Manfaatkan Transformasi Digital, Penerimaan Pajak Bisa Lebih Optimal

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyadari transformasi digital saat ini menjadi peluang besar di Tanah Air

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Sep 2020, 15:30 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6/2019). Pemerintah bersama Komisi XI DPR RI kembali melakukan pembahasan mengenai asumsi dasar makro dalam RAPBN 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyadari transformasi digital saat ini menjadi peluang besar di Tanah Air. Untuk itu, pihaknya terus berupaya melakukan berbagai transformasi menuju ke arah digital.

Dia mengatakan, satu sudah dilakukan adalah investasi melalui Modul Penerimaan Negara Generasi Ketiga (MPN G3). Di mana Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) sudah bisa dilakukan secara online, yang bertujuan memperluas kanal penerimaan negara yang bisa melalui ecommerce atau fintech.

"Ini adalah infrastruktur yang kita miliki, sehingga bisa menjangkau berbagai kegiatan yang transformasi menuju ke digital, e-commerce dan bisnis baru seperti fintech," jelas dia di DPR RI, Jakarta, Selasa (15/9).

Dia mengatakan, SP2D online itu juga dapat langsung memotong dan menyetorkan pajak daerah melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD).

Di samping itu, dari sisi penerimaan pajak, Kementerian Keuangan juga sudah mentransformasikan menuju ke arah digital. Secara legislasi sudah mendapatkan bahkan diatur di dalam Perppu 1 2020 yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

"PPN sudah kita sekarang pungut untuk berbagai institusi digital luar negeri. Ada 28 subjek pajak luar negeri (SPLN) yang sekarang sudah kita beri otoritas untuk meng-collect dan menyetor ke kita. dan ini jumlahnya masih akan bertambah lagi," jelas Sri Mulyani.

"Jadi pengenaan pajak untuk transaksi elektronik melalui SPLN, dari sisi PPN sudah punya mandat melalui Perppu," tambah dia.

Sedangkan untuk PPh masih menjadi debat di ranah internasional. Sejauh ini pembahasan pengenaan PPh masuk dalam negisiasi di OECD mengenai hak pemajakan antar negara dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi antar negara tersebut.

"Ini yang menjadi salah satu debat paling sengit di G20. Di mana AS juga meminta untuk tidak maju dulu, atau dalam hal ini pada pertemuan G20 terakhir, mereka tidak mau menyetujui arah yang sekarang sedang dibahas," tandas Sri Mulyani.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 3 halaman

Sri Mulyani Ingin DPR Segera Sahkan Pagu Anggaran Kemenkeu

Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) dan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana (kedua kanan) saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/8/2020). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta kepada Komisi XI DPR RI untuk menyetujui pagu indikatif anggaran Kementerian Keuangan 2021. Untuk tahun depan Sri Mulyani mengajukan anggaran sebesar Rp 43,307 triliun.

"Kami akan mengharapkan dukungan dan persetujuan Komisi XI untuk total pagu anggaran Kementerian Keuangan Rp 43,307 triliun dapat disetujui dalam rapat kerja hari ini," kata dia dalam di Ruang Rapat Komisi XI, Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (15/9/2020).

Berdasarkan sumber dana, pagu anggaran Kemenkeu TA 2021 terdiri dari rupiah murni sebesar Rp 34,800 triliun, dan Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp 8,507 triliun.

Adapun, Sri Mulyani menjelaskan, anggaran sebesar Rp 43,30 triliun akan digunakan untuk lima program prioritas. Pertama program kebijakan fiskal yang dalamnya meliputi Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR) dengan anggaran mencapai Rp 65,69 miliar.

Kedua program pengelolaan penerimaan negara. Di mana di dalamnya meliputi DJP, DJA dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dengan anggaran Rp 2,23 triliun. Ketiga, program pengelolaan belanja negara yang meliputi DJA, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan DJPPR, dengan anggaran Rp33,76 miliar.

Selanjutnya untuk program pengelolaan perbendaharaan kekayaan negara dan risiko anggarannya mencapai Rp 233,74 miliar. Di mana di dalamnya meliputi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), dan Inspektorat Jenderal (ITJEN). Dan terakhir program dukungan manajemen untuk seluruh unit eselon I mencapai Rp 40 triliun.

Ketua Komisi XI DPR RI, Dito Ganinduto mengakui, pihaknya bersama dengan para eselon I di lingkungan Kemenkeu sudah melakukan pendalaman terkait anggaran rencana kerja di 2021. Pendalaman dilakukan selama dua hari dua malam.

"Kita dua hari dua malam sudah membicarakan detail lima program dan rupanya luar biasa dari Kementerian Keuangan," kata dia.

Kendati begitu, dirinya belum bisa memutuskan persetujuan lebih awal. Mengingat masih dilakukan pendalaman kembali pada rapat kerja hari ini yang digelar bersama Sri Mulyani.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com 

3 dari 3 halaman

Sri Mulyani: Kita Lakukan Reformasi Penganggaran di 2021

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi sambutan saat memberikan apresiasi dan penghargaan kepada 30 Wajib Pajak (WP) di Jakarta, Rabu (13/3). Acara ini mengambil tema 'Sinergi Wujud Cinta Negeri'. (Liputan6.com/JohanTallo)

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus melakukan reformasi penganggaran dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) di 2021. Salah satunya dengan menggabungkan beberapa unit eselon I melalui lima program prioritas yang menjadi tanggung jawab di lingkungan kementeriannya.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjelaskan, tujuan dari penggabungan anggaran di dalam satu program tersebut agar kolaborasi di Kemenkeu khususnya antar unit eselon I semakin kuat. Sehingga, anggaran yang diberikan tidak terkotak-kotakan di unit masing-masing.

"Di tahun 2021 memang kita akan memulai reformasi mengenai penganggaran di Kemenkeu. Di mana kita tidak lagi mengikuti satu-satu unit eselon 1 untuk menjadi satu program, tapi kita mengorganisasikan melalui tema-tema yang merupakan tanggungjawab bendahara negara," jelas dia dalam rapat kerja bersama Komisi XI tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2021, di Ruang Rapat Komisi XI, Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (6/9).

Perlu diketahui, RKA 2021 Kemenkeu sebesar Rp43,30 triliun akan digunakan untuk lima program prioritas. Pertama program kebijakan fiskal yang dalamnya meliputi Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR) dengan anggaran mencapai Rp65,69 miliar.

Kedua program pengelolaan penerimaan negara. Di mana di dalamnya meliputi DJP, DJA dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dengan anggaran Rp2.234 triliun. Ketiga, program pengelolaan belanja negara yang meliputi DJA, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), dan DJPPR, dengan anggaran Rp33,76 miliar.

Selanjutnya untuk program pengelolaan perbendaharaan kekayaan negara dan risiko anggarannya mencapai Rp233,74 miliar. Di mana di dalamnya meliputi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), dan Inspektorat Jenderal (ITJEN). Dan terakhir program dukungan manajemen untuk seluruh unit eselon I mencapai Rp40-Rp74 triliun.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu pun mempersilahkan Komisi XI sebagai mitra kerja dari Kemenkeu untuk menguji pendalaman dari masing-masing unit. Tujuannya melihat seberapa harmonisnya antar unit dengan kebijakan penganggaran yang dikelompokan tersebut.

"Nanti ketika pendalaman komisi XI bisa menguji juga apakah benar unit eselon I mau bekerja sama yang kita kunci anggarannya itu disatukan," kata Sri Mulyani. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya