Kepala PPATK: Pendanaan Terorisme di 2017 Sulit Dilacak

Gaya baru pendanaan terorisme di 2017 mengalami perubahan.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 19 Des 2017, 19:31 WIB
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, gaya baru pendanaan terorisme di 2017 mengalami perubahan. Dia mengaku cara ini lebih sulit terlacak.

"Pembiayaan teroris mengalami perubahan, kalau dulu mulai dari biasanya self-fund, sekarang melalui sosmed. Istilahnya crowd-fund, ini lebih sulit," papar Kiagus dalam jumpa pers refleksi akhir tahun 2017. 

Kiagus menjelaskan, metode crowd-fund menyamarkan pendanaan teroris melalui iklan. PPATK membutuhkan waktu lebih lama untuk melacaknya.

"Bisa dilacak tapi perlu waktu," ujar dia.

Cara lain digunakan, diungkap Kiagus melalui transaksi kecil. Lewat metode ini jumlah aliran dana terus mengalir dalam jumlah yang tidak besar, sehingga meminimalisir kecurigaan.

2 dari 3 halaman

Kerja Sama dengan Densus 88

"Kesulitan lain adalah dana aliran self-fund kecil-kecil, dan (terbilang) dari kegiatan halal, melalui (jual) voucher telepon, dagang kecil-kecilan, seperti itu," jelas dia.

Meski demikian, PPATK mengaku terus bekerja sama dengan tim Densus 88 Antiteror Polri. Seberapa pun nilai transaksi yang dinilai mencurigakan, akan dikordinasikan.

"Jadi memang harus dikonsultasikan ke Densus 88, misal suspect kita pemilik bengkel pemasukannya Rp 10 juta, tapi masuknya ini kan macem-macem, ada yang memang disumbangkan ke pelaku teror, ada yang memang buat bisnis, jadi kita terus pantau," ujar Kiagus.

 

3 dari 3 halaman

Ungkap 3 Kasus Besar

Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis refleksi akhir tahun 2017. Hasilnya, dari sudut kontribusi penegakan hukum, tercatat PPATK menangani tiga kasus besar.

"PPATK 2017 berkontribusi dalam hal penegakan hukum, ada kasus First Travel, KTP elektronik, dan (helikopter) AW101," kata Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin di Kantor PPATK, Jakarta Pusat, Selasa (19/12/2017).

Lewat penelusuran PPATK, kasus First Travel mencatat kerugian nasabah hingga Rp 924 miliar, dan kasus KTP elektronik merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun.

"Angka tersebut didapat dari hasil analisis kami, melalui Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transfer Dana Dari Dalam/Ke Luar Negeri (LTKL)," papar Kiagus.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya