KPU: Meski Pegang Nomor Urut, Parpol Belum Boleh Kampanye

KPU saat ini melakukan koordinasi dengan Bawaslu, Dewan Pers dan KPI untuk membahas antisipasi pelanggaran kampanye.

oleh Ika Defianti diperbarui 20 Feb 2018, 16:57 WIB
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman memberi keterangan pers di Kantor KPU, Jakarta, Minggu (14/1). KPU melakukan gerakan Mencoklit (Cocokkan Data Teliti Bekerja) pada 20 Januari 2018. (Liputan6.com/Johantallo)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 akan dilaksanakan mulai 23 September 2018. Dengan begitu, ada jeda tujuh bulan, dari pengundian nomor urut partai hingga Pemilu.

Selama masa itu, Arief menegaskan parpol tidak boleh melakukan aktivitas kampanye. Bila dilakukan, maka partai politik yang bersangkutan melanggar Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017.

"Apapun aktivitas yang dilakukan, kalau hal itu masuk dalam kegiatan kampanye, maka dia hanya boleh dilaksanakan pada masa kampanye," kata Arief di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Selasa (20/2/2018).

Partai politik sendiri sudah mengantongi nomor urut masig-masing. Pengundiannya dilakukan 19 Februari lalu.

Arief menjelaskan sesuai aturan, kampanye Pemilu 2019 juga harus dilakukan setelah penetapan daftar calon tetap (DCT) yang akan diselenggarakan pada 20 September 2018.

"Sesuai aturan, kampanye Pemilu 2019 setelah penetapan DCT oleh KPU. Dan DCT dijadwalkan pada 20 September mendatang," ujar dia.

Karena hal itu, Arief menyebut KPU saat ini melakukan koordinasi dengan Bawaslu, Dewan Pers dan KPI untuk membahas antisipasi pelanggaran kampanye.

"Kita nanti rapatkan bersama, prinsipnya suatu kegiatan masuk kategori kampanye maka akan dilarang," jelas Arief.

2 dari 2 halaman

Larang Pasang Gambar Presiden-Wapres

Ketua KPU Arief Budiman memberikan paparan dalam peluncuran buku di Media Center KPU RI, Jakarta, Rabu (13/12). KPU RI meluncurkan Buku dengan judul "Pemilu dan Demokrasi Terkonsolidasi, Catatan Penyelenggaraan Pemilu 2014." (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang adanya penggunaan foto Presiden dan Wakil Presiden untuk kampanye pilkada serentak 2018.

"Presiden dan Wakil Presiden karena itu simbol negara tidak boleh jadi alat kampanye, tidak boleh dipasang-pasang di pinggir jalan," kata Ketua KPU Arief Budiman di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Selasa (20/2/2018).

Dia menjelaskan, secara hakikat kampanye merupakan penjabaran mengenai visi, misi, hingga program yang diusung oleh pasangan calon (paslon), bukan penyampaian gambar-gambar. Apalagi sosok Presiden dan Wakil Presiden bukanlah milik perseorangan, melainkan masyarakat Indonesia.

"Jadi kami mau mengubah cara pikir selama ini yang sering berkembang selalu ada menampilkan gambar-gambar tapi tidak menjelaskan visi misi program," ujar dia.

Kendati begitu, Arief menyatakan memperbolehkan untuk menampilkan gambar pengurus parpol yang mengusung paslon tersebut di pilkada. Bahkan, pemasangan gambar mantan Presiden sekalipun.

"Kalau pengurus partai kebetulan mantan presiden iya enggak apa silakan saja. Kalau tidak pengurus partai kita melarang," jelas Arief.

Aturan mengenai pelarangan pemasangan gambar Presiden saat kampanye pilkada diatur dalam Peraturan KPU Nomor 4 tahun 2017 tentang kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota.

Seperti halnya pada Pasal 29 yang berbunyi:

"(1) Desain dan materi alat peraga kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dibuat dan dibiayai oleh partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan atau tim kampanye sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh ayah KPU/KIP kabupaten/kota.

(2) Desain dan materi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat nama, nomor, visi, misi, program, foto pasangan calon, tanda gambar partai politik atau gabungan partai politik."

Saksikan video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya