Sukses

Bantengan Sendratari Estetis nan Magis, Penonton Dilarang Bersiul

Kesenian ini juga memiliki sosok penting dengan julukan berbeda di setiap daerah. Ada yang menyebutnya pawang, tetua, pendekar, atau sesepuh.

Diperbarui 08 Mei 2025, 13:30 WIB Diterbitkan 09 Mei 2025, 03:00 WIB

Liputan6.com, Malangcer - Bantengan merupakan kesenian tradisional yang berkembang di wilayah Jawa Timur. Kesenian ini menggabungkan unsur sendratari dengan unsur magis berupa tahap ndadi, pembacaan mantra, keberadaan sesaji, dan lainnya.

Bantengan menampilkan sendratari yang menonjolkan olah kanuragan, musik, dan syair atau mantra magis. Terdapat tahap trance atau ndadi, yakni saat pemain pemegang kepala bantengan kesurupan arwah leluhur banteng (Dhanyangan).

Mengutip dari laman Direktorat Jenderal Kebudayaan, kesenian bantengan sarat dengan nilai, makna, dan fungsi yang sakral. Pementasan ini identik dengan gerak yang mirip banteng dengan busana khas, iringan musik, properti, tempat pementasan, dan sesaji.

Kesenian ini juga memiliki sosok penting dengan julukan berbeda di setiap daerah. Ada yang menyebutnya pawang, tetua, pendekar, atau sesepuh.

Bantengan dimainkan oleh dua orang. Satu pemain berperan sebagai kaki depan sekaligus pemegang kepala bantengan, sedangkan pemain lainnya sebagai pengontrol tari bantengan sekaligus kaki belakang serta ekor bantengan.

Kostum yang digunakan biasanya terbuat dari kain hitam dengan topeng berbentuk kepala banteng. Topeng tersebut terbuat dari kayu serta tanduk asli banteng. Seiring berjalannya waktu, tanduk yang digunakan diganti dengan tanduk sapi atau kerbau yang sudah mati.

Bantengan juga dimainkan dengan dua orang tambahan sebagai pemegang tali kekang. Tali ini berguna untuk mengendalikan pemain bantengan yang sudah kesurupan.

Adapun sesaji yang disediakan dalam kesenian ini berupakan simbol persaudaraan antarwarga. Sesaji tersebut sekaligus sebagai penghormatan bagi leluhur atau nenek moyang sekaligus makanan bagi orang yang kesurupan.

 

2 dari 3 halaman

Dilarang Bersiul

Saat bantengan dipentaskan, para penonton dilarang bersiul. Hal ini dianggap mengejek arwah atau roh yang memasuki tubuh pemain.

Adapun pementasan ini terdiri dari tiga tahap, yakni ritual nyuguh atau sandingan, pementasan yang meliputi karak’an dan pementasan sampai kesurupan atau ndadi, serta nyuwuk yang bertujuan memulangkan arwah leluhur ke tempat asalnya. Ketiga tahap ini harus dilaksanakan dengan berbagai persyaratan, meliputi kelengkapan busana, iringan musik, dan sesaji.

Kelengkapan busana meliputi busana pencak silat, busana harimau, busana bantengan, busana pendekar, dan pecut. Selanjutnya iringan musik terdiri dari kendang, jidor, ketipung, peking, saron, demung, gong, kempul, kenong, dan seorang sinden lengkap dengan panjak. Adapun kelengkapan sesaji terdiri dari kelapa, pisang, ketan, nasi kabuli, rokok, susur, bedak, telur ayam kampung, kembang boreh, kaca, dan uang.

Konon, bantengan sudah ada sejak zaman Kerajaan Singasari. Jejak kesenian ini dapat dilihat dari peninggalan Candi Jago dan Tumpang Malang yang erat kaitannya dengan pencak silat.

Pada masa itu, bantengan masih berbentuk topeng kepala bantengan yang menari. Gerakan tariannya diadopsi dari gerakan kembangan pencak silat.

 

3 dari 3 halaman

Masa Kolonial

Pada masa kolonial, kesenian ini berlanjut dengan dibuatnya topeng bantengan dari tanduk banteng oleh seorang tokoh bernama Mbah Siran di Desa Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Memasuki masa Orde Lama, kesenian bantengan semakin banyak bermunculan di berbagai daerah pegunungan di Jawa Timur. Hingga kini, bantengan telah berkembang di Kabupaten Mojokerto, Kota Malang, Kota Batu, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Kediri, hingga Kabupaten Pasuruan.

Menurut data dari Dinas Pariwisata Kota Batu, pada 2018 terdapat sekitar 200 grup kesenian bantengan. Sementara itu, data Dinas Pariwisata Kabupaten Pasuruan mencatat 12 paguyuban di Nomor Induk Kesenian. Namun faktanya, terdapat ratusan paguyuban di Pasuruan.

Paguyuban di setiap daerah mengelola dan mengembangkan bantengan dalam bentuk pertunjukan maupun festival. Bahkan di Kabupaten Mojokerto sudah terbit Buku Teks Kesenian Bantengan untuk Sekolah Dasar Kelas IV, V, dan VI.

Saat ini, bantengan dipentaskan untuk tujuan sakral, tolak bala, melestarikan seni budaya tradisional, serta menghormati leluhur nenek moyang. Lokasi pendukung kesenian ini berada di daerah pegunungan Bromo Tengger Semeru, Arjuno-Welirang, Penanggungan (Pacet), Kawi, dan Raung-Argopuro. Pementasan kesenian Jawa Timur ini juga digelar di momen tertentu, seperti peringatan Tahun Baru Islam, HUT Kemerdekaan RI, bersih desa atau selamatan desa, hajat masyarakat, dan lainnya.

Penulis: Resla

Produksi Liputan6.com