Sukses

Mengabadikan Gerhana ala Seniman Sunda

Fenomena gerhana di Sunda disebut samagaha. Budayawan menyebutnya potret kegalauan manusia.

Liputan6.com, Bandung - Banyak cara yang dilakukan masyarakat untuk menggambarkan fenomena alam yang jarang terjadi dan luar biasa seperti gerhana matahari. Seniman asal Kota Bandung, Tisna Sanjaya, melukis khusus fenomena matahari yang tertutup oleh bulan itu.

Sebagai seorang pelukis, Tisna mengekspresikan rasa takjubnya melalui gambar di atas dua buah kanvas berukuran 2,80 x 1,80 meter. Menurut dia, menjalankan tradisi bersyukur lewat kesenian dan budaya merupakan kebiasaan orang Sunda.

"Karena saya seorang pelukis, saya fokus terhadap sikap saya melukiskan fenomena yang luar biasa ini. Orang Sunda bila ada kejadian alam yang luar biasa, selalu tafakur dan bersyukur karena bisa melihat kejadian ini," kata Tisna di Bandung, Rabu, 9 Maret 2016.

Dia pun mengekspresikan lukisannya sesuai dengan situasi alam saat ini. Lukisan ciptaan Tisna itu pun diberi nama Samagaha yang diambil dari bahasa Sunda dan berarti 'gerhana'.

"Ada terang kemudian gelap, ini mengajarkan kita harus seimbang. Jadi kita tak selamanya terang, tapi ada gradasi ke gelap dan terang lagi," ujar Tisna.

Tisna mengatakan gerhana matahari juga menggambarkan makna kehidupan umat manusia. Dengan begitu, dia menilai manusia perlu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena masih mampu melihat gerhana matahari total.

Potret kegalauan manusia

Soal gerhana atau Samagaha ini, budayawan Sunda, Dedi Mulyadi, menjelaskan Samagaha ini merupakan perumpamaan kegalauan yang terjadi dalam rasa dan diri manusia. Kegalauan ini diterjemahkan dalam peristiwa matahari, bulan, dan bumi dalam satu garis lurus.

"Ini perumpamaan galaunya matahari sebagai sumber energi (cahaya) terhalangi oleh bulan," kata pria yang juga Bupati Purwakarta itu.  

Kegalauan itu, kata Dedi, menimbulkan fenomena yang luar biasa, yakni bumi menjadi gelap pada siang hari. Padahal itu waktu ketika matahari menyinari bumi.

Dalam kepercayaan orang Sunda dulu, menurut dia, ibu hamil diharuskan bersembunyi di kolong tempat tidur saat gerhana terjadi. Dedi menilai hal tersebut merupakan kearifan leluhur untuk melindungi ibu hamil dari dampak psikologi yang ditimbulkan.

"Kan yang namanya orang hamil itu tidak boleh dimarahi, tidak boleh dibentak, tidak boleh dikagetkan, atau intinya harus tenang. Nah, saat Samahaga terjadi orang dulu itu ketakutan," ujar Dedi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini