Sukses

Pakar Unair: Tragedi Kanjuruhan Bukan Pelanggaran HAM Berat

Iman juga memberikan salah satu contoh kebijakan destruktif jika terjadi kerusuhan dengan memperbolehkan penggunaan alat senjata dengan tujuan membunuh.

Liputan6.com, Surabaya - Pakar Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Iman Prihandono menyampaikan, tragedi Kanjuruhan tidak bisa dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat, genosida atau Kejahatan Kemanusiaan.

"Karena sejak awal tidak ditemukan pola atau kebijakan destruktif ke dalam suatu kelompok, ras, etnis, ataupun niatan," ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) "Pertanggungjawaban Pidana Kasus Tragedi Kanjuruhan Malang" di Kampus B Unair Surabaya, ditulis Senin (28/11/2022).

Iman juga memberikan salah satu contoh kebijakan destruktif jika terjadi kerusuhan dengan memperbolehkan penggunaan alat senjata dengan tujuan membunuh.

"Dalam kasus ini, senjata gas air mata masuk dalam kategori melumpuhkan," ucapnya.

Pakar Psikologi Unair, Suryanto menambahkan, yang terjadi dalam tragedi Kanjuruhan tersebut adalah Collective Mind, dimana suatu massa berkumpul memberikan semangat satu dengan yang lain lalu menimbulkan kerusuhan, (aggressive) maupun dalam bentuk hinggar binggar dalam aspek positif bernyanyi.

"Dalam hal ini kesadaran individual berkurang dan lebih pada kesadaran kolektif," kata Suryanto.

Sebagai contoh, kata Suryanto, flare satu penonton diikuti oleh yang lain, bahkan dari flare menjadi pelemparan botol dan seterusnya.

"Perbuatan itu kecil terjadi jika dilakukan sendirian, namun dalam tragedi Kanjuruhan massive karena collective mind," sebutnya.

Menurutnya, individu yang berada di dalam kelompok bersifat mudah tersugesti/provokasi, mereka berani melakukan apapun karena anomim atau kehilangan identitas.

Dalam perubahan individu yang masuk dalam kelompok karena colletive mind, suuggestable, serta anonim yang menimbulkan sikap bermacam-macam (destructive dan lain-lain). Berpendapat apakah bisa diterapkan hukum pidana baik untuk aparat kepolisian, hingga penonton.

"Berpendapat pemberitaan haruslah berimbang, karena tidak bisa hanya aparat kepolisian yang disalahkan, atau justru hanya penonton. Karena tidak semua penonton melakukan pelemparan dan lain sebagainya," jelas Suryanto.

Oleh karenanya, lanjut Suryanto, menyoroti stimulan sebab akibat, sebelum terjadi tragedi maka perlu mendalami siapa penyebab awal terjadinya kerusuhan. "Sehingga memicu sikap aggressive represive yang berujung chaos dan tragedi kematian massal," tandasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tidak Ada Perencanaan

Sedangkan Pakar Hukum Pidana Unair, Didik Endro Purwoleksono menegaskan bahwa tragedi Kanjuruhan bukan pelanggaran HAM berat. Karena kalau dikatakan pelanggaran HAM maka acuannya adalah pengadilan HAM, Undang-Undang 26 tahun 2000.

"Dan itu ada dua jenis genosida dan kemanusiaan. Ciri khas pelanggaran HAM adalah sistematis, tetapi gas air mata bukan senjata tajam," tuturnya.

Dirinya tidak menyatakan pembunuhan berencana atau pembunuhan biasa. Jika itu pembunuhan berencana, maka pasti ada perencanaan dari jauh-jauh hari.

"Dalam kasus ini tidak, tidak ada ceritanya polisi itu melakukan pembunuhan massal. Menurut saya seperti pelanggaran HAM pembunuhan berencana ini kita kesampingkan," kata Didik

Menurutnya, dalam konteks pembunuhan biasa juga tidak bisa diiterapkan. Perlu melihat unsur Culpa (Lalai/ Alpa) apakah kelalaian atau kesengajaan, sehingga pelanggaran HAM dan pembunuhan baik ataupun berencana tidak relevan.

"Jadi yang paling pas dikenakan pasal 359, namun perlu didalami apakah aparat kepolisian hadir disana. Sudah mengetahui atau tidak tentang regulasi larangan FIFA membawa gas air mata kedalam Stadion," sebutnya.

Berikutnya, lanjut Didik, penembakan gas air mata apakah sesuai dengan SOP. Dan yang ketiga apakah dapat dibuktikan apakah para korban itu merupakan korban gas air mata. Dan poin terakhir, apakah bisa dibuktikan gas air mata dibuktikan menyebabkan kepanikan sehingga saling berdesakan dan terjadilah tragedi itu.

"Menurut saya dari empat poin tersebut jika salah satunya memenuhi, maka aspek pidananya bisa dikenakan pasal 359," ujarnya.

Dia juga membeberkan pihak yang bertanggungjawab dalam peristiwa tersebut, yakni komandan yang memerintahkan penyemprotan.

"Bagaimana dengan anggota? saya menjawab tidak bisa, karena anggota melaksanakan perintah jabatan. Beda dengan TNI sistem komando. Karena polisi patuh pada peradilan pidana jika ada kesalahan," ucapnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.