Petani Rumput Laut NTT Desak Pembatalan Perjanjian Celah Timor

Ledakan dan kebakaran di Blok Montara mengakibatkan usaha rumput laut di wilayah pesisir Pulau Rote dan Kabupaten Kupang, NTT, hancur total

oleh Ola Keda diperbarui 23 Sep 2016, 16:31 WIB
Perairan di Lombok Timur,NTB adalah surga bagi rumput laut. Di salah satu sudut, Iskandar Ismail tengah memeriksa rumput-rumput kenyal itu. (Mevi Linawati/Liputan6.com)

Liputan6.com, Kupang - Sekitar 13 ribu warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi korban pencemaran Laut Timor mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi membatalkan perjanjian tahun 1997 antara Indonesia dan Australia tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas-batas Dasar Laut Tertentu di Laut Timor (Celah Timor).

"Tuntutan pembatalan ini karena belum diratifikasi parlemen kedua negara dan tidak bisa diimplementasikan menyusul Timor Timur telah menjadi negara merdeka melalui referendum 1999," ucap Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni melalui sambungan telepon kepada Liputan6.com, Jumat (23/9/2016).

Menurut Ferdi, belasan ribu warga NTT ini merupakan petani rumput laut yang saat ini menggugat PTTEP Australia, sebuah perusahaan minyak asal Thailand, akibat anjungan minyak Montara yang dikelolanya di Blok Atlas Barat Laut Timor terbakar dan meledak pada 21 Agustus 2009.

Ledakan dan kebakaran di blok itu mengakibatkan usaha rumput laut di wilayah pesisir Pulau Rote dan Kabupaten Kupang, NTT, hancur total.

"Mereka juga meminta Presiden Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat membatalkan Perjanjian 1997, yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan rekannya dari Australia, Alexander Downer, di Perth, Australia Barat, pada 1997," Ferdi menjelaskan.

Saat perjanjian itu diteken, jelas Ferdi, Timor Timur masih menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, melalui referendum pada Agustus 1999, Timor Timur memilih menentukan nasib sendiri dengan melahirkan sebuah negara baru di kawasan Laut Timor bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

"Jadi, apa pun alasannya, perjanjian tersebut wajib dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral," ujar Ferdi.

Perjanjian 1997 tersebut hanya memuat 11 pasal dan dengan tegas menyatakan, "Perjanjian ini mulai berlaku saat pertukaran piagam-piagam ratifikasi." Namun, menurut Ferdi, Australia secara sepihak mengimplementasikan Perjanjian 1997 tersebut tanpa mengindahkan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya