Sukses

Sobokartti, Saksi Sejarah Kesetaraan Budaya Jawa dan Kolonial

Desain gedung itu menunjukkan antidiskriminasi sesuai idealisme yang dianut Karsten.

Liputan6.com, Semarang - Sobokartti bukan hanya nama sebuah bangunan berkarakter Jawa dengan akustik tata ruang berstandar Eropa yang terletak di Jl Dr Cipto, Semarang.

Sobokartti adalah saksi pemberlakuan politik etis Belanda, yakni pandangan politik yang menempatkan kaum pribumi dan bangsa Belanda saling membutuhkan.

Saat ini, bangunan yang masih berdiri kokoh itu menjadi markas pergerakan hulu kebudayaan dan kesenian tradisi. Menurut Ketua Perkumpulan Seni Sobokartti Tjahjono Rahardjo, keberadaan Sobbokartti tak berubah sejak dulu.

"Kami tak ingin jadi pusat kebudayaan. Tapi, kami berperan sebagai hulu kebudayaan tradisi," kata Tjahjono dalam sebuah diskusi dengan Liputan6.com, di Semarang, Rabu (23/12/2015).



Tjahjono menuturkan, pemberlakuan politik etis itu mendorong kaum terpelajar memperjuangkan agar kebudayaan dan kesenian pribumi mendapatkan perhatian dan dipelajari secara serius. Kesadaran itulah yang memunculkan keinginan sejumlah pemuda di Yogyakarta mempelajari kesenian kraton.

"Mereka membentuk Tri Kara Darma dan meminta kepada Sultan Hamengkubuwono VII dari Yogyakarta agar boleh mempelajari kesenian keraton," kata Tjahjono.

Permintaan itu direspon dengan mendirikan Kridha Beksa Wirama pada 17 Agustus 1918. Tujuannya untuk menjadikan tarian keraton lebih membumi di publik. Juru bicara Sobokartti, Enggar Adibroto, menyebut peristiwa itu sebagai titik awal demokratisasi seni pertunjukan Keraton Jawa.

"Akhirnya, masyarakat awam jadi tahu pertunjukkan di Kraton, semacam tari bedhoyo, serimpi, wirèng dan wayang wong," kata Enggar.


* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kombinasi Budaya


Pergerakan di Yogyakarta itu memancing para tokoh di Semarang membuat gerakan serupa. Maka, berkumpullah Burgemeester Semarang Ir De Jonghe, Bupati Semarang RMAA Purbaningrat, GPH Kusumayuda dari Kraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar 'De Locomotief' Mangkunegara VII bersama Thomas Karsteen (seorang arsitek Belanda beristri orang Jawa).

Mereka sepakat mendirikan perkumpulan kesenian bernama 'Sobokartti' pada 9 Desember 1920.

"Nama Sobokartti dari Bahasa Jawa Kuno yaitu Sabha yang berarti tempat atau ruang pertemuan dan Kirti yang berarti perbuatan baik," ucap Tjahjono.

Karena belum memiliki tempat, kegiatan dilaksanakan di Paseban Kabupaten Semarang dan di Stadstiun. Jumlah peminat yang semakin banyak memunculkan ide untuk membangun sebuah gedung yang mewadahi kegiatan kesenian tersebut.

"Saat itu, Thomas Karsten selaku arsitek terus menggali ide dari Mangkunegara VII. Tujuannya, agar ada perkawinan filsafat arsitektural Jawa dan akustik gedung pertunjukan Eropa," tutur Tjahjono.

Ide itu kemudian mewujud sebagai gedung kesenian bernama Volkstheater Sobokartti pada 1930 yang dikenal seperti sekarang ini. Desain gedung itu menunjukkan antidiskriminasi sebagai idealisme yang dianut Karsten.

Enggar menunjuk penataan tempat duduk penonton. Desainnya menempatkan orang pribumi dan orang Belanda duduk bersama dan sejajar. Tidak ada penonton pribumi yang duduk di lantai seperti lazimnya adat saat itu.

"Hebatnya, gedung ini juga diproyeksikan sesuai perkembangan jaman. Misalnya bisa memutar film karena ada ruang proyektor. Saat itu, film belum seperti sekarang," kata Enggar.

Keistimewaan lain terletak pada pemanfaatan sokoguru yang biasa ada di bangunan tradisional Jawa sebagai penopang utama gedung. Penyangga tiang pada bangunan sengaja dibuat tinggi mirip dengan yang ada pada bangunan tradisional Bali.

Tapi, desain utama panggung pertunjukan tetap mengadopsi bangunan teater di Eropa. Dengan begitu, tidak ada kuda-kuda yang bisa mengganggu akustik dan memengaruhi kualitas audio.

"Terlihat betapa unik dan universalnya gedung ini. Masih ada lagi detail bangunan seperti lubang intip penari, loket pembayaran, yang bentuknya sangat khas," sahut Enggar.

3 dari 3 halaman

Saksi Pergerakan



Gedung Sobokartti juga terlibat dalam banyak peristiwa sejarah. Dari menjadi kantor Boedi Oetomo sampai menjadi markas pemuda saat pertempuran 5 hari di Semarang.

Kini Sobokartti berusia 85 tahun. Eksistensi perkumpulan dan gedung Sobokartti masih berdiri dengan kegiatan kegiatan kesenian seperti tujuan awal pembangunannya. Latihan menari, pedalangan, dan tatah sungging wayang dari segala lapisan usia masih bertahan.

Sobokartti memang sebuah "perkumpulan" dan gedungnya sudah menjadi bangunan cagar budaya. Namun seperti disampaikan Tjahjono Rahardjo, roh utama adalah menjadi hulu kebudayaan, bukan pusat.

"Biar saja yang lain menjadi pusat. Kami konsisten menjadi hulu, jangan heran kalau melihat banyak Tionghoa,  Jerman, Arab semua serius belajar seni Jawa. Karena kami menempatkan kesetaraan sebagai pandora," kata Tjahjono.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.