Begini Kondisi Indonesia Saat Dihantam 4 Kali Krisis, Termasuk Akibat Corona

Industri keuangan Indonesia dalam mengalami krisis demi krisis mengalami kemajuan.

oleh Tira Santia diperbarui 16 Jun 2020, 17:15 WIB
Petugas menghitung mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing PT Ayu Masagung, Jakarta, Kamis (19/3/2020). Nilai tukar Rupiah pada Kamis (19/3) sore ini bergerak melemah menjadi 15.912 per dolar Amerika Serikat, menyentuh level terlemah sejak krisis 1998. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sunarso mengatakan industri keuangan Indonesia dalam mengalami krisis demi krisis mengalami kemajuan yang pesat dalam hal kesiapan dan kesikapan risk management atau manajemen risikonya yang dinilai masih cukup kuat menghadapi krisis.

Hal itu ia sampaikan karena Indonesia telah mengalami empat krisis, yakni krisisi tahun 1998, 2008, 2013, dan 2020.

“Dari generasi saya mengalami empat kali krisis, saya sampaikan krisis besar itu tahun 1998. Krisis adalah terjadi di kawasan pemicunya masalah pola teliti nilai tukar mata uang, dari masing-masing negara, waktu itu pemicunya adalah Korea Selatan kemudian merembet ke Thailand, kemudian ke Malaysia, dan ke Indonesia,” kata Sunarso dalam Webinar HIPMIxBUMN, Selasa (16/6/2020).

Menurutnya krisis nilai tukar yang kemudian merembet menjadi krisis multidimensional. Misalnya pada tahun 1998, ia mengatakan bahwa  saat itu nilai tukar Rupiah melemah tajam, dari Rp 2500 menjadi Rp16000, atau nilai tukar melemah 540  persen, Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan Indonesia -15,7 persen, dan Non Performing Loan (NPL) atau indikator kesehatan aset suatu bank sebesar 48,6 persen.

“Apa yang kita lihat di sini ketidaksiapan risk management di dunia perbankan, dan industri keuangan umumnya, bentuk dan model keuangan hubungan negara dengan bank central mengalami reformasi yang mendasar perubahan pasca 1998,” ujarnya.

Kemudian pada 2008 ada krisis ekonomi di Amerika dikarenakan kegagalan korporasi Lehman Brothers, sehingga menyebabkan nilai tukar  rupiah melemah 13 persen dari Rp 9.060 menjadi Rp 10.208, sedangkan CAR perbankannya 16,8 persen, dan NPL-nya 3,2 persen. Ia mengatakan bahwa krisis tahun 2008 ini berpengaruh pada inflasi, nilai tukar, suku bunga, dan lainnya.

“Lalu tahun 2013 krisis dipicu kegagaalan di Eropa pengaruhnya  sama ke nilai tukar, suku bungan dan inflasi.  Krisis-krisis itu yang terdampak korporasi-korporasi besar. Sedangkan Bank seperti BRI di mana fokus portofolionya pada UMKM maka jauh dari pengaruh krisis ini,” ujarnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Krisis Akibat Corona

Han Yi (belakang), petugas medis dari Provinsi Jiangsu, bekerja di sebuah bangsal ICU Rumah Sakit Pertama Kota Wuhan di Wuhan, 22 Februari 2020. Tenaga medis dari seluruh China telah mengerahkan upaya terbaik mereka untuk mengobati para pasien COVID-19 di rumah sakit itu. (Xinhua/Xiao Yijiu)

Selanjutnya, krisis dikarenakan wabah pandemi covid-19 yang merata dampaknya ke seluruh dunia, tidak hanya sektor kesehatan saja, melainkan juga sektor industri keuangan, termasuk perbankan. Ia menyebut dampak covid-19 pada nilai tukar menjadi melemah dari Rp 13.800 menjadi Rp 16.000 atau 12 persen,  CAR 23 persen, dan NPL 2,77 persen.

“Artinya dari krisis ke krisis  sesungguhnya industri keuangan Indonesia memiliki kemajuan yang pesat, dalam hal kesiapan dan kesikapan risk manajemen itu harus diakui, indikator-indikator itu terlihat masih cukup kuat dan baik,” jelasnya.

Namun, Sunarso mengatakan dampak covid-19 berbeda dengan dampak krisis lainnya, dulu saat tahun 1998 UMKM masih bisa bertahan dan menjadi penyelamat ekonomi pada saat itu, tapi saat ini dampaknya sangat luas mulai dari kesehatan, pasar keuangan , supply chain, ekonomi, daya beli masyarakat terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang memang sangat terdampak.

“Karena krisis ini dirasakan semua lapisan tak terkecuali UMKM juga menderita,” pungkasnya.   

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya