Sukses

Sidang Kasus Penganiayaan, Bahar bin Smith Pertanyakan Soal Usia Anak

Pengadilan Negeri (PN) Bandung kembali menggelar sidang atas dugaan kasus penganiayaan terhadap remaja dengan terdakwa Bahar bin Smith.

Liputan6.com, Bandung Pengadilan Negeri (PN) Bandung kembali menggelar sidang atas dugaan kasus penganiayaan terhadap remaja dengan terdakwa Bahar bin Smith. Dalam sidang ini, Bahar mempertanyakan soal usia anak.

Dalam sidang lanjutan yang berlangsung di Gedung Perpustakaan dan Arsip Kota Bandung, Kamis (2/5/2019), jaksa penuntut umum (JPU) mendengarkan keterangan ahli pidana Prof Nandang Sambas.

Di hadapan majelis hakim, Nandang menjelaskan tentang pidana anak. Menurutnya, dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.

"Korban sebelum usia 18 tahun yang menderita keadaan fisik dan psikis disebut korban anak," kata Nandang.

Nandang juga menyebutkan, dalam konteks Undang-undang No 35 Tahun 2014, tidak ada batasan lebih lanjut tentang usia 17 atau 18 itu sudah menikah atau belum.

"Karena kalau untuk belum menikah, usia 17 atau 18 itu masih disebut anak di bawah umur," jelasnya.

Seperti diketahui, dalam dakwaan jaksa, Bahar bin Smith dijerat pasal berlapis. Satu di antaranya dijerat pasal Undang-undang perlindungan anak.

Adapun pasal yang dijerat kepada Bahar yakni Pasal 333 ayat 1 dan/atau Pasal 170 ayat 2 dan/atau Pasal 351 ayat 1 juncto Pasal 55 KUHP. Jaksa juga mendakwa Habib Bahar dengan Pasal 80 ayat (2) jo Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bahar bin Smith Bertanya

Sementara itu, Bahar bin Smith diberi bertanya kepada ahli pidana asal Universitas Islam Bandung tersebut. Dia memberi perumpamaan soal pasangan suami-istri yang bercerai.

"Saya ingin bertanya, andaikan ada suami istri menikah secara sah di KUA tapi cerainya menurut agama. Setelah bercerai si perempuan itu selesai masa iddah kemudian dia menikah dengan laki-laki lain, tetapi secara siri bukan dari KUA. Berarti dalam status negara, suaminya yang dulu itu kan masih suaminya. Kemudian suaminya yang dulu melaporkan istrinya melakukan perzinahan, itu termasuk hukum pidana tidak?," tanya Bahar.

"Perzinahan itu pidana," jawab Nandang.

Bahar kemudian mengatakan bahwa di dalam Islam, kasus tersebut bukan zinah. Sebab, menurutnya, mereka telah resmi menikah menurut agama. Lalu ia kembali bertanya kepada Nandang.

"Yang ingin saya tanyakan, jika seorang anak di dalam Islam tidak bisa disebut anak tapi dalam hukum negara disebut anak, bagaimana menurut anda?," ujar Bahar.

Nandang kemudian menjelaskan tentang model peradilan anak yang pernah dia bukukan. Dalam pemikirannya, ada kualifikasi batasan usia.

"Di Indonesia sendiri belum ada batas standar dewasa. Adat, agama dan hukum saja berbeda-beda, apalagi sebelum adanya undang-undang 35 soal perlindungan anak. Bahkan ada yang menyebut batas 15 tahun untuk korban perempuan. Karena kita hukum positif yang jadi rujukan, kita kembali ke hukum positif," kata Nandang.

Majelis hakim yang dipimpin Edison Muhamad sempat memotong perbincangan keduanya terkait persoalan usia anak ini. Menurut Edison, hukum positif sudah cukup jelas. Maksudnya, kata dia, jika ada hukum dipertentangkan hukum positif lah yang dipakai.

"Iya karena kita menganut legalistik," sahut Nandang.

"Ya, hukum positif yang saudara pakai yang mana? Yang tercatat di KUA kah atau yang tidak?," tanya hakim.

"Berarti kalau begitu hukum yang ada di sini lebih tinggi dari hukum islam?," Bahar kembali bertanya kepada Nandang.

Sebelum menjawab pertanyaan Bahar, hakim kembali memotong. "Ahli jawab saja karena ini di luar keahlian saudara. Sejak awal juga saya bilang kalau bukan keahlian saudara jangan dijawab. Ini pertentangan antara hukum Islam dan nasional. Saudara ahli tidak hukum Islam,?," kata Edison.

Nandang pun mengakui dia bukan ahli di bidang tersebut. Edison pun kemudian memberikan kesempatan bertanya kepada Bahar.

"Nanti kalau dipertentangkan, ajukan lagi saksi ahli. Ahli perbandingan hukum dan lain sebagainya. Saya tahu, saudara (ahli) bisa menjawabnya, tapi bukan keahlian saudara," kata Edison

Bahar lantas mengajukan pertanyaan lain. Dia mengumpamakan seorang ayah memukul anak usia 10 tahun lantaran tidak salat.

"Apabila ada ayah anaknya umur 10 tahun tidak salat, lalu dipukul oleh ayahnya, masuk tindak pidana?," tanya Bahar.

"Tidak, karena itu pendidikan dalam batas-batas tertentu. Jangankan ada hubungan darah biologis, saya sebagai dosen membentak mahasiswa atau memukul mahasiswa dalam kewenangan kapasitas saya dalam batas-batas kewajaran," ujar Nandang.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.