Sukses

Bisnis Operator Seluler Tak Baik Saja, ATSI Minta Platform Digital Ikut Kontribusi PNBP Telekomunikasi

ATSI menyebut bisnis operator seluler sedang tak baik-baik saja, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia meminta agar platform digital ikut berkontribusi membayar PNBP telekomunikasi.

 

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) curhat soal bisnis perusahaan telekomunikasi yang kini sedang tidak baik-baik saja.

Hal ini dikatakan oleh Wakil Ketua ATSI Merza Fachys dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Selular, Senin (13/11/2023).

Merza bahkan mengatakan, pendapatan perusahaan telekomunikasi tidak bertumbuh setinggi tahun-tahun sebelumnya. Meski begitu, perusahaan telekomunikasi masih menopang banyak industri, termasuk di dalamnya industri dan platform digital dan layanan over the top (OTT).

Di sisi lain, operator telekomunikasi masih harus dibebani dengan regulatory charge, termasuk di antaranya BHP frekuensi yang dipersyaratkan untuk bisa memakai pita spektrum tertentu.

"Industri telekomunikasi, meski tidak baik-baik saja tapi di sisi lain menimbulkan suatu dampak ekonomi yang luar biasa," kata Merza, di Jakarta.

Merza pun mengatakan, operator meski masuk ke bisnis digital juga perlu tetap menjaga core bisnisnya yakni membangun infrastruktur telekomunikasi. Hal ini perlu dilakukan untuk menopang berbagai bisnis dan mendukung transformasi digital.

"Kalau operator masuk ke bisnis digital dan pembangunan infrastuktur ditinggalkan, ini sangat bahaya, tidak ada yang menjaga infrastruktur agar seluruh perekonomian yang bertumpu digital bisa bertumbuh. Dua-duanya harus tumbuh dan dijaga bersama-sama," kata Merza.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Operator Terbebani Regulatory Charge yang Terlalu Tinggi

Karena biaya pembangunan infrastruktur yang begitu tinggi termasuk, dengan beban pembayaran regulatory charge yang dihitung sebagai Penerimaan Nasional Bukan Pajak (PNBP) sektor telekomunikasi, Merza meminta agar berbagai platform digital ikut gotong royong dalam menyumbang bagi PNBP telekomunikasi.

"Operator iri dengan pemain digital dengan pendapatan yang terus meningkat, sementara bisnis telekomunikasi sedang tidak baik-baik saja. Jadi, jangan hanya narikin dari infrastruktur (operator) tetapi dari digital juga. Mereka bayar pajak, sama, kami (operator telko) juga bayar pajak, tapi mereka kan tidak bayar BNPB," kata Merza, menegaskan.

Merza mengatakan, meski platform digital tidak memakai spektrum frekuensi untuk menggelar layanan telekomunikasi, tetapi perusahaan digital ini menggunakan layanan telekomunikasi untuk bisa berjalan.

 

3 dari 4 halaman

Platform Digital Perlu Ikut Urunan Bayar PNBP Telekomunikasi

Oleh karena itu menurut pria yang juga menjabat sebagai Presdir Smartfren ini, platform digital juga perlu berkontribusi membayar PNBP telekomunikasi serta USO (universal service obligation). Pasalnya kata Merza, platform digital juga melayani pelanggan untuk berkomunikasi, melalui platform media sosial, chatting, dan lainnya.

"Oleh karena itu, bantu kami agar menjaga infrastruktur ini tumbuh dengan kualitas yang benar, harga yang terjangkau, tetapi pemerintah juga tidak boleh berkurang pendapatannya," kata Merza.

Ia menyebut, platform digital perlu membantu membayar PNPB agar besaran PNBP telekomunikasi yang didapatkan pemerintah sama atau lebih tinggi.

"Tapi jangan dari operator, dari pemain lain yang juga perlu berkontribusi," kata Merza.

4 dari 4 halaman

Regulatory Charge Saat Ini Bikin Bisnis Operator Tak Sehat

Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, Merza juga menyebut bahwa regulatory charge yang dibebankan ke operator seluler saat ini telah membuat bisnis telekomunikasi di Indonesia tidak sehat. 

Pasalnya saat ini regulatory charge menyerap 12-15 persen dari pendapatan operator seluler. "Kalau mau bisnis telekomunikasi sehat, regulatory charge harusnya di bawah 10 persen dari revenue," kata Merza. 

Merza menjelaskan, regulatory charge yang dibebankan ke operator bukan hanya dalam bentuk BHP frekuensi tetapi juga USO dan lain-lain. Namun, yang paling membebani adalah BHP frekuensi. 

"Di sisi lain, pendapatan operator tumbuhnya tidak setinggi di masa lalu, hanya tumbuh 5-6 persen secara average growth, padahal BHP frekuensi tumbuh 10 persen. Pertumbuhan BHP frekuensi tumbuh tidak seimbang dengan regulatory charge yang dibayar," kata Merza. 

Untuk itulah, operator seluler meminta pemerintah untuk memformulasikan ulang besaran BHP frekuensi dan meminta insentif untuk menggelar layanan 5G. 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.