Sukses

Ahli Manajemen Hutan IPB: Kasus Duta Palma Harus Dilihat dengan kejernihan

Ahli Manajemen Hutan Intitut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Sudarsono Soedomo angkat suara soal kasus Duta Palma. Menurut dia, perlu kejernihan dan keberanian dalam melihat kasus ini.

Liputan6.com, Jakarta - Ahli Manajemen Hutan Intitut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Sudarsono Soedomo angkat suara soal kasus Duta Palma. Menurut dia, perlu kejernihan dan keberanian dalam melihat kasus ini.

"Kasus Duta Palma ini bermula dari penggunaan lahan yang ada pada Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang konon termasuk kawasan hutan. Padahal, jelas bahwa pembentukan Peta TGHK itu belum melalui proses tata batas yang merupakan syarat pembentukan suatu kawasan hutan," kata Sudarsono dalam keterangan tertulis diterima, Jumat (17/2/2023).

Sudarsono melanjutkan, Peta TGHK umumnya dijadikan lampiran surat keputusan penunjukan kawasan hutan. Sebelum tahun 1999, syarat pembentukan kawasan hutan dapat dilihat pada UU 5 tahun 1967 dan PP 33 tahun 1970. Kemudian, setelah tahun 1999, syarat tersebut dinyatakan secara eksplisit di Pasal 15 UU 41 tahun 1999 dan PP 44 tahun 2004 yang kemudian dicabut dengan PP 23 tahun 2021.

“Bukti kepemilikan tanah pribadi itu sertifikat. Nah, bukti kawasan hutan itu adalah peta tata batas yang disertai dengan Berita Acara Tata Batas. Kalau tidak mampu menunjukkan bukti tersebut, maka itu klaim bodong. Sejauh tentang penggunaan lahan, kasus Duta Palma ini jauh dari kasus pidana,” yakin Sudarsono.

Sudarsono melanjutkan, areal yang diklaim sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan itu mencapai 2/3 daratan Indonesia atau kurang lebih 120 juta hektar. Tetapi sumbangan sektor kehutanan terhadap produk domestik bruto (PDB) selama beberapa tahun terakhir kurang dari 1 persen. Secara ekonomi, kehutanan itu sektor desimal.

“Bagaimana mungkin Duta Palma yang hanya menggunakan areal kurang dari 40 ribu hektar dapat merugikan negara sampai puluhan trilun? Sementara, dengan menguasai 120 juta hektar, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) per tahun kurang dari Rp6 triliun. Selanjutnya, anggaran sektor kehutanan sekitar Rp7 triliun sampai Rp8 triliun per tahun,” heran dia.

Jadi, lanjut Sudarsono, kehutanan itu sebenarnya beban bagi rakyat Indonesia. Saat ini terdapat puluhan juta hektar areal yang diklaim sebagai kawasan hutan dalam keadaan tidak produktif, tetapi tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain yang lebih produktif.

"Inilah yang sesungguhnya merugikan negara," jelas dia.

Menurut hemat Sudarsono, PT Duta Palma Group telah berusaha untuk memenuhi semua ketentuan yang berlaku terkait perizinan perkebunan kelapa wasit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. “Duta Palma termasuk yang paling segera mengurus penyelesaian arealnya, yang dianggap bermasalah sesuai dengan Pasal 110A UU Cipta Kerja,” kata Sudarsono saat menanggapi pledoi Juniver Girsang, selaku kuasa hukum pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi.

Seandainya terjadi pelanggaran, kata Sudarsono, harusnya diselesaikan secara administrasi atau paling berat menggunakan Pasal 110A UU Ciptakerja yang telah dikeluarkan Perpunya oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 lalu.

“Kembalilah kepada konstitusi yang mengamanatkan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagai tujuan penggunaan sumberdaya alam," wanti dia.

"Jangan apa-apa penjara, apa-apa pidana. Nanti dulu lah. Kalau saya, sudah jelas itu tidak perlu ke arah pidana. Cukup Pasal 110 A. Itu pun bagi saya sudah terlalu berat. Karena sebetulnya, tidak ada pelanggaran,” tegas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Terdapat Sejumlah Perusahaan Serupa Kasus Duta Palma

Sudarsono kemudian mengutip pernyataan Menteri Kehutanan yang sudah mengeluarkan SK531 Tahun 2021 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang sudah terbangun dalam Kawasan hutan. Diketahui, para perusahaan itu digadang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan.

"Di sana disebutkan ada 1.189 perusahaan yang serupa dengan kasus Duta Palma," ujar Sudarsono merujuk data itu.

Terkait hal tersebut, kata Sudarsono, jaksa harus periksa semuanya kalau memang mau adil. Tetapi jika semuanya tutup karena dipidanankan semuanya, disita semuanya, ekonomi negara berpotensi bangkrut.

“Kalau Kehutanan dan Kejaksaan mau membangkrutkan negara ya silahkan saja. Tetapi pasti rakyat akan melawan. Tidak bisa seperti itu,” ungkap akademisi yang juga menjadi saksi ahli dalam perkara ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.