Sukses

Melihat Prospek Investasi Saham saat Investor Asing Kembali Masuk

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan pada 3-6 April 2023. Lalu kapan waktu yang tepat untuk investasi saham?

Liputan6.com, Jakarta - Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah pada perdagangan 3-6 April 2023 ke posisi 6.793. Koreksi IHSG didorong sektor saham teknologi dan perawatan kesehatan.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu (9/4/2023), kontribusi tekanan dua sektor saham terhadap IHSG itu masing-masing 2,91 persen dan 2,73 persen. Di tengah tekanan IHSG, investor asing melakukan aksi beli saham USD 165 juta atau sekitar Rp 2,46 triliun (asumsi kurs Rp 14.918 per dolar AS).

“Minggu ini kami melihat data global yang lebih lemah dari yang diharapkan. Data makro seperti PMI Manufaktur China dan Amerika Serikat lebih rendah dan surplus perdagangan Kanada lebih rendah,” tulis Ashmore.

Selain itu, dari Indonesia, Ashmore melihat inflasi utama dan inti lebih rendah dengan data PMI manufaktur Global S&P yang lebih kuat pada Maret 2023.

Melihat kondisi itu, kapan waktu yang tepat untuk investasi saham?

Kinerja IHSG dalam dua minggu ini mencatat kinerja positif dengan naik 0,45 persen. Aliran dana investor asing yang masuk mencapai Rp 5,05 triliun dalam dua minggu terakhir.

Hal itu berkontribusi besar terhadap aliran dana investor asing yang masuk ke saham sepanjang 2023 sebesar Rp 8,76 triliun. Ashmore menilai, meski volatilitas global terjadi, investor asing masih memandang positif saham Indonesia.

Selain itu, terhadap indikator ekonomi makro yang stabil seperti surplus neraca berjalan yang kuat dan rupiah yang stabil, ada potensi peningkatan peringkat Indonesia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Potensi Beli Saham

“Sejak 2023, data Indonesia seperti produk domestik bruto (PDB), transaksi berjalan, inflasi dan GDP per kapita tampaknya berada di atas rekan-rekan Asia dengan peringkat BBB+ seperti Thailand dan Filipina,” tulis Ashmore.

Hal itu menjadi pertanda baik tidak hanya untuk obligasi tetapi juga saham seiring membaiknya peringkat risiko negara.

Sejak 2012, IHSG mengalami kinerja yang underperform sekitar minus 0,83 persen pada kuartal II setiap tahun dengan frekuensi negatif bulanan terbesar kembali terjadi pada Mei 2023.

“Ini biasanya berasal revaluasi saham karena overestimasi penih perkiraan pendapatan tahunan. Sedangkan IHSG lebih rendah diterjemahkan menjadi peluang pembelian yang baik,” tulis Ashmore.

Melihat data 2012, jika investor akan membeli saham pada kuartal II, ada rata-rata pengembalian 3,96 persen hingga kuartal IV, sementara jika saham dibeli pada kuartal III ada rata-rata pengembalian 4,54 persen hingga kuartal IV 2023.

“Mengambil kesempatan ini untuk diinvestasikan dalam saham,” tulis Ashmore.

3 dari 4 halaman

Membedah Instrumen Investasi yang Berpotensi Cuan pada 2023

Sebelumnya, kondisi ekonomi global yang dilanda ketidakpastian menimbulkan kekhawatiran pasar. Meski begitu, investor tampaknya sudah cukup antisipatif, merujuk pada sinyal bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (the Fed) yang diperkirakan tidak akan agresif menaikkan suku bunga, seiring inflasi yang mulai terkendali.

Vice President of Sales and Distribution PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Felicia Iskandar menilai, tahun ini menjadi kesempatan untuk investasi pada aset-aset di pasar modal, baik obligasi maupun di pasar saham.  

"Pada semester I, karena kondisi suku bunga kelihatan cenderung akan stay atau terjadi pemangkasan dan inflasi cenderung lebih terkendali dibanding tahun lalu, akan berikan peluang dari sisi kenaikan aset interest rate sensitive seperti obligasi,” kata dia dalam Money Buzz, ditulis Rabu (29/3/2023).

Menurut dia, pada paruh pertama 2023 lebih banyak katalis positif untuk obligasi. Salah satunya mengacu pada perkiraan kapan suku bunga akan mengalami perubahan. Menurut dia, waktu terbaik untuk masuk obligasi adalah sekitar 3 bulan sebelum momentum itu.

"Momentum ideal based on historical untuk beli obligasi dengan kondisi most likely tidak ada kenaikan suku bunga, biasanya 3 bulan sebelum interest rate pick,” ujar Felicia.

Misalnya, Bank Indonesia (BI) sudah memberi sinyal tidak ada kenaikan suku bunga pada April atau Mei, maka waktu terbaik untuk masuk pasar obligasi yakni sekitar Februari agar mendapat imbal hasil maksimal.

Atau, misalnya jika BI memutuskan untuk menaikan suku bunga sekali lagi mengikuti kebijakan The Fed pada Juni atau Juli, maka waktu terbaik untuk masuk pasar saham adalah sekarang, atau sekitar Maret.

"Secara historis, kalau kita masuk di momen 3 bulan sebelum pick rate, biasanya 1 tahun kinerja obligasi bisa naik 13-15 persen return-nya,” mbuh Felicia.

 

4 dari 4 halaman

Katalis Positif untuk Obligasi

Obligasi memang akan mengalami katalis positif saat suku bunga acuan mulai stabil, atau tidak lagi ada kenaikan. Sebagai contoh, felicia menjelaskan obligasi AS atau US treasury 10 tahun yang imbal hasilnya sudah turun 0,5 bps atau dari sekitar 3,8—3,9 persen menjadi 3,3–3,4 persen.

"Kalau imbal hasil turun, harga obligasi naik. Begitu juga yang terjadi dengan obligasi pemerintah RI denominasi dolar Amerika Serikat. Ini relatif diuntungkan dengan kondisi global dan suku bunga saat ini, juga untuk obligasi di rupiah,” jelas Felicia.

Sedangkan untuk paruh kedua tahun ini, Felicia mengatakan pasar saham yang akan lebih banyak mendapat sentimen positif. Hal itu merujuk pada mulai bangkitnya konsumsi jelang pemilu 2024. Sehingga pertumbuhan itu turut mengerek kinerja emiten di pasar saham.

“Semester II kita klan lihat katalis lebih ke pasar saham karena equity akan dipicu dari sisi growth karena adanya pemilu di 2024,” pungkas dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini