Bank Dunia Ingatkan Indonesia, Jangan Sampai Utang Justru Jadi Bumerang

Bank Dunia menyebutkan ada dua poin penting untuk bisa menstabilkan kurva utang pemerintah

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jul 2020, 14:20 WIB
Pemulung berjalan di Jalan Margonda Raya, Depok, Kamis (16/4/2020). Pandemi COVID-19 memberikan dampak yang sangat besar bagi sosial dan ekonomi Indonesia. Bahkan yang paling dikhawatirkan bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - World Bank atau Bank Dunia memperingatkan kepada Pemerintah Indonesia agar mengelola utang dengan hati-hati. Selain bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, utang juga bisa menjadi bumerang atau dengan kata lain hambatan pemulihan ekonomi.

"Utang meningkat dan kemudian sudah mulai mengurangi ruang fiskal. Jika ini tidak dikelola dengan baik, maka stabilitas makro ekonomi di Indonesia yang merupakan pilar itu juga menjadi tantangan tersendiri. Itu akan hambat jalan menuju pemulihan," jelas Kepala Ekonom World Bank untuk Indonesia, Frederico Gil Sander dalam acara Indonesia Economic Prospect Report, secara virtual, Kamis (16/7/2020).

Setidaknya ada dua poin penting untuk menstabilkan kurva utang pemerintah. Pertama adalah dengan melakukan subsidi energi secara tepat sasaran. "Pertama, melaksanakan subsidi lingkungan yang di sini dilihat belum tepat sasaran seperti LPG dan lain-lain bisa dialokasikan ulang. Jadi subsidi seperti itu bisa dialihkan ke lain," kata dia.

Kemudian kedua adalah dengan cara melakukan reformasi perpajakan. Peningkatan rasio pajak dinilai bisa memperkuat pemulihan ekonomi secara nasional.

"Kemudian, kita bisa tingkatkan pajak cukai untuk produk tembakau, plastik, dan produk berpemanis tinggi lainnya karena ini berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan," tandas dia.

Dengan dua cara tersebut, Bank Dunia melihat utang pemerintah tidak akan menjadi bumerang bagi pertumbuhan ekonomi nasional. 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

BPK Soroti Kenaikan Utang Pemerintah di 2019, Tembus Rp 4.786 Triliun

Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna memberikan keterangan usai pertemuan dengan DPR di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/6/2020). Dalam pertemuan, DPR meminta BPK melakukan pengawasan, pemeriksaan penggunaan dana dalam penanganan pandemi COVID-19 secara tansparan. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan beberapa pandangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019. Dalam laporan tersebut BPK menyoroti utang pemerintah yang mencapai 30,23 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"Posisi utang pemerintah terhadap PDB pada tahun 2019 mencapai 30,23 persen atau meningkat jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2018 sebesar 29,81 persen," ujar Ketua BPK Agung Firman Sampurna pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (14/7/2020).

Agung merinci nilai pokok utang pemerintah pada 2019 mencapai Rp 4.786 triliun. Dari jumlah tersebut, 58 persennya adalah utang luar negeri senilai Rp 2.783 triliun. "Dan 42 persennya adalah utang dalam negeri senilai Rp 2.002 triliun," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, BPK juga menyoroti realisasi defisit anggaran 2019 yang sebesar 2,2 persen terhadap PDB. Angka ini melampaui target dalam UU APBN 2019 yang sebelumnya di desain 1,84 persen.

Defisit anggaran tahun lalu mencapai Rp 348,65 triliun. Namun, realisasi pembiayaan tahun 2019 mencapai Rp 402,05 triliun atau sebesar 115,31 persen dari nilai defisitnya. Sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 53,39 triliun.

"Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari pembiayaan utang sebesar Rp 437,54 triliun. Yang berarti pengadaan utang 2019 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit," tandas Agung.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya