Pengurangan Produksi, 2.066 Pekerja Kontraktor Freeport Kena PHK

PT Freeport Indonesia mengurangi kegiatan operasi karena belum bisa ekspor mineral olahan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 20 Mar 2017, 19:40 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua menyatakan, 2.066 pekerja kontraktor PT Freeport Indonesia alami pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 15 Maret 2017. Itu akibat pengurangan kegiatan operasi karena belum bisa ekspor mineral olahan (konsentrat).

Kepala Dinas ESDM Provinsi Bangun S Manurung‎ mengatakan, saat ini ada 2.150 pekerja kontrak yang terkena dampak pengurangan kegiatan operasi Freeport, terdiri dari 2.075 pekerja nasional dan 75 tenaga kerja asing.

Bangun melanjutkan, dari 2.150 pekerja yang terkena dampak, sebanyak 2.066‎ pekerja kontraktor tersebut mengalami PHK, 50 pekerja dirumahkan dan 34 pekerja di pindah untuk mengerjakan proyek lain, di luar kegiatan tambang Freeport.

"Yang dari perusahaan kontrak itu ada ribuan orang yang berhenti. Jadi tidak ada lagi sub kontraktor, tidak ada lagi pekerjaannya sudah putus hubungan kerja," kata Bangun, dalam forum diskusi bagaimana nasib KK Freeport, di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (20/3/2017).

Bangun melanjutkan‎, pekerja tetap Freeport Indonesia yang terkena dampak pengurangan produksi sebanyak 291 pekerja, terdiri dari 8 pekerja nasional Papua, 254 pekerja nasional di luar Papua, dan 29 tenaga kerja asing.

Bangun menuturkan, pekerja tetap Freeport Indonesia yang berasal dari dalam negeri, tidak mengalami PHK‎. Akan tetapi dibebaskan dari kewajiban bekerja atau biasa dikenal dengan dirumahkan, sehingga status hubungan kerja masih aktif dan masih menerima gaji. Sedangkan pekerja tetap‎ Freeport dengan status tenaga kerja asing mengalami PHK.

"Jadi banyak yang dirumahkan. Tetapi mereka terima gaji pokok. Jadi belum ada PHK," ‎ucap Bangun.

Keputusan pengurangan pekerja kontrak dan perumahan pekerja ‎tetap tersebut merupakan dampak pengurangan kegiatan operasi. Itu akibat belum bisa mengekspor konsentrat, sehingga produksi turun menjadi 40 persen dari produksi normal. Hal itu untuk menyesuaikan dengan kapasitas fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) PT Smelting di Gresik.

"Produksi sekarang menurut informasi yang kami terima itu 40 persen kapasitasnya. Kapasitas 40 persen ini untuk memenuhi smelter yang di Gresik. Dan juga saat ini terus ada pengurangan tenaga kerja," tutur Bangun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya