Sukses

Hari-Hari Gali Lubang Tutup Lubang Petani Garam Cirebon

Belum habis garam produksi tahun lalu dibeli, petani garam Cirebon kini berhadapan dengan kemungkinan menurunnya produksi pada tahun ini.

Liputan6.com, Cirebon - Petani garam Cirebon kembali waswas. Belum habis garam produksi tahun lalu dibeli, mereka kini berhadapan dengan kemungkinan menurunnya produksi pada tahun ini. Pasalnya, waktu menggarap garam yang biasanya dimulai Juni terpaksa molor dua bulan akibat hujan masih sering turun hingga saat ini.

"Kalau kondisi cuaca tahun ini, baru Agustus petani mulai menggarap. Hasil produksi diprediksi hanya 20 persen dari total produksi biasanya," ujar Ketua Ikatan Petani Garam Indonesia Cirebon Moch Insyaf Supriyadi kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Jika petani mulai menggarap Agustus, kristal garam baru bisa dihasilkan pada September mendatang bergantung pada teriknya matahari. Proses produksi kemudian akan berhenti menjelang musim hujan yang umumnya jatuh pada Oktober.

"Jadi, hanya ada kesempatan satu bulan menggarap. Tahun lalu panen sampai 360 ribu ton produksi, sementara tahun ini kemungkinan hanya 20 persennya saja karena kondisi cuaca," ucap Insyaf.

Kondisi itu dipastikan membuat hidup petani garam semakin terjepit. Jika produksi garam normal saja, petani garam harus gali lubang, tutup lubang. Apalagi jika total hasil produksi garam kurang dari 360 ribu ton per tahun, mereka akan terbelit utang semakin dalam.

Menurut Insyaf, kebanyakan petani garam Cirebon hanyalah petani penggarap. Jumlah petani garam Cirebon sekitar 60 ribu orang. Rata-rata mereka berpenghasilan Rp 50 ribu-60 ribu per hari. Itu pun dengan catatan jika produksi garam bisa mencapai kapasitas produksi normal.


Jika tidak sedang menggarap, kata dia, para petani garam terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang berutang kepada para tengkulak garam. Besaran pinjaman petani rata-rata Rp 1,5 juta atau sesuai dengan pendapatan mereka selama sebulan.

"Kalau petani tidak menggarap lahan karena cuaca ya tetap dianggap menunggak atau utang. Beruntung tidak berbunga. Tapi, seiring berkembangnya zaman kebutuhan pun semakin meningkat," tutur Insyaf.

Utang tersebut lalu dibayar dengan hasil produksi garam dengan memotong biaya. Belakangan, petani semakin kesulitan menutup utang mereka karena harga jual garam di tingkat petani anjlok. Peluh yang mereka hasilkan selama memproduksi garam hanya dibayar Rp 260 per kilogram.
 
Penyebab utama anjloknya harga garam itu, kata Insyaf, adalah dibukanya keran impor garam dari luar negeri. Konsekuensinya, banjir garam impor di dalam negeri dengan harga obral. Harga garam yang miring itu terus berlanjut meskipun sudah memasuki musim hujan. Padahal, petani berharap bisa menyisihkan keuntungan dari waktu yang terbatas itu.

"Musim hujan ini, harga tak kunjung naik, padahal kami sudah mengharapkan adanya kenaikan. Mending kami timbun saja dulu garamnya," keluh Rawa, salah seorang petani garam.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Garam KW 2

Dengan lokasi yang berdekatan dengan pantai dan paparan sinar matahari yang terik, kawasan pantura Cirebon cocok untuk memproduksi garam. Berdasarkan data yang dihimpun, tercatat enam kecamatan di Kabupaten Cirebon yang memproduksi garam dengan luas lahan total mencapai 23 ribu hektare. Namun, lahan yang optimal hanya 16 ribu hektare.

"Itu karena sebagian beralih fungsi lahan perikanan dan udang," kata Insyaf.

Masyarakat mengenal garam hasil garapan petani Cirebon merupakan kualitas nomor 2 (KW 2). Menurut Insyaf, tidak ada yang dapat diharapkan masyarakat dari garam Cirebon untuk konsumsi rumah tangga karena kandungan NaCl garam Cirebon tidak terlalu tinggi. Selain itu, garam Cirebon juga belum memenuhi kualitas standar garam di tingkat nasional.

Kendati demikian, garam yang dihasilkan petani Cirebon berpengaruh besar untuk memenuhi kebutuhan industri di Indonesia, khususnya wilayah Jawa Barat. Dia menyebutkan, garam Cirebon sangat bermanfaat untuk kebutuhan pabrik tekstil, industri garam cetak, bahan baku pupuk organik serta sebagian industri rumahan kerupuk kulit sapi.

"Sebagian besar garam Cirebon masih dibutuhkan untuk industri tekstil di Bandung," sebut Insyaf.

Dia menjelaskan, kebutuhan garam untuk industri tekstil karena kadar NaCl-nya tidak terlalu tinggi, garam Cirebon juga banyak digunakan sebagai penguat warna. Untuk industri garam cetak, 30 persen pencampurannya dari garam lokal sebagai perekat agar hasil cetakannya tidak rapuh.

Sedangkan untuk pembuatan pupuk organik, garam Cirebon dicampur dengan kalsium. Pupuk berkandungan garam Cirebon itu bermanfaat untuk melebatkan buah setelah ditambahkan dengan kalsium. Perbandingan antara garam dan kalsium adalah 40:60.

Produksi garam yang diserap untuk pupuk antara 2.000-3.000 ton per tahun, tergantung produktivitas industri pupuk organik. Pemasarannya sampai ke Lampung, Riau dan daerah lain di Indonesia yang terdapat industri sawit. Hanya saja, para petani garam merasa kesulitan pada proses penjualan garam Cirebon untuk pupuk.

"Peminat besar, tapi marketing kesulitan. sudah memenuhi unsur regulasi tapi belum dapat standardisasi nasional," ujar Insyaf beralasan.

Secara keseluruhan, serapan garam Cirebon 40 persen untuk industri tekstil, 20 persen untuk industri garam cetak, 10 persen untuk industri kerupuk kulit sapi dan 20 persen untuk pupuk organik. Meski garam Cirebon tidak cocok dikonsumsi, Insyaf menegaskan hasil garapan petani garam Cirebon selalu terserap habis di kalangan industri. Pada 2016, potensi tersisa garam Cirebon garapan petani tersisa 6.000 ton.

Perlindungan Negara

Meski dituding sebagai penyebab kesulitan petani garam, pemerintah menegaskan tetap akan membuka keran impor garam. Menteri Perdagangan Enggartyasto Lukita menyatakan keberadaan garam impor tidak berkaitan dengan produksi garam rakyat. Apalagi, garam impor yang masuk, termasuk puluhan ton garam impor yang masuk melalui Pelabuhan II Cirebon, sudah berizin resmi.

Namun, lanjut dia, pemerintah pusat akan meminta kepada importir untuk memberikan bantuan kepada petani garam. Bantuan tersebut guna meningkatkan kualitas dan hasil produksi garam. Selain itu, pemerintah juga akan menjanjikan intervensi dengan mengharuskan garam rakyat dapat terserap.

"Saya baru memulai dengan beras tapi kami akan berkomunikasi dengan pengusaha garam secara keseluruhan," kata Enggar.

Intervensi yang dilakukan pemerintah juga sama seperti yang terjadi pada komoditas beras, gula, maupun seluruh hasil petani di Indonesia agar tak ada lagi petani miskin. "Namun seiring dengan itu, kualitas harus ditingkatkan dan harus ada kepedulian dari importir garam," ucap Enggar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.