BPH Migas Turun Tangan Atasi Mahalnya Harga Pertalite di Riau

Harga BBM jenis Pertalite di Riau lebih mahal dibanding provinsi lain.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 07 Mar 2018, 20:52 WIB
Bensin dengan kadar Ron 90 ini akan mulai dijual di beberapa SPBU pada 24 Juli 2015, Jakarta, Rabu (22/7/2015). Peluncuran Pertalite untuk memberikan varian pilihan BBM bagi masyarakat demi menekan konsumsi premium. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) turun tangan untuk mengatasi mahalnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis Pertalite di Provinsi Riau.

Anggota Komite BPH Migas, Hendry Ahmad mengatakan, ada gejolak harga BBM di Riau yang dipicu oleh sulitnya memperoleh Premium dan perbedaan harga Pertalite yang lebih mahal dibanding di wilayah lain.

"Ada gejolak seperti di Riau. Pertama, Premium sulit didapat di SPBU. Kedua Pertalite mahal dibanding provinsi tetangga," kata Hendry di Kantor BPH Migas, Jakarta, Rabu (7/‎3/2018).

‎Menurut Hendry, faktor yang membuat harga Pertalite di Riau lebih mahal ketimbang wilayah lain adalah besaran pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Riau lebih besar dibanding wilayah lain. Di Riau, tarif PBBKB mencapai 10 persen, sedangkan wilayah lain 5 persen.

"Sebagai tambahan, Pertalite lebih mahal disebabkan PBBKB di Riau lebih tinggi dibanding provinsi lain‎," ujarnya.

Lebih jauh kata dia, BPH Migas akan turun tangan mengevaluasi pengenaan tarif PBBKB, dengan melakukan diskusi bersama Pemerintah Provinsi Riau, DPRD, dan PT Pertamina (Persero).

"Ini kita sudah bicara dengan Pemprov Riau dan DPRD untuk mengevauasi PBBKB nonsubsidi," jelas Hendry. 

Sementara itu, PT Pertamina (Persero) menjelaskan penyebab lebih tingginya harga BBM nonsubsidi jenis Pertalite di Riau ketimbang di Papua dan Papua Barat.

Area Manager Sumatera Communication & Relations Pertamina Sumatera Bagian Utara,‎ Rudi Ariffianto mengungkapkan, penyebab harga Pertalite di Riau menempati jajaran tertinggi ketimbang wilayah lain diakibatkan pungutan PBBKB yang dimasukan dalam komponen harga Pertalite sebesar 10 persen.

"‎PBBKB di Riau 10 persen," kata Rudi saat berbincang dengan Liputan6.com.

Rudi melanjutkan, di provinsi lain, pungutan PBBKB hanya sebesar 5 persen dari harga dasar BBM. Kondisi ini membuat harga Pertalite di Riau lebih mahal dibanding Provinsi lain. Untuk diketahui penetapan besaran PBBKB merupakan kewenangan masing-masing pemerintah daerah (pemda).

"Kalau di daerah lain hanya 5 persen. Tapi itu kewenangannya pemda," tutur Rudi.

Untuk diketahui, struktur pembentukan harga BBM selain PBBKB di antaranya,‎ Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, dan marjin badan usaha dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

‎Merujuk data Pertamina per Januari 2018, harga Pertalite di Papua dan Papua Barat mencapai Rp 7.700 per liter. Harga yang sama dipatok di Maluku, Maluku Utara, dan Kalimantan Utara. Sedangkan harga BBM Pertalite di Aceh dan Jakarta berkisar Rp 7.500 per liter.

2 dari 2 halaman

BBM Satu Harga Diselewengkan, Begini Modusnya

Sejumlah pengendara motor saat tengah mengisi bahan bakar di salah satu SPBU di Kuningan, Jakarta, Senin (19/1/2015). (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menemukan penyalahgunaan alokasi bahan bakar minyak atau BBM satu harga. Penyalahgunaan ini dilakukan oleh badan usaha di sejumlah wilayah.

Anggota Komite BPH Migas, Hendry Ahmad, mengatakan penyalahgunaan yang ditemukan BPH Migas terjadi di Sumenep, Madura.

Modusnya, sambung Hendry, dengan membuat laporan palsu terhadap penyaluran BBM satu harga berupa Premium penugasan dan Solar subsidi oleh badan usaha. Padahal, di wilayah tersebut tidak terdapat fasilitas penyalur BBM satu harga.

"Di Sumenep, di Kepulauan Sambudi, yaitu di Kota Nunggunung dan Pulau Raas itu titik BBM satu harga, khusus Sambudi, ternyata fasilitas belum dibangun, distribusi tapi tetap lancar ke dua kepulauan ini," kata Hendry di Kantor BPH Migas, Jakarta, Rabu (7/3/2018).

Hendry melanjutkan, tanpa fasilitas BBM satu harga tersebut t‎idak disalurkan langsung ke masyarakat dengan harga yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 6.550 per liter untuk Premium dan Rp 5.150 per liter untuk Solar bersubsidi.

Kemudian BBM tersebut dijual ke pengepul untuk dijual eceran ke masyarakat dengan harga yang lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, yaitu Premium Rp 9 ribu hingga Rp 10 ribu per liter dan Solar Rp 7 ribu sampai Rp 7.500‎ per liter.

"Ternyata BBM ini sebagian dijual ke pengepul dalam bentuk drum, dari pengepul dijual ke pengecer," tutur Hendry.

Penyalahgunaan alokasi BBM satu harga juga terjadi di Kepulauan Sangian,‎ Selat Sunda. Di wilayah tersebut sudah ada Agen Penjual Minyak Solar (APMS) yang sudah siap dioperasikan. Namun, dengan modus serupa dengan Sumenep, Premium dan Solar subsidi tidak disalurkan ke masyarakat, tetapi ke pengepul untuk dijual dengan harga yang lebih mahal.

"Terus di Kepulauan Sangiang ada APMS yang sudah siap dioperasikan, tapi dilakukan dengan model yang lain. Mereka masukan ke drum, kemudian dijual ke pengepul," jelasnya.

Menindaklanjuti temuan penyalahgunaan BBM satu harga tersebut, ‎lembaga penyalur dikenakan sanksi dengan mencabut kegiatan usaha. BPH Migas berkoordinasi dengan PT Pertamina (Persero) dan pemerintah daerah (pemda) ‎untuk mencegah pelanggaran serupa terulang kembali.

"Kami sudah menindaklanjuti dengan Pertamina dan pemda. Kesepakatan Jumat besok akan melakukan pertemuan untuk mencari solusi dan untuk sementara APMS yang ada ini kita nonaktifkan (atas penyalahgunaan BBM satu harga)," tandas Hendry. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya