Agusrin Dianggap "ATM" Pejabat dan Pengusaha

Disebut sebagai mesin anjungan tunai mandiri (ATM) bagi sejumlah pejabat dan pengusaha karena sedikitnya Rp 39 miliar dana suap mengalir ke kantong-kantong pejabat dan pengusaha.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Jun 2011, 14:47 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Sedikitnya Rp 39 miliar lebih aliran dana suap mengalir ke sejumlah kantong-kantong pejabat. Besar uang terkait kasus dugaan penyimpangan dan bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dilakukan gubernur Bengkulu non-aktif, Agusrin M. Najamuddin. 

Tak heran jika anggota Partai Demokrat itu dinilai sebagai mesin Anjungan Mesin Mandiri (ATM) bagi sejumlah pejabat yang menerima suap Agusrin. "Agusrin ini sudah jadi ATM pejabat seperti jaksa, pejabat Pemda, dan banyak lagi pejabat yang menerima suap Agusrin ini," ujar Kepala Divisi Bantuan Hukum Bengkulu Hendra Hasanuddin dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (13/6).

Temuan ini, lanjut Hendra, atas dasar temuan pengalihan rekening Kasa Umum Daerah Provinsi Bengkulu No. G.019 pada PT. Bank Bengkulu ke nomor rekening BRI atas permohonan ke Menteri Keuangan.

Dana aliran menurut Hendra terindikasi diberikan kepada pihak-pihak terkait dan dipergunakan sebagai bentuk tindak pidana penyuapan kepada pejabat. Pejabat tersebut di antaranya kepada Slamet Sugandi, pejabat Eselon III Depertemen Keuangan RI senilai Rp 405 juta, Putut Drajat Santoso sebagai pegawai Departemen Keuangan senilai Rp 495 juta, dan Zakaria senilai Rp 20 juta.

"Kepada pejabat Departemen Keuangan dengan alasan untuk mengurus peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) dan diduga untuk mengurus pengalihan rekening dari rekening Kas Umum Daerah ke rekening yang baru dibuka (rekening Dispenda)," ujar Hendra.

Pejabat lain, ujar Hendra, di antaranya Agusman Badarudin sebagai Kepala Dispenda DKI Jakarta senilai Rp 300 juta, A. Attamimi sebesar Rp 300 juta untuk kepentingan lobi pengurusan DAU untuk peningkatan APBD Provinsi Bengkulu ke DPR RI. Nama lain, yakni H.M. Wasik Salik (anggota DPRD Provinsi Bengkulu) senilai 100 juta. "Apa coba hubunganya dengan Pemda DKI? Ternyata keduanya berperan sebagai pihak yang melakukan lobi di DPR RI untuk meningkatkan DAU," tutur Hendra.

Aliran dan lain juga masih mengalir ke sejumlah pejabat dalam bentuk travel cheque BRI sebanyak 200 lembar dengan nominal 10 juta per lembar dengan total nilai Rp 2 miliar. "Dana tersebut menurut penjelasan Chaerudin diberikan kepada Agusrin."

Bukan hanya kepada pejabat, ungkap Hendra, aliran dan tersebut juga terindikasi mengalir ke sejumlah pengusaha, di antaranya Heri Santoso selaku Direktur Utama PT. Sawit Bengkulu Mandiri senilai Rp 9,2 miliar untuk pembangunan pabrik CPO. "Belakangan diketahui pabrik tersebut fiktif."

Selain itu, lanjut Hendra, dana juga mengalir kepada Kusumawati senilai Rp 2 miliar untuk pembelian kapal ikan dan perangkatnya. Lalu, Andry Ahmad Kosasih selaku supplier pengadaan handtractor juga mendapat aliran senilai Rp 1,7 miliar yang digunakan untuk pembelian 100 unit handtractor.

Sementara dana yang dikelola Dispenda Bengkulu untuk kegiatan Dispenda senilai Rp 3,9 miliar. Sedangkan penggunaan dana tunai senilai Rp 738 juta. "Jadi total realisasi pengeluaran dana yang dilakukan Dispenda Bengkulu sampai tanggal 11 Mei 2007 senilai 20,9 miliar."

Kemudian untuk mengelabui kasus korupsi ini, jelas Hendra, Pemprov Bengkulu mengembalikan dana yang dikorupsi senilai Rp 21,3 miliar ke kas umum daerah Provinsi Bengkulu. Namun setelah ditelusuri dana diambil dari dana APBD Provinsi Bengkulu pada mata anggaran BUMD PT.Bengkulu Mandiri senilai Rp 18,7 miliar.(AIS)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya