Menyusuri Pagi Menemukan Situs Bersejarah di Tengah Hutan Tangale

Di tengah hutan Tangale Gorontalo terdapat sebuah tugu yang luput dari perhatian banyak orang.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 02 Jul 2019, 06:00 WIB
Foto: Arfandi Ibrahim/ Liputan6.com

Liputan6.com, Gorontalo - Di tengah hutan Tangale, Desa Labanu, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Pada sebuah bongkahan batu besar, berdiri kokoh tugu peninggalan zaman penjajahan Belanda di Gorontalo. Tak ada orang yang peduli, meski jika ditelisik keberadaannya, pada tugu ini tersimpan sejarah panjang Gorontalo saat penjajahan Belanda. 

Pada setiap sisi tugu tertulis nama para raja Gorontalo, selain juga nama-nama asing Belanda, di antaranya G.R Boim, S. Moha, R. Monoarfa, H.P. Olii, Z. Wartabone, I. Van Gobel, A. Wartabone, K. Datau, N.Ali, dan B. Olii.

Ada versi cerita yang mengatakan, tugu tersebut merupakan bukti perjanjian kontrak antara pemerintah Belanda dan Gorontalo. 

Buhanis Rahmina, Arkelog BPCB Gorontalo kepada Liputan6.com, Senin (1/7/2019) mengatakan, dari jenis tulisan dan isinya, tugu tersebut bisa disebut sebagai prasati yang berisi perjanjian yang dilakukan oleh Gorontalo dan Belanda kala itu.

"Nama-nama itulah yang ikut terlibat dalam perjanjian itu dan memprakarsai pembuatan tugu tersebut," katanya.

Usai melakukan peninjauan diketahui tugas tersebut merupakan pahatan batu alam yang kemudian dilapisi kapur dan semen. Meski demikian, belum diketahui secara jelas apa isi perjanjian pada tugu tersebut.

 

Foto: Arfandi Ibrahim/ Liputan6.com

Sementara itu, warga sekitar tidak terlalu banyak yang tahu soal keberadaan dan sejarah tugu tersebut. Mengingat tugu tersebut sudah ada bahkan jauh sebelum mereka bermukim.

Versi lain menyebut, tugu itu dibangun pada abad ke-19, untuk memperingati kematian pencetus ruas jalan Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, sampai di Kecamatan Kwandang, Kabupaten Gorontalo Utara.

"Bukanlah jalan yang sekarang. Namun, yang dimaksud dalam tugu tersebut adalah jalan yang dibangun pada masa kolonial. Dan itu tidak lagi digunakan karena sudah tertutup dengan pepohonan dan semak belukar," ungkap Ahmad Olii, warga lainnya.

Ahmad menjelaskan, kala itu Pemerintah Kolonial Belanda menghimpun tenaga kerja yang berasal dari warga lokal di tiap-tiap desa di Kecamatan Limboto. Para buruh itu dipekerjakan sesuai jadwal yang diatur oleh Djogugu Olii seorang kepala daerah saat itu.

"Kakek saya bercerita, jalan yang sebelumnya menjadi lintasan Limboto menuju Kwandang, bukanlah yang saat ini. Tapi yang dibuat Belanda kini sudah menjadi hutan," jelasnya.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menutup jalan itu lantaran akan merusak hutan. Menurut Ahmad, jalan tersebut dianggap sebagai akses untuk perburuan satwa dan pengambilan hasil hutan lainnya.

"Dari kebijakan itulah, pemerintah di masa itu sepakat untuk membangun jalan baru," pungkasnya.

 

 

Simak juga video pilihan berikut:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya