Sukses

LBH Banda Aceh: Qanun Pertanahan, Sebuah Urgensi Selesaikan Konflik Agraria di Aceh

Lembaga non-pemerintah YLBHI-LBH Banda Aceh menilai bahwa pembahasan qanun pertanahan merupakan sesuatu yang urgensi untuk mengakomodasi penyelesaian konflik agraria di Serambi Makkah.

Liputan6.com, Aceh - YLBHI-LBH Banda Aceh menggelar diskusi grup terfokus terkait urgensi pembahasan qanun tentang pertanahan di Aceh, Rabu (15/1/2020). Keberadaan regulasi khusus tersebut diharap bisa mengakomodasi penyelesaian konflik agraria di Aceh.

Berdasarkan rekaman kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di 15 provinsi, luas lahan sengketa pada 2018 mencapai 338.280,47 hektare. Sebanyak 5.420,5 hektare dari total angka tersebut disumbang oleh Provinsi Aceh.

Desa Paya Rahat, Teuku Tinggi, Tanjung Lipat I dan II Kabupaten Aceh Tamiang, Desa Krueng Simpo, Desa Pante Cermin, dan Desa Cot Mee Kecamatan Nagan Raya, merupakan contoh kecil kasus konflik pertanahan yang pernah ditangani YLBHI-LBH Banda Aceh dalam kurun waktu 2015-2019.

Pegiat YLBHI-LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa mengungkapkan, total warga yang menjadi korban berdasarkan data lembaga nonpemerintah itu sebanyak 4.080 jiwa. Selain itu, konflik lahan perkebunan di Serambi Makkah telah berdampak pada 3.334 hektare lahan milik masyarakat serta sebuah perkampungan di Kabupaten Aceh Tamiang.

Sebanyak 58 orang warga yang tersebar di tiga wilayah konflik —Kabupaten Aceh Tamiang, Bireuen, dan Nagan Raya— dikriminalisasi. Tiga puluh empat di antaranya dipidana dengan tuduhan menduduki dan memasuki pekarangan orang liyan tanpa izin, sementara, 23 orang lagi jadi tersangka dengan tuduhan serupa.

"Wilayah kelola masyarakat, sepanjang 2015-2019, 5 kasus konflik pertanahan, tersebar di 4 kabupaten yang perkebunan kelapa sawitnya sangat masif," sebut Aulianda, dalam FGD (Focus Group Discussion), Rabu (15/1/2020).

Konflik agraria juga berdampak besar kepada kaum perempuan. Hal ini menegaskan masih termajinalkannya kaum perempuan selaku makhluk yang dianggap inferior dalam relasinya dengan laki-laki.

Dalam situasi seperti itu, yang paling tidak diuntungkan ialah perempuan. Persoalan konflik lahan terlalu sempit jika direduksi seolah-olah berkutat seputar pembebasan lahan, kompensasi, dan ganti rugi semata. Di ruang itulah sebenarnya perempuan banyak tidak memiliki kontrol terhadap sumber dayanya, belum lagi soal kepemilikan aset yang sepenuhnya merupakan hak laki-laki.

Padahal, karena tanggung jawab domestik yang diembannya, perempuan lebih berpotensi menjadi korban ketimbang laki-laki. Selain teralienasi dari ruang kehidupannya, kemungkinan perempuan terpapar masalah yang jauh lebih kompleks juga semakin besar.

Yogianya, laki-laki dan perempuan memiliki taraf dan porsi kepentingan yang sama dari sisi kedudukan. Fakta bahwa perempuan berada pada posisi marginal, tetapi dituntut mengurusi persoalan yang jauh lebih kompleks, jika tidak dikatakan lebih berat, dari yang diemban laki-laki, mestinya membuat perempuan dapat porsi lebih.

Perempuan di lingkaran konflik agraria tak hanya berpotensi berhadapan secara fisik dengan aparat keamanan atau pihak swasta, namun terkadang kehilangan sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dan ekonomi keluarga. Berdasarkan studi "Women’s Leadership in Indonesia: Current Discussion, Barriers, and Existing Stigma", dapat disimpulkan bahwa perempuan dengan segala hak yang dimilikinya mau tidak mau terpaksa harus menerima budaya yang berwatak patriarki.

"Sejarah perkembangan masyarakat sendiri, kita juga mengenal bagaimana perempuan tereliminir aksesnya terhadap kepemilikan. Dari periode komunal primitif, perempuan yang menciptakan perkebunan, tapi, ujung-ujungnya karena kekuatan laki-laki lebih dominan dari perempuan, akhirnya, penguasaan lahan perkebunan itu digeser," jelas salah seorang narasumber, Arabiyani, dalam FGD tersebut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Mendorong Lahirnya Qanun Pertanahan Aceh

Upaya pengesahan qanun tentang pertanahan sejatinya pernah melewati masa "bulan madu". Namun, realisasinya lagi-lagi mandek karena suatu hal, jika tidak disebut "hidup segan mati tak mau."

Rancangan qanun (raqan) tersebut sempat diajukan kembali pada 2016 dengan status kumulatif terbuka atau akan dibahas jika dianggap penting oleh legislatif. Pada 2019, rancangan qanun tersebut masuk dalam daftar program legislasi Aceh (prolega) prioritas atas usulan Komisi I Bidang Pemerintahan, Politik, dan Hukum, saat ini kembali didorong proses percepatannya oleh YLBHI-LBH Banda Aceh.

Qanun pertanahan Aceh sejatinya dapat menjadi lex specialis Serambi Makkah dalam hal pertanahan cum realisasi salah satu poin MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki. Draf dari raqan ini terdiri dari sebelas bab dan 165 pasal.

Di antaranya, mengatur kewenangan Pemerintah Aceh mengenai perizinan Hak Guna Usaha (HGU) dan pembentukan komisi pertanahan yang salah satu fungsinya menerima pengaduan dan menyelesaikan sengketa pertanahan secara adil dan setara.

Kepala Bagian Perundang-Undangan Pemerintah Aceh, Muhammad Junaidi, mengatakan bahwa pihaknya telah mengusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai prolega priotitas di tahun ini. Inisiasi ini dilakukan dengan sinergi berbagai pihak.

"Apakah nanti menjadi inisiatif DPR, atau perangkat pemerintah Aceh, kita akan bekerja sama, sehingga rancangan qanun pertanahan ini selesai pada 2020," ujar Junaidi, kepada Liputan6.com, pada jam makan siang, usai FGD, Rabu siang.

Menurut Junaidi, keberadaan qanun tersebut tepat untuk menindaklanjuti perintah dari Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA), seperti yang disebut di dalam bab khusus tentang pertanahan. Tepatnya, pasal 213 dan 214.

"Konflik itu bagian dari masalah pertanahan, kita hanya mengatur bab, norma, bagaimana penyelesaiannya, nanti, secara teknis, nanti lebih lanjut akan diatur dalam pergub," kata Junaidi.

Soal penyelesaian sengketa pertanahan, saat ini Aceh masih di bawah bayang-bayang regulasi Pemerintah Pusat, misal, PPRI Nomor 3 Tahun 2015, tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh —dalam pasal 4 PP tersebut bertengger salah satu poin tentang pertanahan. Junaidi mengatakan bahwa pihaknya akan membicarakan soal pelimpahan wewenang ini dengan DPRA agar qanun tersebut kelak mencerminkan kewenangan Aceh secara menyeluruh.

Ketua DPRA Dahlan Jamaludin, telah memberi lampu hijau bahwa pembahasan mengenai qanun tersebut akan menjadi prioritas pada tahun ini. Ia sendiri akan mengupayakan sebuah diskusi antarpihaknya untuk membicarakan urgensi pembahasan qanun tersebut.

"Kita akan pelajari apakah itu masuk prioritas di tahun 2020 atau tidak, tapi kita usahakan kalau ini menjadi prioritas karena kabarnya inisiatif ini sudah dilakukan sudah sangat lama sekali. Kita akan upayakan menjadi prioritas di prolega 2020," Dahlan kepada Liputan.com, Rabu siang.

Dahlan memiliki persepsi yang sama terkait harapan kewenangan secara menyeluruh kepada Aceh dalam mengatur segala sesuatunya tentang pertanahan sesuai amanah yang terkandung di dalam UUPA. Seperti yang disinggung Junaidi.

"Yang perlu diingat, kehendak politik "perdamaian", meniscayakan, kewenangan pertanahan ada di Aceh," tegasnya.

Qanun ini jadi setitik oase bagi penyelesaian konflik lahan di Aceh yang kian sengkarut. Di dalam bab II tentang azas, maksud, dan tujuan, tepatnya pasal 2, disebutkan bahwa pelaksanaan qanun tersebut di antaranya berlandaskan pada kesetaraan dan non diskriminatif, semoga ini menjadi pintu masuk bagi penyelesaian konflik lahan yang tidak menyampingkan kepentingan perempuan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.