Sukses

Ketika Kontraktor Cina Membangun Masjid Baiturrahman Aceh

Pada 1869, atas prakarsa Ferdinand Vicomte de Lesseps, seorang insinyur asal Perancis, Terusan Suez resmi dibuka. Hal ini membuat perairan Aceh menjadi penting untuk lalu lintas perdagangan dunia.

Liputan6.com, Aceh - Kala itu, Belanda mengkhianati Perjanjian London 1824. Isi perjanjian antara Belanda dan Britania Raya itu tentang batas-batas kekuasaan kedua negara di Asia Tenggara, dengan garis lintang Singapura. Dalam perjanjian itu, kedua negara mengakui kedaulatan Aceh.

Belanda dinilai telah mengingkari perjanjian tersebut. Karena itu, para pejuang Aceh menembaki setiap kapal Belanda yang lewat di perairan yang menjadi daerah teritorial Aceh. Sikap Aceh saat itu, didukung pula oleh Britania.

Pada 1869, atas prakarsa Ferdinand Vicomte de Lesseps, seorang insinyur asal Perancis, Terusan Suez resmi dibuka. Hal ini membuat perairan Aceh menjadi penting untuk lalu lintas perdagangan dunia.

Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda, dengan kuasa Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)-nya, menaruh maksud, hendak menguasai Aceh, agar mereka leluasa memonopoli arus perdagangan.

Hingga akhirnya, lahir Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang telah merubah peta geopolitik kedua negara. Britania saat itu, memberi keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh.

Selanjutnya, Belanda juga diamanahkan untuk menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Sebaliknya, Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak. Belanda juga menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Ekses Perjanjian Sumatera 1871, Aceh mulai mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Jalinan diplomatis dengan beberapa negara ini menjadi alasan lain kenapa Belanda berniat menyerang Aceh.

Ketika itu, Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan dua kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura. Tetapi Sultan Machmud saat itu menolak memberikan keterangan. Belanda merasa ditelikung pengaruhnya, kala itu.

"Merasa tidak dihormati dan tidak memiliki kuasa atas Aceh, Belanda mengambil ancang-ancang melalui beberapa ancaman diplomatik kepada Aceh pada 26 maret 1873. Saat itu, Aceh kekeuh dengan sikap politik juga hubungan internasional mereka sebagai sebuah wilayah yang berdaulat," kata pemerhati sejarah Aceh, Ali saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu, 8 Desember 2018.

Pada 5 April 1873, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler mendarat di pantai Aceh. Ia membawa 3.198 tentara dan sekitar 168 perwira. Peperangan pertama meletus. Pasukan penjajah awalnya berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman.

Pejuang Aceh tidak tinggal diam. Mereka membuat serangan balasan. Saat itu, Jenderal Köhler tewas oleh bidikan seorang 'sniper' Aceh. Peristiwa yang cukup terkenal itu terjadi pada 14 April, di tahun yang sama.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pohon Kohler di Masjid Baiturrahman

"O God, Ik ben getroffen," (Ya Tuhan, aku kena), itulan ucapan terakhir itu keluar dari mulut Jenderal Köhler, ketika sebutir peluru menembus dadanya.

Ia terkapar dalam senyapnya desing peluru sniper Aceh yang disebut-sebut bernama Teungku Imum Luengbata.

Jasad Sang jenderal roboh di bawah pohon Geulumpang yang kemudian dinamani oleh Belanda dengan Köhlerboom atau pohon Köhler. Pohon berada di dalam area Masjid Raya Baiturrahman.

Kematian jenderal kelahiran Groningen, 3 Juli 1818 itu menggegerkan daratan Eropa.

Mayatnya dibawa ke Singapura dengan kapal uap Koning der Nederlanden dan dimakamkan di Pemakaman Tanah Abang, Batavia dengan penghormatan militer.

Pada tahun 1976 pemakaman tersebut digusur dan setelah 2 tahun terkatung-katung di Kedutaan Besar Belanda akhirnya mayat Köhler dimakamkan di Kerkhoff, lokasi pemakaman khusus Belanda, di Banda Aceh, atas usul Gubernur Aceh saat itu, Abdullah Muzakir Walad.

Pada agresi tersebut, masjid yang menjadi tempat para pejuang Aceh mengatur taktik dan strategi perang dibumihanguskan oleh Belanda. Hal ini menambah amarah Rakyat Aceh.

Para pejuang Aceh kian gigih melawan serdadu-serdadu Belanda dengan semangat jihad fi sabilillah.

3 dari 4 halaman

Lie A Sie, Kontraktor Asal China Membangun Masjid Raya Baiturrahman

Untuk mengambil hati Rakyat Aceh, Belanda berencana membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman. Seorang Letnan asal Cina bernama Lie A Sie punya andil besar dalam proyek yang memakan anggaran sebesar ƒ. 203.000 itu.

"J. Kremeer dalam buku De Groote Moskee te Koeta Radja dalam Nederlandsch Indie Ouden Nieuw tahun 1920, Pemerintah Kolonial Belanda melalui Departemen van Burgelijke Openbare Werken, yakni Departemen Pekerjaan Umum di Batavia, arsitek Bruins diperintah membuat rancangan masjid," jelas Ali, pemerhati sejarah Aceh.

Bruins tidak bekerja sendiri. Ia dibantu Opdizchter LP. Luyks dan beberapa insinyur dari Batavia. Bruins Cs menjumpai seorang ulama di Garut, Jawa Barat. Mereka meminta saran, agar, rancang bangun masjid yang hendak dikerjakan tidak  bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

"Mengenai tahapan lebih lengkap tentang pembangunan Masjid Raya Baiturrahman digambarkan oleh J. Staal dalam buku De Missigit Raya in Atjeh. Buku ini diterbitkan oleh De Indische Gids pada tahun 1882," sebut Ali.

Proyek pengerjaan Masjid Raya Baiturrahman tidaklah mudah. Saat itu, tidak ada kontraktor yang mau datang ke Aceh, karena perang masih berkecamuk. Tidak hanya itu, tenaga kerja juga minim. Tidak ada Rakyat Aceh yang mau diajak bekerja. Hal ini, karena Rakyat Aceh lebih memilih berperang daripada bekerja pada proyek Belanda.

"Belanda mendatangkan tenaga kerja dari Cina. Ketika para pekerja hendak dimobilisasi ke Aceh masalah lain muncul. Para kontraktor di Jawa yang ikut tender mulai mengundurkan diri. Takut perang, pascaterbit surat kabar memberitakan tentang Perang Aceh," kata Ali.

Di saat itulah seorang Letnan asal Cina bernama Lie A Sie muncul. Dia membawa para pekerja Cina ke Aceh dan mengerjakan proyek pembangunan masjid. Jumlah yang dianggarkan untuk pembangunan tidaklah kecil. Namun, saat itu, Belanda ingin merebut simpati Rakyat Aceh. Atas persetujuan Ratu dan Pangeran di Belanda, anggaran sebesar ƒ. 203.000 digelontorkan.

Anggaran sebesar itu dimanfaatkan dengan baik oleh Lie A Sie. Dia mengimpor bahan bangunan dari luar negeri. Besi untuk jendela diimpor dari Belgia, batu pualam untuk tangga dari Cina, batu bata dikirim dari Belanda dengan kapal uap, kayu dari Birman (Muolmein), sementara kapur untuk cat bangunan didatangkan dari Malaysia. Hanya kerangka besi yang didatangkan dari Surabaya. Pada peletakan batu pertama, Gubernur Militer Hindia Belanda Jenderal Van Der Heyden hadir.

Dalam perjalanannya, pembangunan kembali Masjid Raya Baiturrahman sempat terhenti karena perang belum juga reda. Secara sporadis, berbagai serangan masih terus dilakukan para pejuang Aceh. Bivak (pondok/tempat bermalam) para prajurit Belanda yang ada di sekitar lokasi pembangunan masjid tak luput dari serangan.

Masjid Raya Baiturrahman selesai dikerjakan pada tahun 1881. Serah terima dilakukan Gubernur A Pruys Van Der Hoeven pada 27 Desember 1881 kepada T. Kali Malikul Adil, secara simbolis melalui penyerahan kunci. Peresmian masjid ditandai dengan tembakan meriam sebanyak 13 kali, saat itu.

4 dari 4 halaman

Renovasi pada 2017

Pada 2015, Pemerintah Aceh kembali melakukan renovasi terhadap masjid bersejarah itu. Proyek renovasi dikerjakan oleh PT Waskita Karya, selaku kontraktor, PT Perent Jana Djaja, selaku konsultan perencana, dan PT Artifak Arkindo, selaku manajemen kontruksi. Anggaran yang digelontorkan mencapai Rp 458 miliar dan selesai dikerjakan pada Mei 2017.

Pembangunan landscape dan infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman, diresmikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada Sabtu, 13 Mei 2017. Ada beberapa perubahan yang tampak dari masjid yang menjadi simbol negeri berjuluk Serambi Mekkah itu. Tampilannya disulap bak Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi.

Hamparan rumput hijau yang mengelilingi halaman di luar masjid, diganti dengan lantai marmer dan ditambah 12 payung elektrik raksasa. Sebuah kolam yang dibangun di halaman depan menambah kesan eksotis. Masjid ini juga disebut-sebut ramah disabilitas.

Pada pinggiran halaman ditanam 33 pohon kurma dan satu pohon geulumpang. Sedangkan di tengah halaman akan dijadikan kawasan hijau dengan cara menanam rumput hijau dan berbagai jenis bunga warna warni. Di basemen masjid dilengkapi dengan tempat wudhu, serta toilet pria dan wanita yang semua bahannya terbuat dari batu marmer Italia atau Spanyol.

Dari basemen menuju plaza atau pekarangan, terdapat beberapa lift. Para wisatawan yang berkunjung dapat menikmati keindahan Masjid Baiturrahman dari berbagai sudut. Kedepannya, masjid yang awalnya dibangun oleh Sultan Alaiddin Mahmud Syah pada tahun 691 Hijrian, atau sekitar tahun 1229 Masehi ini, akan kembali diperluas.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.