Rencana Gerindra Gabung ke Pemerintah, Golkar: Sebaiknya Mereka Oposisi

Ace menilai, tidak etis jika Gerindra mengharapkan mendapat kursi menteri jika bergabung.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Okt 2019, 23:45 WIB
Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily memberi keterangan pers terkait pemberhentian dan pengisian jabatan di Jakarta, Selasa (19/3). Erwin Aksa diberhentikan dari Ketua Bidang Koperasi dan UKM DPP Partai Golkar. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Isyarat Partai Gerindra bergabung dalam koalisi parpol pendukung pemerintah kian terlihat. Salah satu sinyal yaitu saat kunjungan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto ke Istana Kepresidenan untuk bertemu Presiden Jokowi.

Kendati Prabowo maupun Jokowi membantah adana pembahasan rencana Gerindra berkoalisi, namun sejumlah pihak, baik dari kubu Gerindra, maupun kubu Jokowi menganggap pertemuan itu sebagai bagian dari lobi politik jelang pelantikan presiden dan wakil presiden.

Terkait hal itu, Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menegaskan demokrasi Indonesia bisa monolitik jika partai di luar koalisi pemerintah gabung setelah kalah di Pilpres. Bahkan, kata dia, bisa saja malah Gerindra justru menjadi musuh dalam selimut di koalisi Jokowi.

"Jangan sampai mereka berada di dalam pemerintahan tetapi dalam posisi seperti oposisi. Tidak baik dalam kerangka demokrasi kita," kata Ace kepada wartawan, Minggu (13/10/2019).

Harusnya, kata Ace, bagi yang kalah menerima kekalahan itu dan menunggu lima tahun mendatang untuk saling berkontestasi. Bagi Ace, tanpa ada tambahan di koalisi pemerintah, saat ini di parlemen sudah kuat dengan 63 persen kursi DPR.

"63 persen di parlemen saya kira sudah modal yang sangat cukup untuk mengawal pemeritahan dan menunaikan janji politiknya. Saya kira Pak Jokowi akan lebih arif dan bijaksana untuk menyikapi politik saat ini," katanya.

Dia menilai tidak etis jika Gerindra mengharapkan mendapat kursi menteri jika bergabung. Koalisi saja, kata Ace, sejak awal menyerahkan ke Jokowi soal posisi menteri untuk mereka.

"Jika mau mendukung pemerintah itu positif, tetapi tidak harus ditindaklanjuti keharusan berada di dalam kabinet," katanya.

Di kesempatan lain, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera enggan berkomentar panjang mengenai kemungkinan Gerindra merapat ke kubu pemerintah. Menurutnya, setiap partai punya strategi dan pertimbangan masing-masing.

"Jadi Gerindra dan Demokrat punya hak untuk memutuskan bergabung dengan pak Jokowi atau bertahan di tagar #KamiOposisi. PKS sendiri mengikuti keputusan Majelis Syuro yang menetapkan kita di luar pemerintahan,” kata dia.

Menurutnya, meski Gerindra nanti jadi bergabung di pemerintah, maka PKS akan tetap oposisi, atau berhadapan dengan seluruh pemerintah.

"Insyaallah PKS istiqomah. Bukan masalah jumlah, tapi masalah kesebangunan dengan aspirasi rakyat. Kian sesuai dan memperjuangkan aspirasi rakyat kian kuat kami oposisii,” ujarnya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: 

2 dari 2 halaman

Perlu Oposisi yang Kuat

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Dalam pertemuan tersebut mereka membahas permasalahan bangsa dan koalisi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komaruddin mengatakan bergabungnya Gerindra dan Demokrat dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin disinyalir dapat menghidupkan kembali sistem orde baru.

Hal itu, akan tercipta kekuasaan pemerintah yang terlalu dominan, tanpa diimbangi dengan kekuatan oposisi sebagai penyeimbang.

Menurutnya, sejatinya bangsa ini membutuhkan pemerintahan yang kuat. Namun seiring dengan itu, dibutuhkan juga oposisi yang kuat dan tanggung, agar tercipta keseimbangan,

"Jika Gerindra masuk dan Demokrat juga sudah menyatakan untuk mendukung, artinya pemerintah akan dominan dan menjadi kekuatan mayoritas, karena tidak ada kontrol. Ini berbahaya karena oposisi menjadi lemah. Mohon maaf, ini seperti yang terjadi pada orde baru," ujar Ujang.

Menurutnya, ketika pemerintah menjadi kekuatan yang dominan, maka potensi untuk terjadinya penyalagunaan kekuatan akan sangat signifikan. "Tidak ada partai yang mengkritik, semua partai seperti paduan suara. Ini yang tidak kita inginkan," katanya.

lebih lanjut dia mengatakan, bergabungnya partai-partai dalam barisan pemerintahan ini tidak lain untuk mengamankan pertempuran 2024 mendatang. Komposisi kabinet dan koalisi saat ini sangat menentukan langkah di Pemilu 2024 mendatang.

"Misalnya mendapat menteri, pasti untuk cari logistik (2024), maka semua rebutan," imbuhnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya