Jepang Belum Putuskan Nasib 1 Juta Ton Limbah Radioaktif di Fukushima

Jepang belum mengetahui apa yang harus dilakukan dengan lebih dari 1 juta ton air radioaktif yang berada di lokasi pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima yang kini lumpuh.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mar 2018, 08:24 WIB
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima (AP)

Liputan6.com, Tokyo - Pejabat Pemerintah Jepang belum mengetahui apa yang harus dilakukan dengan lebih dari 1 juta ton air radioaktif yang berada di lokasi pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima yang kini lumpuh.

Beberapa hari setelah peringatan tujuh tahun bencana nuklir Fukushima, perusahaan listrik Tokyo Electric Power Company (TEPCO) mengungkap bahwa pihaknya berhasil memperlambat laju air yang terkontaminasi yang mencapai fasilitas reaktor.

Namun, jumlahnya terus meningkat.

"Beberapa tahun lalu, air radioaktif meningkat 400 ton per hari, namun kenaikan per hari kini telah turun menjadi sekitar 100 ton per hari," kata Naohiro Masuda dari TEPCO seperti dikutip dari Australiaplus (3/3/2018).

"Beberapa tahun lalu kami harus membuat satu tangki baru setiap dua atau tiga hari tapi sekarang kami perlu menambah satu tangki baru setiap tujuh sampai 10 hari, jadi dalam artian itu, kami pikir ini adalah kemajuan, sampai tingkat tertentu, dalam arti ini adalah situasi yang lebih stabil," sebutnya.

Ada lebih dari 1.000 tangki air yang terkontaminasi sekarang di lokasi Fukushima dan pihak pemerintah masih belum memutuskan apa yang harus dilakukan dengan air itu.

2 dari 2 halaman

Kapasitas Terbatas

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima (Kyodo News/AP PHOTO via Boston Herald)

Awal pekan ini, TEPCO mengungkap bahwa dinding tanah beku bawah tanahnya -- yang diharapkan menjadi pertahanan utama terhadap kontaminasi air tanah -- hanya memiliki kapasitas terbatas.

Dinding penghalang sepanjang 1,5 kilometer dirancang agar air tanah tak mengalir ke bangunan reaktor yang rusak akibat bencana.

Dinding tersebut menghabiskan biaya lebih dari US$ 300 juta (atau setara Rp 3 triliun) untuk pembangunannya dan menghabiskan biaya US$ 10 juta (atau setara Rp 100 miliar) untuk beroperasi.

Masuda mengatakan penting untuk dicatat bahwa kombinasi langkah-langkah perusahaan untuk mencegah kontaminasi berarti situasinya kurang stabil secara keseluruhan.

Jadi, sementara tingkat air yang terkontaminasi masih meningkat -- meski pada tingkat yang lebih lambat -- Pemerintah Jepang belum menyetujui apa yang harus dilakukan terkait masalah itu.

Salah satu pilihan kontroversial termasuk dekontaminasi air sebanyak mungkin dan kemudian secara bertahap melepaskannya ke laut.

Para ahli yang menasihati Pemerintah Jepang telah mendesak pembuangan air secara bertahap ke Samudera Pasifik terdekat.

Penanganan itu bisa menghilangkan semua unsur radioaktif kecuali tritium, yang menurut mereka aman dalam jumlah kecil.

Tapi nelayan lokal menolak gagasan tersebut, karena khawatir akan berdampak buruk terhadap reputasi produk mereka.

Satoru Toyomoto dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang mengatakan bahwa sebuah sub komite pemerintah masih mempertimbangkan pilihannya.

"Anda mungkin berpikir setelah tujuh tahun (ini harus diputuskan), tapi kami telah melakukan yang terbaik dan kami telah melakukan semua hal yang mungkin terjadi dan akhirnya kami sampai pada tahap di mana kami dapat mempertimbangkan hal ini," katanya.

"Setelah kecelakaan itu terjadi pada tahun 2011, itu seperti sebuah rumah sakit lapangan di medan perang -namun akhirnya kami telah mencapai situasi di mana kami bisa dengan tenang memikirkan masa depan jangka panjang.”

"Satgas (yang dibentuk) dua tahun lalu mempertimbangkan berbagai pilihan termasuk pembuangan geologi, penguapan, penguburan di bawah tanah, pelepasan hidrogen atau pembuangan ke laut.”

"Dari kelima pilihan tersebut, kami mencoba membuat penilaian komprehensif mengenai pilihan-pilihan itu, tapi juga langkah-langkah reputasinya."

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya