid-19 tidak hanya terjadi di tanah air, namun beberapa negara yang dulunya dianggap sukses menekan laju covid mengalami hal yang sama. Soal ini Bayu tidak sependapat bahwa kenaikan ini menjadi alasan, sebab kondisi Indonesia dan negara lain berbeda.

“Di Indonesia dari awal pemerintahnya tidak solid, 3T tidak merata dan cenderung kurang semua di banyak daerah. Lalu, masyarakat sering abai, kita lebih parah lagi,” ungkapnya.

Disamping itu, Bayu menilai varian baru bukan 100% penyebab utama dari naiknya kasus Covid-19 di tanah air. Ini melainkan merupakan kombinasi antara protokol kesehatan yang dilanggar terus menerus, disertai varian baru.

4 dari 4 halaman

Wacana lockdown

Suasana permukiman warga RT 003 RW 003, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung saat mikro lockdown, Jakarta, Selasa (25/5/2021). Jumlah warga yang tepapar Covid-19 di wilayah ini bertambah menjadi 104 orang akibat klaster silaturahmi saat Lebaran kemarin. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Baru-baru ini wacana lockdown santer terdengar lagi. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X juga sempat mewacanakan lockdown di wilayah DIY. Namun, akhirnya ide tersebut belum jadi dilaksanakan.

Soal munculnya wacana untuk melakukan lockdown untuk menekan laju kenaikan Covid-19, Bayu menyarankan pemerintah pusat dan daerah jangan terburu-buru dalam mengambil suatu kebijakan. Sebab, menurutnya apapun kebijakan yang diambil harus dilakukan dengan mempertimbangkan data yang jelas.

“Harus ada dasar yang jelas dari data maupun lainnya termasuk aspek epidemiologinya. Yang sering terjadi adalah kebijakan diambil tanpa pertimbangan yang jelas kemudian tidak pernah dievaluasi,” pungkasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya