Sosialisasi Empat Pilar MPR, Bahas Solusi Anti Perpecahan

"Kita harus syukuri hidup di Indonesia. Kita memang belum terlalu maju. Tetapi kita hidup dengan aman dan damai."

oleh stella maris diperbarui 19 Agu 2019, 13:41 WIB
Ketua Badan Anggaran MPR RI Idris Laena.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Badan Anggaran MPR RI Idris Laena menyampaikan kebanggaannya pada Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau, 1.370 suku, dan 800 bahasa. Di balik potensi yang dimiliki Indonesia, Idris mengimbau agar masyarakat harus berjaga dari perpecahan. 

Hal itu disampaikan Idris dihadapan para siswa, guru dan alumni SMAN 15 Jakarta Utara dalam kegiatan Sosialisasi Empat Pilar MPR yang merupakan hasil kerja sama MPR dengan Bina Prestasi Nusantara. Mengenai perpecahan, Idris mencontohkan dengan negara adidaya Uni Soviet yang telah hilang dari peta dunia. 

Negara itu terpecah belasan negara kecil untuk merdeka sendiri. Demikian pula Yugoslavia, negara yang dulu makmur dengan kekuatan angkatan perang. Kini Yugoslavia menjadi negara-negara sendiri, sesuai kelompo yang hidup di sana.

Ada pula Libanon, negeri nan indah yang sayangnya sampai saat ini masih dilanda kecamuk perang saudara. Di Libanon, pertempuran bisa terjadi kapan saja, meski sebelumnya dalam kondisi damai.

"Kita harus syukuri hidup di Indonesia. Kita memang belum terlalu maju. Tetapi kita hidup dengan aman dan damai. Kita bisa melakukan aktifitas, tanpa harus merasa takut dan mencekam," kata Idris yang juga Sekretaris Fraksi Partai Golkar MPR RI.

Suasana seperti itu menurut Idris harus dipertahankan. Caranya, semua kelompok dan suku-suku yang ada di Indonesia, saling menghormati satu dengan yang lainnya. Tidak boleh ada satu kelompok pun yang merasa menang sendiri. Semua harus mau berkorban demi kepentingan bersama.

Selain itu, salah satu contoh sikap toleransi dan pengorbanan yang patut ditiru generasi muda, menurut Idris saat umat Islam Indonesia rela menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta, sehingga untuk menjadikan Pancasila seperti yang dikenal sekarang.

Saat itu, para ulama lebih mengutamakan persatuan dan kesatuan Indonesia, dibanding ego keagamaan. Dan dengan sukarela serta keikhlasan yang tinggi mereka memilih negara Kesatuan Republik Indonesia dibanding negara Islam.

"Sikap-sikap seperti ini harus senantiasa dikedepankan. Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, di atas kepentingan kelompok dan golongan. Inilah yang akan membuat NKRI terus bersatu. Tetapi jika masing-masing kelompok, mengutamakan kepentingan golongannya sendiri, sangat mungkin NKRI ini akan terpecah belah," kata Idris.

Negara yang kuat menurut Idris bukan ditentukan oleh militernya. Sejarah membuktikan Uni Soviet yang ditakuti Amerika kini lenyap dari peta dunia. Tetapi, kuat lemahnya suatu negara ditentukan oleh rasa nasionalisme seluruh warganya.

Jika nasionalisme masyarakat tinggi, apapun hambatan yang dihadapi, mereka akan bersatu padu menghadapi hambatan yang menghadang. Tanpa harus menunggu militernya turun tangan.

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya