Sukses

Berbagi Kisah Kampung Halaman dengan Legenda Getuk Goreng Sokaraja

Liputan6.com, Banyumas - Libur Lebaran 2018 hampir usai. Pemudik mulai kembali ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Salah satu yang dicari saat pemudik Banyumas, Jawa Tengah kembali dari kampung halaman ke kota perantauan adalah jajanan atau kuliner khas daerah.

Bagi pemudik, oleh-oleh bukan hanya sekadar buah tangan untuk kawan di perantauan. Lebih dari itu, oleh-oleh khas daerah adalah cara mereka berbagi kebanggaan dan kenangan dari daerah asal.

Oleh-oleh adalah sebentuk cinta pada kampung halaman. Buah tangan akan mengungkapkan sepenggal kisah mengenai kempung asal.

Di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, salah satu yang paling diburu adalah jajanan khas getuk goreng Sokaraja. Popularitasnya telah melampaui zaman.

Kendaraan pribadi berjejer rapi di gerai-gerai getuk goreng Sokaraja pada masa arus balik 2018 ini. Mereka adalah para pemudik yang hendak pulang balik ke perantauan.

Salah satunya, Mafudin, pemudik asal Yogyakarta yang hendak balik ke Bandung, kota di mana ia mengadu nasib. Rute utama Yogyakarta-Bandung sebenarnya adalah Jalur Lintas Selatan atau JLS Jawa Tengah.

Namun, ia sengaja melalui jalur tengah demi membeli oleh-oleh getuk goreng Sokaraja langsung dari asalnya. Bagi Mafudin, tak afdal rasanya jika ia tak membeli getuk goreng bukan di Sokaraja.

"Enak, gurih. Harganya masih terjangkau," ucapnya, ditemui di salah satu gerai getuk goreng Sokaraja, Selasa, 19 Juni 2018.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harga dan Varian Getuk Goreng Sokaraja

Di tempat ini, Mafudin bisa memilih getuk dengan beragam varian rasa. Mulai getuk goreng klasik gula jawa merah, cokelat hingga getuk goreng rasa durian.

Mafudin hanyalah satu dari ribuan orang yang berburu getuk goreng langsung di daerah asal kelahiran kuliner khas Banyumas ini. Omzet harian getuk goreng Sokaraja pun melonjak tinggi berlipat-lipat dari omzet normalnya.

Tentu, hal ini menjadi berkah bagi para pemilik gerai getuk goreng. Namun, mereka tak bersepakat tak menaikkan harga lebih dari normal. Kenaikan harga disebut wajar-wajar saja.

Jika biasanya satu kilogram getuk sokaraja berharga sekitar Rp 24 ribu hingga Rp 25 ribu, maka pada masa lebaran ini, harga dinaikkan menjadi Rp 28 ribu. Sebuah harga yang bersahabat.

Kepercayaan para pelanggan ini pun terus dijaga oleh para pemilik gerai yang mengelola kuliner getuk goreng secara turun temurun. Mereka tak ingin pembeli kapok kembali ke gerai mereka pada masa mendatang.

"Harganya masih normal, Rp 28 ribu. Ya naik tapi sedikit," kata Warsiti, seorang pengelola Gerai Getuk Goreng Sokaraja.

Warsiti mengakui, para pengelola tetap menjaga resep hingga cara penyajian yang sama dengan orang tua dan kakek-nenek mereka. Getuk goreng siap saji diletakkan di tampah yang dijejer di ruang kaca.

Getuk dikemas dalam ukuran sedang, setengah kilogram dan pasti menggunakan pithi atau wadah bambu tradisional. Pengemasannya pun tak lebih dari setengah kilogram.

 

3 dari 3 halaman

Kisah Lukisan Mooi Indie, Soto dan Getuk Goreng Sokaraja

Konon, resep, model penyajian dan pengemasan itu sama seperti yang dilakukan nenek moyang sebad lalu. Makanya, popularitas getuk goreng Sokaraja berimbang dengan soto Sokaraja dan galeri lukisan realis naturalis Indonesia molek, alias Mooi Indie Sokaraja yang lebih dulu mendunia.

Pada masa jaya lukisan Indonesia Molek atau Mooi Indie, di jalan raya Sokaraja berjejer berselang-seling antara soto Sokaraja, galeri lukis dan gerai getuk goreng Sokaraja.

Akan tetapi, galeri lukis realis naturalis Indonesia molek semakin terdesak. Kini, jalan raya Sokaraja didominasi oleh jejeran gerai getuk goreng, baru kemudian soto Sokaraja dalam jumlah sekitar sepertiganya.

Ceritanya, resep getuk goreng Sokaraja ini pertama kali ditemukan oleh Haji Sanpirngad pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1918. Ia, sejatinya adalah pedagang nasi rames. Dan getuk itu, sebenarnya hanya salah satu makanan yang disajikan di meja.

Tadinya, getuk-getuk itu disajikan dalam bentuk aslinya. Lantaran tak habis, digoreng lah getuk itu daripada dibuang. Ternyata resep getuk goreng ciptaannya itu banyak disukai pembeli. Boleh dibilang, getuk goreng itu diciptakan secara tak sengaja.

"Getuk yang tidak laku digoreng daripada mubazir. Ternyata malah banyak yang suka. Lama kelamaan, getuk goreng lebih laris mengalahkan ramesnya," ucap Dossy Susan, salah satu cicit yang meneruskan usaha getuk goreng jaringan Haji Tohirin, di Kecamatan Sokaraja, dalam kesempatan terpisah.

Sejak saat itu, Sanpirngad mulai mengembangkan warung getuk goreng yang terpisah sama sekali dari warung nasi ramesnya. Bisa diperkirakan, warung getuk gorengnya justru berkembang lebih pesat. Maka, ia pun menutup warung rames dan beralih menjadi penjual getuk goreng pertama di Kecamatan Sokaraja.

Dossy adalah generasi ke-4 jaringan gerai getuk goreng yang seluruhnya merupakan keturunan Sanpirngad. Jauh sebelum itu, menantu Sanpirngad, Haji Tohirin lah yang berjasa lebih mempopulerkan getuk goreng ini.

"Makanya, nama getuk goreng di keluarga kami bernama Getuk Goreng Haji Tohirin," dia menerangkan.

Kabar baiknya, getuk goreng Sokaraja bakal ditetapkan sebagai warisan budaya nasional bukan benda (Intangible) oleh Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI pada akhir 2017 lalu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.