Sukses

Jaksa Sebut Jual Beli Rumah Thio Ida untuk Tutupi Suap Anak Usaha Wilmar ke Rafael Alun

Jaksa KPK meyakini jual beli rumah itu untuk menutupi pemberian suap kepada Rafael Alun terkait pemeriksaan pajak salah satu anak usaha Wilmar Group tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut pemberian uang Rp6 miliar dari PT Cahaya Kalbar kepada mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo disamarkan melalui jual beli aset rumah, di Perumahan Taman Kebon Jeruk, Blok G1, Kav 112, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Kota Jakarta Barat.

Jaksa KPK meyakini jual beli rumah itu untuk menutupi pemberian suap kepada Rafael Alun terkait pemeriksaan pajak salah satu anak usaha Wilmar Group tersebut.

Keyakinan jaksa KPK itu dituangkan dalam analisa yuridis yang termaktub dalam surat tuntutan teehadap Rafael Alun. Tuntutan itu dibacakan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (11/12/2023).

"Hal ini menunjukan bahwa transaksi penjualan tanah tersebut hanya sebagai sarana saja untuk menutupi adanya pemberian sejumlah uang oleh perusahaan Grup Wilmar kepada terdakwa," ujar jaksa KPK Wawan Yunarwanto dalam analisa yuridis tuntutan Rafael Alun, Senin (11/12/2023).

Jaksa meyakini aliran itu diduga disamarkan dengan pembelian rumah di Perumahan Taman Kebon Jeruk Blok G1, Jakarta Barat yang dilakukan Rafael dengan Direktur Operasional dan Keuangan PT Cahaya Kalbar Jinnawati, dan adik kandung pemilik Wilmar Group, Thio Ida. Ketiganya sudah bersaksi dalam persidangan.

"Sebagaimana keterangan saksi Jinnawati bahwa PT Cahaya Kalbar merupakan grup perusahaan Wilmar yang pernah dilakukan pemeriksaan pajaknya oleh kantor pajak," kata Wawan.

Wawan mengatakan Wilmar Group merupakan salah satu wajib pajak yang pernah diperiksa oleh Dirketorat Pemeriksaan dan Penagihan Kementerian Keuangan pada 2006 sampai 2011. Thio Ida sendiri mengeklaim transaksi rumah itu hanya pembelian aset biasa yang tidak berkaitan dengan perusahaan kakaknya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Transaksi Dibayarkan dengan Mata Uang Dolar

Namun, jaksa menilai keterangan dari Thio Ida berbeda dengan Jinnawati, dan Rafael Alun. Jaksa menilai klaim pembelian rumah hanya alibi untuk menutupi keterlibatan Wilmar Group.

"Ada ketidaksesuaian khususnya terkait dengan nilai transaksi dan cara pembayaran. Terdakwa (Rafael) menerangkan jika nilai transaksinya adalah sebesar Rp10 miliar, yang dibayarkan menggunakan dolar Amerika Serikat sejumlah USD500 ribu dan batangan emas senilai Rp6 miliar," ucap Wawan.

Sementara itu, Jinnawati mengaku transaksi itu didasari permintaan ibunya senilai Rp6 miliar, dan emas batangan yang belum dikonversikan nilainya.

"Terkait nilai transaksi sebesar Rp6 miliar tersebut menurut kami juga bukan nilai yang wajar mengingat saksi Thio Ida yang membeli tanah tersebut lima tahun sesudahnya masih dengan harga yang sama senilai Rp6 miliar," kata Wawan.

Jaksa menilai ketiganya berbohong untuk menutupi aliran dana Wilmar Group kepada Rafael Alun. Dugaan aliran dana dari Wilmar Group itu juga dikuatkan dari informasi yang diberikan oleh notaris bernama Arsin Lukman. Arsin mengaku dimintai oleh bagian legal PT Cahaya Kalbar atas permintaan Jinnawati untuk membantu melakukan transaksi tersebut.

"Seandainya transaksi tersebut adalah benar transaksi yang menyangkut pribadi saksi Jinnawati sendiri dengan terdakwa, mengapa saksi Jinnawati mesti melibatkan legal PT Cahaya Kalbar, padahal saksi Jinnawati sudah kenal lama dengan Arsin Lukman," kata Wawan.

Atas dasar itu, Wawan meyakini pembelian rumah antara Rafael, Jinnawati, dan Thio bukan sekedar transaksi aset belaka. Namun KPK meyakini ada maksud lain di belakangnya.

"Penerimaan uang oleh terdakwa tersebut adalah berkaitan dengan pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan kepada perusahaan grup Wilmar," kata Wawan.

3 dari 4 halaman

Rafael Alun Dituntut 14 Tahun Penjara

Diketahui, Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo dituntut 14 tahun penjara denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menyatakan Rafael Alun terbukti menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rafael Alun Trisambodo dengan pidana penjara selama 14 tahun serta pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan pengganti selama 6 bulan," ujar jaksa KPK membacakan tuntutannya, Senin (11/12/2023).

Jaksa menilai Rafael Alun terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana diatur dan diancaam pidana dalam Pasal 12 huruf B jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu.

 

4 dari 4 halaman

Terbukti Lakukan TPPU

Kemudian Rafael Alun terbukti melakukan TPPU sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU RI No 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dalam UU No 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tahun 2002 tentang TPPU jo Psal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP sebagimana dakwaan kedua.

Rafael Alun terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum melakukan TPPU sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan ketiga.

Selain pidana badan, Rafael Alun juga diwajibkan membayar uang penggati sebesar Rp18,994.806.137 dengan ketentuan apabila tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dann dilelang untuk menutupi uang pengganti.

"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dijatuhi pidana penjara selama 3 tahun," kata jaksa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.