Motif Donald Trump Serang Iran, Demi Negara atau Tak Dimakzulkan?

Apa motif Donald Trump dalam penyerangan terhadap Jenderal Iran Qasem Soleimani?

oleh Tommy K. Rony diperbarui 06 Jan 2020, 17:30 WIB
Ekspresi Presiden AS Donald Trump saat menghadiri National Prayer Breakfast atau Sarapan Doa Nasional di sebuah hotel di Washington DC (8/2). (AFP Photo/Mandel Ngan)

Liputan6.com, Jakarta - Mengawali 2020, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan menyerang Jenderal top Iran, Qasem Soleimani. Tak hanya dunia internasional yang kaget, senator dan anggota DPR AS pun ikutan kaget karena presiden mereka tidak minta izin ke badan legislatif sebelum menyerang.

Presiden Trump berargumen bahwa Soleimani berencana menyerang diplomat dan prajurit AS di Irak dan sekitarnya. Tak hanya itu, Soleimani dituding sebagai otak penyerangan kedutaan besar AS di Baghdad beberapa hari sebelum kematiannya. Alasan lain adalah kejahatan yang dilakukan Soleimani dan pasukan Quds yang ia pimpin.

"Dia (Jenderal Soleimani) secara langsung dan tidak langsung bertanggung jawab pada kematian jutaan orang, termasuk jumlah besar pengunjuk rasa yang terbunuh di Iran. Iran tidak akan bisa mengakui bahwa Soleimani dibenci dan ditakuti di negara mereka," ujar Presiden Trump via Twitter.

Kini muncul pertanyaan apakah motif Donald Trump demi keamanan negara atau ada motivasi lain. Pasalnya, Trump sedang berada proses pemakzulan, sehingga muncul dugaan serangan ke Iran merupakan distraksi politis.

"Pekan depan Donald Trump menghadapi mulainya potensi pengadilan pemakzulan. Orang-orang mulai bertanya, mengapa ia melakukan aksi ini? Kenapa tidak menunda?" ujar Senator Elizabeth Warren pada hari Minggu kemarin seperti dikutip NBC News.

Sementara, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berharap pemerintah turut teliti dengan motif Donald Trump. Jika motifnya memang mencari popularitas agar tidak dimakzulkan, maka kasus ini bisa dibawa ke Dewan Keamanan (DK) PBB agar Iran mendapatkan keadilan.

Namun, Hikmahanto berkata pemerintah harus mengobservasi kasus ini secara hati-hati.

"Apakah memang AS ini melakukan hak untuk membela diri, right of self-defense, karena menganggap Soleimani ini akan melakukan tindakan yang mencederai kepentingan AS atau ini masalah Trump yang ingin mendapatkan popularitas di dalam negeri?," ujar Hikmahanto kepada Liputan6.com pada Senin (1/6/2019).

"Kalau dianggap ini tindakan Trump untuk mendapatkan popularitas supaya tidak diimpeach dan sebagainya kita harus bersuara, bahkan harus sampai ke DK PBB. Kalau tidak nanti Iran dia akan menggunakan segala daya upayanya sebagai sebuah negara untuk membalas tindakan AS," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Donald Trump Jilat Ludah Sendiri?

Presiden AS Donald Trump (AP PHOTO)

Bertahun-tahun lalu, Donald Trump pernah menentang penyerangan terhadap Iran. Ia berkata jika Barack Obama menyerang Iran, maka itu kemungkinan akibat butuh popularitas.

"Agar bisa terpilih kembali, Barack Obama akan memulai perang dengan Iran," ujar Trump pada 30 November 2011.

Setahun kemudian, ia kembali berkata Obama akan perang dengan Libya atau Iran karena angka popularitasnya jatuh. "Ia sedang putus asa," ujar Trump.

Jejak digital itu pun kembali muncul usai Trump menyerang Iran. Tahun depan, AS akan menyelenggarakan pilpres dan Donald Trump akan maju untuk periode kedua.

Ketika ditanya mengenai perbedaan sikap Trump, Hikmahanto menyebut ada pengaruh unsur politik.

"Kalau politisi mungkin ada apa yang dibilang kemarin belum tentu apa yang sekarang dijalankan," pungkasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya