Sukses

Salah Hitung Tarif Interkoneksi Timbulkan Persaingan Tak Sehat

Pemerintah diimbau untuk berhati-hati dalam menghitung ulang biaya interkoneksi yang akan menjadi referensi bagi operator.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diimbau untuk berhati-hati dalam menghitung ulang biaya interkoneksi yang akan menjadi referensi bagi operator dalam bernegosiasi. Pasalnya, jika salah hitung diprediksi bisa menimbulkan persaingan tak sehat di industri telekomunikasi.

“Interkoneksi secara harafiah merupakanketerhubungan antar-jaringan telekomunikasi secara fisik.Logikanya tak ada pihak yang merasa dirugikan ketika terjadiketerhubungan," ujar Pengamat Telekomunikasi Mochamad James Falahudin, Jumat (2/9/2016) di Jakarta.

Akan tetapi, lanjutnya, kalau salah memberikan angka referensi yang terjadi bukan interkoneksi, tetapi numpang koneksi alias satu merasa untung, yang satunya bisa merugi.  

Melalui keterangan tertulisnya, Falahudin mengatakan bahwa hal yang wajar jika Telkom Group menolak hasil perhitungan dari pemerintah untuk biaya interkoneksi yang tercermin dalam Surat Edaran (SE) SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia dan dirilis pada 2 Agustus 2016.

“Telkom Group sudah investasi lama dan besar untuk bangun jaringan. Operator lain dikasih kesempatan sama untuk lakukan itu, kenapa tidak kerjakan hal yang sama? Tak bisa kita lihat sesuatu di ujungnya saja, lihat secara komprehensif dong,” tambah Falahudin.

Menurutnya, potret persaingan di industri telekomunikasi sekarang adalah akibat dari perang harga yang dimulai 7-8 tahun lalu untuk rebutan akuisisi pelanggan.

“Dulu 'banting-bantingan' harga dengan harapan bisa menggaet cukup banyak pelanggan yang dalam jangka panjang akan mengembalikan uang yang 'dibakar' untuk akuisisi itu. Sayangnya, prediksi itu tak jadi kenyataan dan sepertinya sekarang investornya mulai lebih pelit mengucurkan dana. Sekarang muncul 'kreativitas' untuk tetap bisa ekspansi dan survive dengan memanfaatkan celah regulasi,” sindirnya.

Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menegaskan, dalam interkoneksi tak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan.

“Kalau dilihat dengan biaya interkoneksi Rp 250 saja (versi lama), sudah ada yang posisi untung, ada buntung. Coba cek saja penawaran produk dan laporan keuangan para operator itu,” ungkapnya.

Menurutnya, selama ini Telkomsel mengalami kelebihan bayar, tetapi kekurangan dibayar dalam interkoneksi.

"Operator di luar Telkom wajar mendesak secepatnya biaya  interkoneksi baru diberlakukan karena menguntungkan bagi mereka. Tapi bagaimana untuk Telkom Group?," tanya Kamilov Sagala. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Alasan Telkomsel Belum Serahkan DPI

Alasan Telkomsel Belum Serahkan DPI

Menurutnya, Telkom selama ini merugi karena biaya interkoneksi lama sebenarnya tak sesuai dengan recovery cost-nya. Recovery cost Telkomsel Rp 285/menit, pakai yang lama Rp 250/menit sudah minus. Jika memakai Rp 204/menit, kerugiannya akan dobel.

Diingatkannya, jika pemerintah tetap memaksakan penurunan biaya interkoneksi terlalu besar, akan terjadi nanti fenomena operator ogah membangun jaringan dan memilih menumpang di milik pemain lain.

“Sementara cost recovery operator dominan tidak akan mencapai titik impas. Soalnya mereka menderita kerugian karena dibayar di bawah biaya produksi. Ini jangka panjangnya yang dirugikan pelanggan juga. Itulah yang diperjuangkan Telkom Group, mereka itu tetap ingin melayani rakyat Indonesia hingga pelosok. Semoga pemerintah paham,” papar Kamilov Sagala. 
BTS (hackaday.com)
Sebelumnya, Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza melalui siaran pers menyatakan, karena Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) belum lengkap terkumpul, maka biaya interkoneksi baru yang menjadikan penurunan 26% bagi 18 skenario panggilan seluler tak bisa dijalankan pada 1 September 2016.

Telkom dan Telkomsel dikabarkan belum memberikan DPI untuk dievaluasi oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Operator pelat merah ini tak menyerahkan DPI karena Kemenkominfo belum membalas sejumlah surat keberatan yang dilayangkannya atas penetapan biaya interkoneksi yang diumumkan 2 Agustus 2016.

"Kami belum menyerahkan DPI karena belum mendapatkan jawaban secara tertulis perihal surat keberatan Telkomsel kepada Menkominfo. Hal ini dirasa perlu untuk menegakkan asas tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan," ungkap Direktur Utama Telkomsel, Ririek Adriansyah dalam keterangan resminya.

(Isk/Cas)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini