Pengacara Setnov Datangi Bareskrim untuk Laporkan Saut Situmorang

Pelaporan dilakukan di hari yang sama dengan pengumuman penetapan tersangka kembali Setya Novanto dalam kasus e-KTP.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 10 Nov 2017, 20:40 WIB
Ketua DPR Setya Novanto saat menghadiri sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (3/11). Dalam sidang tersebut, beberapa kali Setnov mengaku lupa saat ditanya hakim maupun jaksa penuntut umum. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Pengacara Setya Novanto, Friedrich Yunadi, menyambangi Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Jumat (11/11/2017) malam. Ia berencana melaporkan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Langkah itu menyusul penetapan kembali kliennya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik. Ia memberi bocoran siapa yang akan dia laporkan.

"Ini kan baru laporan dulu. (Yang dilaporkan) yang mengumumkan (penetapan tersangka)," kata Friedrich di Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta.

Ketika ditanya apakah pihak yang dilaporkan adalah pimpinan KPK, Friedrich pun tidak membantah. Penetapan tersangka Novanto sendiri diumumkan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

"Iya, sudah tahu kok nanya," ujarnya singkat kemudian bergegas masuk ke dalam ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri.

Sampai berita diturunkan, Friedrich masih membuat laporan polisi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini

2 dari 2 halaman

Penetapan Tersangka

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi KTP elektronik (e-KTP). Status tersebut diumumkan pada Jumat (10/11/2017) di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan.

"Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada 28 Oktober KPK menerbitkan sprindik atas nama tersangka SN, sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) pada 31 Oktober 2017. Kasus ini diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari total paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya