Sukses

Mitos BBM Pertamina yang Belum Banyak Diketahui Masyarakat Indonesia

Pertamina mengungkapkan banyak mitos yang masih dipercaya masyarakat Indonesia tentang BBM.

Liputan6.com, Palembang - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Pertamina Persero ternyata mempunyai banyak mitos terkait Bahan Bakar Minyak (BBM). Mitos tersebut belum banyak diketahui masyarakat Indonesia hingga saat ini.

Arya Dwi Paramita, External Communication Manager PT Pertamina, mengatakan masih banyak masyarakat yang berpikir kalau BBM jenis Premium masih disubsidi oleh pemerintah pusat hingga saat ini.

"Namun sejak dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) 191 Tahun 2014, BBM ini tidak lagi disubsidi dan dibebankan sepenuhnya kepada Pertamina," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin, 9 April 2018.

BBM Premium dengan oktan 88 adalah Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) Pertamina, termasuk juga BBM Solar dan minyak tanah.

Pertamina diwajibkan pemerintah untuk mendistribusikan ketiga BBM ini ke seluruh Indonesia, kecuali Pulau Jawa, Madura dan Pulau Bali. Harga BBM tersebut, seharusnya ditetapkan per tiga bulan, namun hingga sekarang belum ada perubahan secara signifikan.

BBM dengan Oktan 88 sudah lama ditinggalkan negara lain. Hanya tiga negara yang masih menggunakan, diantaranya Indonesia dan Rusia.

"Premium digunakan negara Rusia untuk BBM kendaraan Tank. Premium sudah tidak layak pakai lagi, kualitasnya juga tidak bagus untuk kesehatan dan lingkungan," kata petinggi Pertamina ini.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

BBM Euro 4

Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 20 tahun Tahun 2017 bahkan sudah mengatur, tentang Penerapan Bahan Bakar Standar Euro 4, berisi tentang BBM RON minimal 91,92 dan 95.

Jika BBM dibawah Oktan 91, akan menghasilkan sulfur diatas 2.500ppm. Sedangkan untuk menghasilkan udara yang bersih, jumlah sulfur dari BBM harus dibawah 50ppm. Permen ini diberlakukan secara bertahap di tahun 2018.

"BBM Premium yang meninggalkan flek di mesin, menghasilkan emisi yang buruk. World Health Organization (WHO) juga sudah menetapkan standar kualitas udara di Indonesia, salah satunya di Jakarta, jauh dari standar emisi yang ditetapkan," ujar Arya.

Mitos lainnya yang masih menyeruak di masyarakat yaitu Indonesia masih dianggap sebagai penghasil minyak mentah terbesar. Negara yang bisa disebut produsen minyak mentah terbesar, lanjut Arya Dwi Paramita, jika angka produksi di atas angka konsumsi.

 

3 dari 5 halaman

Konsumsi Minyak Mentah

Indonesia pernah berada di posisi tersebut pada 1990-an dengan jumlah produksi minyak mentah sekitar 1,6 juta barel per hari, dan konsumsi sekitar 800.000 barrel per hari. Namun sekarang sudah berubah, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.

"Sekarang Indonesia sudah tidak menjadi pengekspor minyak mentah lagi dan sudah keluar dari Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) di tahun 2008," ungkap Arya.

Pada 2015, Presiden Joko Widodo memang menginginkan Indonesia kembali bergabung ke OPEC, tapi hal tersebut dibatalkan. Fakta baru, kebutuhan minyak mentah pada 2018 meningkat tajam dibandingkan pada 1990-an.

Kebutuhan minyak mentah sudah berada di angka sekitar 1,6 juta barel per hari, sedangkan produksi sekitar 800 ribu barel per hari.

Minyak mentah sekitar 800 ribu barel per hari juga tidak diproduksi sepenuhnya oleh Pertamina. BUMN ini hanya memproduksi 200 ribu barel per hari, sedangkan 200 ribu lagi milik pemerintah yang diolah di kilang Pertamina.

"Sekitar 400 ribu barrel sisanya milik perusahaan hulu migas yang menjadi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dan bukan milik negara lagi. Sisa konsumsi yang dibutuhkan Indonesia, harus dibeli dari luar," ujarnya.

 

4 dari 5 halaman

Eksplorasi SDA Terbarukan

Menurut Arya, Indonesia bisa saja memproduksi lebih banyak. Namun konsumsi yang dibutuhkan setiap hari lebih besar dari kemampuan, sehingga waktu produksi tidak bisa terkejar. Untuk membeli minyak mentah, tergantung dari harga minyak dunia dan kurs dolar.

Kebutuhan dana produksi minyak mentah tersebut, sekitar 90 persen terserap untuk pembelian bahan baku. Untuk biaya distribusi dan produksi hanya sekitar 10 persen saja.

Pertamina juga sedang mengeksplorasi dan mengeksploitasi untuk jenis BBM alternatif, agar menekan penurunan pasokan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak dapat diperbaharui.

"BBM alternatif memang bisa diproduksi, tapi butuh modal tinggi dan waktu yang lama. Kita terus melakukan berbagai cara untuk menekan penggunaan SDA yang tidak dapat diperbaharui tersebut," ungkapnya.

BUMN ini juga menyediakan Jenis Bahan Bakar Umum (JBU), seperti Pertalite, Pertamax, dan Dexlite yang sesuai dengan standar Euro 4.

 

5 dari 5 halaman

Pasokan Energi Sumbagsel

Untuk patokan harganya, JBU ditentukan oleh beberapa komponen. Salah satunya kebijakan Pemerintah Daerah (Perda) dan faktor operasional di tiap daerah.

Kendati BBM jenis Pertalite semakin tinggi konsumsinya karena selisih harga dengan BBM Premium yang sedikit. Namun konsumsi JBKP masih tinggi, terutama pembengkakan konsumsi solar.

"Harga solar yaitu Rp 5.150 dengan angka Xetane Number 48, sedangkan Dexlite dengan angka Xetane Number 53, harganya sekitar Rp 8.100. Selisih harga ini belum membuat masyarakat Indonesia move on," katanya.

Menurut Hermansyah Y. Nasroe, Region Manager Communication and CSR Pertamina Sumbagsel, Palembang menjadi sumber utama pasokan energi ke Sumbagsel.

"Di Palembang ada di Plaju dan Sungai Gerong, di bawah Marketing Operasional Regional 2. Ada sembilan terminal BBM, enam depot pengisian avtur, dua unit pengisian elpiji di Palembang dan Lampung," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.