Bertemu Menteri Susi, Apa Saja Curhatan Nelayan?

Menteri Susi menerima berbagai keluhan persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir, baik nelayan maupun pembudidaya ikan dan rumput laut.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 12 Jun 2016, 18:49 WIB
Menjabat sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti kerap jadi perbincangan karena gayanya yang cuek. (Via: liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam kunjungannya di Kabupaten Lembata, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerima berbagai keluhan persoalan yang dihadapi masyarakat pesisir, baik nelayan maupun pembudidaya ikan dan rumput laut yang berdialog dengannya.

Keluhan yang disampaikan mulai dari kualitas rumput laut yang menurun, pembatasan solar, kapal dan alat tangkap hingga tidak adanya pasar untuk menjual ikan.

Saat mengunjungi sentra penghasil rumput laut yakni Desa Babokerong di Kecamatan Nagawutung, masyarakat mengeluhkan kurangnya sarana untuk menjemur hasil panenan rumput laut dan mengharapkan bantuan tempat jemur permanen.

Namun hal tersebut menurut Menteri Susi dapat disiasati dengan para-para yang terbuat dari bambu. Tak hanya itu, warga juga mengeluhkan tidak adanya gudang untuk menampung rumput laut kering saat musim panen tiba, serta menghendaki pemerintah untuk membuat  pabrik agar bisa dipasarkan dengan harga yang lebih baik.

Namun Susi berpendapat belum perlu membangun pabrik karena produksi rumput laut yang dihasilkan terhitung masih sedikit, yakni hanya 270 ton per tahun. Sementara itu jika dibandingkan dengan Waingapu di Sumba Timur, rumput laut yang dihasilkan Babokerong relatif lebih rendah kualitasnya.

 

"Saya lihat tadi rumput lautnya kurang bagus, tidak seperti di Waingapu," ujarnya.

Menanggapi permasalahan ini, KKP melalui Ditjen Perikanan Budidaya akan membangun laboratorium kultur jaringan (kuljar) untuk memperbaiki kualitas bibit dan menyalurkan bantuan 400 unit kebun bibit rumput laut senilai Rp 900 juta.

"Nanti akan ada empat  kawasan yang menjadi lokasi sasaran, juga ada bantuan sarana dan prasarana budidaya senilai Rp 735 juta," jelas Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto yang juga mendampingi Susi meninjau hasil panen rumput laut di Babokerong.

Persoalan lainnya yang dihadapi masyarakat nelayan Lembata adalah terkait minimnya armada kapal dan alat tangkap. Untuk itu, nelayan mengharapkan bantuan kapal 1-5 GT dengan alat tangkap pole and line untuk menangkap ikan tuna.

"Kalau kapal tidak masalah, asal buat koperasi dulu, paling mahal biayanya Rp 700 ribu. Nanti Ditjen Perikanan Tangkap bisa menyiapkan (bantuan) 50 unit pole and line," jawabnya.

Sementara itu, merespons soal rendahnya harga ikan hasil tangkapan, Susi mengatakan mekanisme pasar harus diciptakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat.

"KUD (Koperasi Unit Desa) dihidupkan supaya yang beli dari KUD agar harganya bagus", tambahnya.

Persoalan jatuhnya harga ikan saat musim tangkap, menyebabkan ikan tidak terjual sehingga ikan bernilai ekonomis tinggi seperti tongkol hanya dijadikan sebagai bahan baku tepung ikan.

"Ikan bagus-bagus dibuat tepung ikan. Tahun depan lembata akan disiapkan coldstorage, yang dikelola koperasi, jadi ikannya bisa disimpan dan di jual ke luar daerah," jelas Susi.

Padahal menurut Susi, ikan-ikan tersebut jika dijual di Jawa harganya mencapai Rp 30 ribu-Rp 40 ribu per kilogram (kg). Bahkan nelayan mengaku sebanyak 1 dam truck atau sekitar 5 ton ikan hanya dihargai Rp 500 ribu saja jika ikan sedang melimpah.

"Coldstorage dan es sangat penting agar ikan bisa dikirim keluar. Saya juga sudah minta PERINDO  dan PERINUS  untuk bisa menampung ikan dari nelayan," ungkapnya.

Selanjutnya mayoritas nelayan juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM). Persoalan BBM ini menjadi masalah krusial dan faktual yang dirasakan oleh nelayan. Selama ini kapal di bawah 10 GT dibatasi hanya dapat membeli solar 10 liter per hari di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Selain itu letak SPBU yang berada di perkotaan jauh dari desa, sehingga harganya melambung karena harus mengeluarkan biaya transportasi. Padahal untuk bisa melaut ke lepas pantai saja nelayan membutuhkan BBM hingga 100 liter per hari.

Terkait persoalan ini, Susi meminta Bupati Lembata untuk bisa menyurati Pertamina agar tidak ada pembatasan pembelian BBM oleh nelayan.

"SPDN paling tidak akhir tahun bisa ditambah. Untuk sementara SPBU tidak membatasi nelayan di bawah 10 GT," tegas Susi.

Sedangkan untuk keluhan aturan perizinan, Susi dengan tegas bahwa telah dikeluarkan surat edaran ke seluruh pemerintah daerah dimana kapal di bawah 10 GT tidak perlu izin namun tetap harus didaftarkan.

Untuk itu, Ia mengimbau agar pemerintah daerah dapat mengindahkan surat tersebut untuk tidak lagi mempersulit izin nelayan kecil.

"Bapak-bapak juga harus punya kartu nelayan biar bisa mendapatkan asuransi dan subsidi BBM," pesan dia.

Selama di Lembata, selain mengunjungi sentra rumput laut Babokerong dan berdialog dengan masyarakat, Susi juga meninjau pabrik tepung ikan, lokasi acara Hari Nusantara di Bukit Cinta, melepaskan tukik, meninjau situs bahari fosil (tulang) ikan paus terdampar dan melakukan pantauan udara.

Sebagai informasi, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melakukan safari bahari di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan berlayar di perairan Flores (laut Sawu) menggunakan KRI Untung Suropati 372 milik TNI AL.

Selama 4 hari (9 s.d 12 Juni 2016), Susi akan singgah di tiga wilayah NTT yakni Larantuka, Lembata dan berakhir di Kupang untuk meninjau situasi dan kondisi. (Fik/Ndw)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya