Sukses

Mengurai Permasalahan Pemenuhan Hak Pilih Masyarakat Adat Mentawai dalam Pemilu

Kondisi geografis Mentawai menciptakan tantangan tersendiri. Sebagai contoh, Siberut.

Liputan6.com, Mentawai - "Banyak warga di sini yang tidak tahu apa itu pemilu. Kalaupun ada yang paham, kita sudah jera dengan janji-janji pejabat dan anggota dewan itu".

Kalimat tersebut disampaikan oleh Ojak Kerei, salah seorang masyarakat adat di Simalegi, Kecamatan Siberut Barat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Dirinya merasa, meski Pemilu 2024 sudah dekat, namun hingga kini belum ada sosialisasi yang berarti di kampungnya. Padahal menurut Ojak, masyarakat di Simalegi masih banyak yang belum memahami bagaimana pentingnya menyalurkan hak pilih ketika pemilu.

Mantan kepala Dusun Simalegi yang menjabat pada 2018-2023 itu menyampaikan, masyarakat belum memahami makna hak pilih. Kondisi masyarakat yang belum memiliki kepedulian terhadap pemilu disebabkan oleh beberapa hal.

"Pertama, itu masyarakat berkegiatan ke ladang. Pagi-pagi mereka sudah ke ladang. Tidak terlalu penting bagi mereka datang ke tempat pemungutan suara (TPS)," katanya, Selasa (1/8/2023).

Hal lainnya kata Ojak, masyarakat kecewa dan bosan mendengar janji-janji anggota dewan saat kampanye. Tak ada satu pun janji yang ditepati kala terpilih sebagai anggota legislatif di kabupaten.

"Jangankan menepati janji, balik ke kampung kami saja tidak ada mereka yang janji-janji itu," terang Ojak.

Persoalan ini, lanjutnya, terus terjadi setiap pemilu tiba. Masyarakat adat di Simalegi tak tersentuh edukasi demokrasi dan kepemiluan.

"Bahkan waktu saya jadi kepala dusun, saya sampai jemput warga ke rumah untuk datang ke TPS. Begitulah saking mereka tidak peduli," jelasnya.

Ketidakpedulian itu, menurut Ojak, tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Melainkan Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah yang tidak menjalankan tugas untuk memberikan edukasi dan sosialisasi.

"Iya sosialisasi ada, tapi kadang-kadang dilakukan di pusat kecamatan yang berjarak lebih dari dua jam dari dusun ini, atau sekadar mengumpulkan warga untuk hanya menjalankan agenda," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdi Akbar. Menurutnya, masyarakat adat masuk ke dalam kelompok pemilih rentan. Desain pemilu belum sepenuhnya inklusif melibatkan dan memfasilitasi partisipasi masyarakat adat.

Konstruksi hukum penyelenggaraan Pemilu 2024 menggunakan Undang-undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mewajibkan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik. Sebagai akibatnya,  pada Pemilu 2019, satu juta masyarakat adat yang tak memiliki KTP akibat wilayahnya masuk dalam kawasan hutan tak terdaftar sebagai pemilih.

"Akibatnya, banyak yang tidak terdaftar sebagai pemilih," kata Abdi.

Meski putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengakomodasi surat tanda perekaman KTP elektronik sebagai syarat untuk memilih,  hal tersebut belum berdampak positif terhadap masyarakat adat. 

"Karena yang menghambat partisipasi masyarakat adat dalam pemilu adalah problem tenurialnya dan belum diakuinya hak masyarakat adat, termasuk haknya atas wilayah adatnya. Bukan hanya sekedar administrasi kependudukan," jelasnya.

Desain penggunaan hak pilih tersebut masih sama untuk Pemilu 2024 mendatang. Artinya, tantangannya sama dengan Pemilu 2019 lalu. Untuk meretas kerentanan tersebut, penyelenggara pemilu harus proaktif memberikan kejelasan kepada masyarakat adat agar dimudahkan untuk berpartisipasi.

Khusus untuk Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat, lanjutnya, salah satu persoalannya yakni, masih minimnya edukasi mengenai pentingnya menggunakan hak pilih. 

"Pemilu universal adalah hal yang baru bagi masyarakat adat. Selama ini, masyarakat adat terbiasa mengambil keputusan secara kolektif melalui musyawarah adat (demokrasi masyarakat adat)," ujar Abdi.

Menurutnya, dari sudut pandang masyarakat adat, pemilu berbasis satu orang satu suara dianggap rentan memicu konflik horizontal, dan itu justru menyuburkan praktik politik uang.

Selain itu, yang patut mendapatkan perhatian ialah masih banyak masyarakat adat tuna aksara. Ia menerangkan, pada pemilu 2019, masyarakat adat tuna aksara kesulitan menggunakan hak suaranya pada emilu legislatif, lantaran desain surat suara yang hanya menampilkan nama tanpa foto. 

"Sementara, belum ada regulasi yang menjamin pendampingan pemilih bagi masyarakat tuna aksara. Masalah ini rentan dimanipulasi," sebutnya.

Menurut catatan AMAN, masyarakat adat tuna aksara ada di Talang Mamak, Indragiri Hulu, Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, serta wilayah lainnya. Untuk Pemilu 2024, AMAN telah membangun kolaborasi dengan KPU untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilu bagi masyarakat adat, dan memastikan pemenuhan hak pilih bagi masyarakat adat dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024.

Untuk mengurai persoalan itu, AMAN mendorong agar pemerintah mengubah ketentuan desain pemilu, khususnya metode pemungutan suara agar memudahkan masyarakat adat. Selain itu, pemerintah daerah maupun penyelenggara pemilu daerah diminta untuk proaktif mengidentifikasi kelompok masyarakat adat yang belum terdaftar sebagai pemilih.

" Terkait sikap skeptis masyarakat adat terhadap pemilu, ini terjadi akibat masyarakat adat hanya dijadikan komoditas electoral, namun ditinggalkan seusai terpilih. Hal ini terbukti dari tak kunjung disahkannya Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat sejak tahun 2009," katanya. 

Padahal, setiap momen electoral, banyak politisi memberi janji untuk mengesahkan RUU tersebut. Bahkan, sebelum Pemilu 2014, janji untuk melindungi dan memajukan masyarakat adat  masuk dalam Program Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Hingga kini, tak ada janji tersebut yang telah dipenuhi. 

"Hampir sebagian besar kebijakan Presiden Jokowi bertentangan dengan masyarakat adat," ujar Abdi.

Menurutnya, hal tersebut menunjukkan bentuk rendahnya komitmen para pemimpin dan elit politik untuk menyejahterakan rakyat. Isu-isu kesejahteraan hanya menjadi alat untuk meraih simpati elektoral, namun tidak tercermin dalam tindakan. 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kerentanan Kecurangan Pemilu di Mentawai

Sementara itu, Ketua Divisi Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kepulauan Mentawai, Eki Butman, menyampaikan bahwa masyarakat adat yang berada jauh dari pusat-pusat pemerintahan menghadapi sejumlah tantangan dalam berpartisipasi.

Eki mengklaim pihaknya sudah mulai melakukan sosialisasi tahapan pemilu melalui Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). 

"Kami berharap Pemerintah juga ikut menyosialisasikan Pemilu ini kepada masyarakat," ujarnya.

Dengan terbatasnya akses lantaran kondisi geografis Mentawai yang merupakan daerah kepulauan, Eki mengakui pentingnya kolaborasi para pemangku kepentingan untuk menyukseskan Pemilu di Mentawai. Ia juga mengimbau agar masyarakat Mentawai yang telah terdaftar sebagai pemilih agar memiliki KTP elektronik. 

"Kita sudah audiensi dengan bupati. Nanti juga akan audiensi dengan para kepala dusun agar menjangkau lebih banyak," jelasnya.

Kemudian untuk edukasi kepada masyarakat adat, lanjutnya, KPU Mentawai menyampaikan telah melakukan rapat koordinasi dengan partai politik untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. 

Koordinator Divisi Hukum dan Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu Mentawai, Firdaus Risman Satoinong, menjelaskan bahwa kondisi geografis Mentawai menciptakan tantangan tersendiri. Sebagai contoh, Siberut. Kondisi cuaca, akses jaringan, dan sulitnya transportasi menyebabkan daerah ini memiliki kerawanan cukup tinggi. 

“Sejumlah kerawanan Peilu yang berpotensi terjadi di Mentawai yakni Pemungutan Suara Ulang (PSU), politik uang, kecurangan saat distribusi logistik Pemilu,” jelas Firdaus.

Langkah antisipasi yang dilakukan Bawaslu Mentawai, yakni menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh AMAN dan komunitas adat.  Pemetaan kerawanan telah dilakukan untuk pencegahan. Distribusi kotak dan surat suara akan menggunakan kapal dan speed boat.

"Pada Pemilu 2019,  setiap proses pendistribusian kita tempatkan pengawas di speed boat untuk mengawal agar tak terjadi kecurangan," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini