Tekan Prevalensi Merokok, Perlu Strategi Komunikasi yang Efektif

Peringatan gambar kesehatan dinilai belum berhasil menurunkan prevalensi merokok di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Mei 2021, 15:49 WIB
Tiga orang memakai topeng menyeramkan dalam aksi teaterikal "Indonesia Harus Melek Bahaya Merokok", Jakarta, Selasa (24/06/2014) (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Belum berhasilnya upaya untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia melalui peringatan gambar kesehatan disebabkan karena strategi tersebut belum tersegmentasi secara kategoriusia. Untuk itu, pemerintah diminta untuk menerapkan strategi komunikasi yang berbeda agar lebih efektif.

“Perlu strategi komunikasi secara tersegmentasi untuk mengedukasi masyarakat, karena perokok berat berbeda dengan perokok ringan. Begitu juga latar belakang usia, pendidikan dan pekerjaan berbeda karakteristiknya,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Kholil, dikutip Senin (10/5/2021).

Berdasarkan hasil kajian ilmiah terhadap 930 responden yang melibatkan sejumlah akademisi, dokter, tenaga kesehatan, perokok, dan pengguna produk tembakau alternatif, Kholil mengungkapkan hanya sekitar 7,96 persen yang memilih opsi label peringatan kesehatan sebagai strategi yang sesuai agar perokok berhenti merokok. Sebesar 29,89 persen edukasi memilih edukasi melalui media online, 27,42 persen diskusi komunikasi tersegmentasi, dan 22,47 persen regulasi.

“Edukasi melalui bungkus rokok itu sama, padahal dari segi pemahaman, karakteristik, perilaku para perokok itu berbeda-beda. Kalau digeneralisasi seperti sekarang ini, tidak efektif. Jadi harus dilakukan pendekatan secara tersegmentasi,” ujar Kholil.

Guru Besar Universitas Sahid Jakarta ini menjelaskan strategi komunikasi bagi perokok usia 25-35 tahun perlu dengan cara meningkatkan kesadaran mengenai hidup sehat tanpa rokok, pengetahuan tentang perbedaan nikotin dan TAR, preferensi untuk memilih hidup sehat, serta aksi untuk berhenti merokok secara bertahap.

“Apa sih yang jadi bahaya merokok itu? Jadi bahaya rokok ada pada TAR yang muncul karena pembakaran tembakau, kemudian menghasilkan karsinogen,” kata dia.

Terkait dengan aksi untuk berhenti merokok secara bertahap, Kholil melanjutkan perokok dewasa bisa beralih ke produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik. Sebab, untuk berhenti merokok secara langsung sangatlah sulit. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Penyebaran Informasi Akurat

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Namun, hal ini perlu didukung dengan penyebaran informasi akurat mengenai produk tembakau alternatif. Sebab, sebanyak 52,4 persen responden mengaku belum mengetahui adanya produk tembakau alternatif yang memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok.

“Pemerintah harus mendukung keputusan masyarakat yang mencoba untuk mengurangi rokok. Hasil temuan kami menunjukkan bahwa produk tembakau alternatif dapat membantu mengurangi bahaya rokok. Paling bagus tentu adalah berhenti merokok, tapi itu tidak mudah,” ungkap Kholil.

Selain itu, strategi ini perlu diperkuat dengan dukungan dari para pemangku kepentingan agar lebih efektif dalam menurunkan prevalensi merokok. “Kita harus kolaborasi antara pemerintah, komunitas, pelaku usaha, dan media. Semuanya harus bersatu agar bisa menyampaikan pesan-pesan komunikasi yang tersegmentasi. Jika pesan komunikasi antara orang tua dan milenial disamakan, maka tidak efektif,” ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, tim peneliti dari USAHID, Hifni Alifahmi, menambahkan memang perlu adanya partisipasi dari para pemangku kepentingan. “Jadi perlu melibatkan pakar kesehatan, tokoh masyarakat, hingga komunitas, karena pendapat mereka bisa didengar.” ungkapnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya