27-12-1939: Gempa yang Menewaskan 33 Ribu Orang Melanda Turki

Rabu 27 Desember 1939 menjadi hari kehancuran bagi Kota Erzincan, Turki. Penyebabnya adalah gempa dahsyat.

oleh Tanti YulianingsihElin Yunita Kristanti diperbarui 27 Des 2018, 06:00 WIB
Ilustrasi Gempa Bumi (iStockphoto)

Liputan6.com, Amsterdam - Rabu 27 Desember 1939 menjadi hari kehancuran bagi Kota Erzincan, Turki. Penyebabnya adalah gempa dahsyat, yang tak hanya sekali mengguncang, tapi tujuh kali secara berurutan.

Gempa pertama terjadi pada pukul 1.57 dini hari waktu setempat. Kekuatan magnitudonya 7,8. Sementara skala intensitasnya atau MMI (Modified Mercalli Intensity) adalah XII. Ekstrem!

Pada hari pertama, gempa menewaskan sekitar 8.000 orang. Hari berikutnya bertambah signifikan menjadi 20 ribu orang. Operasi penyelamatan darurat pun dilakukan dengan susah payah.

Dan pada 4 Januari 1940, total korban jiwa mencapai 33 ribu orang, akibat gempa bumi dan badai salju bercampur hujan lebat yang memicu banjir.

"Begitu luas kerusakan yang dialami Kota Erzincan, sehingga situs lamanya sepenuhnya ditinggalkan dan permukiman baru didirikan sedikit lebih jauh ke utara," demikian dikutip dari situs revolvy.com, Rabu (26/12/2018).

Gempa Erzincan pada 1939 terjadi di Zona Sesar Anatolia Utara (NAFZ), salah satu sesar yang paling aktif di dunia.

Tak hanya guncangannya yang mematikan, lindu memicu pecahnya permukaan sepanjang 360 kilometer yang masih bisa teramati dengan jelas hingga bertahun-tahun setelahnya. Pun dengan longsor, intensitas mikroseismik hingga 11 derajat, tsunami di Laut Hitam dan kehancuran yang tak terbayangkan sebelumnya.

Seperti dikutip dari www.balkangeophysoc.gr, kala itu terjadi anomali cuaca meteorologi di daerah episentral atau pusat gempa. Suhu sangat rendah hingga -30 derajat Celcius, hujan salju deras, angin beku, badai besar. Hal-hal itu menyulitkan upaya penyelamatan.

Kereta gawat darurat yang dikerahkan menolong para korban terhenti di tengah jalan. Gerbong-gerbongnya terkubur salju sedalam 2 meter dekat Sivas. Sementara, hujan salju besar membuat area-area terdampak nyaris beku. Penderitaan penduduk pun kian tak terperi.

Pada hari-hari berikutnya, hujan yang sangat deras terjadi di selatan dan tenggara, memicu banjir yang besar dan semburan lumpur ke bagian selatan, timur, dan tenggara Turki -- menambah penderitaan para korban gempa dan memicu kematian lebih banyak orang.

Dalam beberapa tahun ke depan, ada lebih banyak gempa dengan magnitudo 7 ke atas yang mengguncang Turki. Negara tersebut kemudian menerapkan regulasi bangunan yang lebih ketat.

Sebab, mungkin bukan gempa yang membunuh manusia. Namun, kualitas bangunan yang buruk bisa memicu kematian dalam jumlah besar.

Selain di Turki, gempa mematikan pada tahun 1939 juga terjadi di Chile. Lindu dengan magnitudo 7,8 menewaskan setidaknya 30 ribu orang.

 

2 dari 2 halaman

'Hari Kemerdekaan Indonesia' Versi Belanda

Penyerahan kedaulatan dari Negeri Belanda ke Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 (Wikipedia)

Tak hanya gempa di Turki yang menjadi peristiwa bersejarah pada tanggal 27 Desember.

Pada 27 Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.

Kala itu, tiga upacara penyerahan kedaulatan pun dilakukan. Pertama, di Amsterdam, tepatnya di Istana Op de Dam. Wakil Presiden sekaligus perdana menteri, Mohamad Hatta memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

"Kedua negara (Belanda dan Indonesia) tak lagi saling berlawanan, kini kita berdiri berdampingan," kata Ratu Belanda Juliana kala itu, sesaat setelah naskah penyerahan kedaulatan ditandatangani.

Bung Hatta yang bicara Bahasa Indonesia dalam sebuah pertemuan KMB menekankan pentingnya penyelesaian damai konflik dua negara. "Empat tahun lamanya rakyat kita timbal balik hidup dalam persengketaan, karena merasa dendam di dalam hati ... Bangsa Indonesia dan Bangsa Belanda, kedua-duanya akan mendapat bahagianya. Anak cucu kita, angkatan kemudian akan berterima kasih pada kita," kata dia.

Sementara itu di Istana Negara, Jakarta, penyerahan kedaulatan dilakukan antara wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai wakil perdana menteri.

Setelah penandatanganan itu, Sultan dan Tony Lovink keluar, berdiri di depan Istana. Di sana bendera Belanda diturunkan lalu. "Sebentar terdengar sorakan, tapi segera berhenti," demikian diungkapkan Herman Burgers, tentara Belanda yang menjadi saksi peristiwa tersebut, meski lewat radio dalam bukunya De Garoeda en de Ooievaar, seperti Liputan6.com kutip dari situs Radio Nederland.

Lalu, senyap, semua diam. Bendera Merah-Putih dikibarkan dalam suasana dramatis. Namun, "Ada kecelakaan kecil, karena bendera itu sempat tertahan. Seorang prajurit Belanda membantu prajurit TNI membereskannya, lalu tibalah saat yang dinanti-nanti, sang saka merah putih berkibar," tambah Herman. Maka pecahlah sorak sorai ribuan orang.

Dari penuturan Herman, ternyata ada upacara lain yang dilaksanakan hari itu. Yang tidak disiarkan lewat radio. Upacara ketiga tersebut dilakukan di Gedung Negara, Yogyakarta. Di tengah rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI).

Sukarno kala itu menyerahkan tugas-tugas kepresidenannya untuk sementara kepada Assaat, ketua KNIP. Sesudah itu, Assaat, sebagai wakil Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945, menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat yang diwakili oleh presiden terpilihnya: Sukarno sendiri.

"Yang bagi saya penting adalah tindakan simbolisnya. Assaat menyerahkan sebuah kotak kayu berisi bendera yang pada tanggal 17 Agustus 1945 dikibarkan di Pegangsaan Timur 56. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati," kata Herman.

Menurut dia, upacara ketiga punya arti sangat penting. "Upacara ini harus berlangsung karena kedaulatan Indonesia tidak hanya berdasarkan pada yang diterimanya dari Belanda."

Namun juga didasarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Momentum itu menjadi penegasan bahwa kemerdekaan RI direbut dan diperjuangkan, bukan sekedar hadiah.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya