RI Bisa Bebas Utang, Ini Syarat dari Sri Mulyani

Menkeu Sri Mulyani menuturkan, Indonesia memiliki kemampuan untuk berhenti ambil utang. Namun ada syarat yang harus dipenuhi Indonesia.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 19 Feb 2017, 11:00 WIB
Menkeu Sri Mulyani

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia saat ini masih menganut kebijakan ekspansif, yakni belanja atau pengeluaran lebih besar daripada penerimaan negara. Akibatnya terjadi defisit fiskal yang harus dibiayai dari utang.

Sri Mulyani mengatakan Indonesia memiliki kemampuan untuk berhenti meminjam atau berutang. Akan tetapi ada syarat yang harus dipenuhi jika negara ini tidak lagi mengandalkan utang untuk menggerakkan ekonomi Indonesia.

“Banyak yang menanyakan, kapan Bu kita berhenti pinjam? Saya akan berhenti pinjam kalau pendapatan kita lebih dari belanja,” tegas Sri Mulyani seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, Jakarta, seperti ditulis Minggu (19/2/2017).

Sebagai negara yang terus melakukan pembangunan, kata Sri Mulyani Indonesia membutuhkan anggaran belanja infrastruktur yang tinggi. “Dan untuk membangun, penerimaan itu tidak datang dari langit,” tambah dia.

Sekarang ini, Sri Mulyani melanjutkan pemerintah terus berupaya memperbaiki rasio pajak (tax ratio) untuk meningkatkan pendapatan. Tax ratio sebagai indikator jumlah pembayar pajak masih tergolong rendah dikisaran 11 persen. Ini berarti masih besar peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak.

“Jadi, jangan lupa bayar pajak ya,” pinta Sri Mulyani.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang DJPPR Kementerian Keuangan Schneider Siahaan sebelumnya pernah menyampaikan, bebas dari utang bukanlah hal yang mustahil bagi Indonesia. "Kita bebas dari utang? Bisa saja lah," ujar Schneider.

Akan tetapi, menurut Schneider, ada syarat supaya Indonesia terbebas dari utang, bahkan tidak berutang lagi kepada negara lain maupun lembaga-lembaga internasional. Salah satunya meningkatkan pendapatan per kapita.

"Kita tidak usah ngutang lagi kalau pendapatan per kapita kita sudah tinggi. Misalnya di atas US$ 10 ribu selevel China, atau US$ 30 ribu kayak Eropa. Sekarang pendapatan per kapita kita baru US$ 3.000 atau sekitar Rp 40 juta per tahun atau rata-rata Rp 3 jutaan per bulan," jelas dia.

Schneider menilai, utang bukan merupakan tujuan, namun instrumen untuk mencapai tujuan bernegara mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

"Utang itu instrumen bukan tujuan. Pertanyaannya, kita lebih senang mana punya utang yang bisa dibayar dan utang bisa menghasilkan penghasilan yang layak, daripada kita tidak punya utang tapi hidup pas-pasan. Jadi asal utang produktif, bisa bayar utang, kan tenang-tenang saja," dia memaparkan.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya