Sukses

HEADLINE: Waketum Gerindra Wacanakan Jokowi Jadi Cawapres Prabowo di Pilpres 2024, Peluangnya?

Nama Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali mencuat dalam perbicangan kursi Pemilu 2024. Dia disebut bisa kembali duduk di pucuk kekuasaan tapi kali ini sebagai calon wakil presiden.

Liputan6.com, Jakarta Nama Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali mencuat dalam perbicangan kursi Pemilu 2024. Dia disebut bisa kembali duduk di pucuk kekuasaan tapi kali ini sebagai calon wakil presiden.

Namanya pun dipasang-pasangkan dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang telah menyatakan maju dan mengutak-utik mencari pasangannya di Pemilu 2024.

Bahkan, Juru Bicara MK Fajar Laksono juga sempat menyebut bahwa presiden dua periode maju lagi sebagai cawapres tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) atau dalam hal ini tak dilarang. Meskipun pihak MK membantah bahwa itu bukanlah sikap institusinya.

Bak gayung bersambut, Koordinator Sekretariat Bersama Prabowo Subianto–Joko Widodo (Sekber Prabowo-Jokowi) Ghea Giasty Italiane pihaknya berencana akan melakukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 yang bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945.

Ghea melanjutkan, judicial review itu agar adanya kepastian hukum untuk Joko Widodo atau Jokowi sebagai calon wakil presiden.

"Judicial Review yang diajukan oleh Sekretariat Bersama Prabowo-Jokowi di mana kami meminta kepastian Hukum kepada Mahkamah Konstitusi mengenai bapak Jokowi mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden Negara Republik Indonesia 2024-2029," kata Ghea melalui keterangannya seperti dikutip pada Kamis (15/9/2022).

Diketahui Sekber Prabowo-Jokowi merupakan gerakan masyarakat untuk mencalonkan pasangan Prabowo Subianto-Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden 2024.

Menurut pihaknya, pasangan tersebut diyakini membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia. Apalagi selama kepemimpinan Jokowi dua periode kemajuan yang siginifikan. Untuk itu, demi keberlanjutan pembangunan bangsa Indonesia pasangan Prabowo-Jokowi merupakan ideal.

Terkait hal tersebut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assiddhiqie mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak bisa mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden (cawapres). Sesuai UUD 1945, kata dia, seorang presiden hanya bisa menjabat selama dua periode.

"Sesudahnya tidak boleh lagi, termasuk jadi wapres. Jika setelah dilantik, presiden meninggal wapres langsung naik jadi presiden," kata Jimly dikutip dari akun Twitter miliknya, Kamis (15/9/2022). Liputan6.com sudah mendapat izin untuk mengutip pernyataan tersebut.

Dia menilai dari segi hukum maupun etika, presiden yang sudah menjabat dua periode tak bisa menjadi cawapres. Jimly menyebut presiden dan wakil presiden merupakan satu paket.

Dalam Pasal 7 UUD 1945, dijelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 kali masa jabatan.

Sementara itu, Pasal 8 ayat 1 UUD 1945 berbunyi: jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya

"Jika Jokowi jadi wapres 2024, maka Pasal 8 ayat (1) UUD 45 tidak akan dapat dilaksanakan karena akan bertentangan dengan Pasal 7. Makanya, tidak ada tafsir lain yang mungkin kecuali bahwa Jokowi tidak memenuhi syarat untuk menjadi cawapres dalam Pilpres 2024 nanti," jelas Jimly.

"Maka membaca Pasal 7 UUD harus sistematis dan kontekstual, jangan cuma titik koma. Intinya Presiden Jokowi tidak bisa nyalon lagi. Titik," sambungnya.

Jimly menuturkan bahwa yang diperbelohkan UUD 1945 yakni, apabila wapres mencalonkan diri menjadi calon presiden. Sebab, bukan jabatan yang sama dan sebagai penerus dan pengganti.

"Tapi mantan presiden dua kali mau jadi cawapres tidak boleh karena jika terjadi kekosongan seperti meninggal, wapres harus naik jadi presiden yang tidak boleh lagi ia jabat," ujar Jimly.

Dia pun mengkritik Juru Bicara MK Fajar Laksono sebagai orang pertama yang melontarkan pernyataan ini. Jimly mengingatkan bahwa staf pengadilan dilarang berbicara soal substansi.

"Statement Humas MK bukan putusan resmi MK, jangan jadi rujukan. Staf pengadilan dilarang bicara substansi," ucap Jimly.

Senada, Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh jubir MK dirinya khawatir institusi tersebut nanti dicurigai keberpihakannya. Menurut dia, jangan sampai itu memancing orang mengajukan perkaranya ke MK.

"Kalau itu terjadi, MK akan dianggap orang tidak kredibel. Karena bisa dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu agar perkaranya bisa masuk ke MK dan terkesan MK sudah punya pendapat sebelum perkara itu dijatuhkan," jelas dia kepada Liputan6.com, Kamis (15/9/2022).

Feri pun menegaskan, apa yang disampaikan Fajar jelas tidak tepat. Yang pertama, dilihat dari segi ketatanegaraan terutama kebiasaan atau budayanya, tidak elok kiranya seorang presiden yang sudah dua periode memilih menjadi cawapres.

Menurut dia, kesan yang didapat adalah presiden sangat tamak dan ingin terus berkuasa dan berada di lingkaran kekuasaan.

"Aneh saja jika kemudian seorang presiden itu mencari jabatan yang ada dibawahnya. Padahal harus dipahami dalam tradisi ketatanegaran seorang presiden mungkin dia tidak menjabat lagi, dia bukanlah presiden yang terpilih atau menjabat, tetapi, nama atau panggilan sebagai presiden itu tidak akan hilang, tidak ada sebutan mantan untuk presiden," ungkap Feri.

"Oleh karena itu dia presiden sekaligus warga negara yg baik harus memberikan contoh. Masa orang yang sudah ada titel presiden seumur hidupnya dia akan menyadang titel itu walaupun tidak menjabat, tidak berkuasa, lalu kemudian rela turun jabatan demi wakil presiden. Karena kalau dia turun menjadi wakil presiden dia akan disebut mantan wakil presiden," jelasnya.

Feri juga mengingatkan, membaca aturan itu jangan hanya satu aturan saja, harus dibarengi dengan yang lainnya.

"Kalau pasal 7 itu memang terkesan bisa saja, tetapi pasal 7 harus dibaca dengan pasal 8. Syarat menjadi presiden itu hanya boleh 2 periode, kalau seorang wakil presiden adalah mantan presiden 2 periode, maka dia tidak bisa kalau presiden di masanya nanti, mangkir atau berhalangan tetap dia akan menggantikannya," tegas dia.

"Karena dia sudah 2 periode, maka kita bisa melihat membaca konstitusi secara utuh itu, kita mengetahui tidak terpenuhi syaratnya seorang presiden 2 periode mencalonkan diri lagi jadi cawapres. Dengan sendirinya di KPU nanti dia tidak akan memenuhi syarat," tukas Feri.

 

Tidak Baik untuk Demokrasi

 

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai presiden yang sudah menjabat dua periode tidak bisa maju lagi sekalipun dicalonkan sebagai cawapres. Karena jika nanti terpilih maka wapres adalah orang yang akan menggantikan presiden jika berhalangan tetap.

"Artinya nanti dia akan menjabat lagi menjadi presiden dalam kondisi ini. Jadi sebaiknya polemik ini dihentikan saja," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (15/9/2022).

Menurut Khoirunnisa, dengan kondisi ini artinya publik hanya akan disuguhkan dengan calon yang tetap dan itu saja hanya berganti posisi.

"Karena masa jabatan sudah usai. Jadi lebih baik tidak usah mewacanakan lagi soal peluang untuk maju kembali baik itu menjadi capres atau cawapres," jelas dia.

Khoirunnisa menegaskan, pihaknya mendorong sirkulasi kepemimpinan, mendorong parpol untuk menyiapkan pemimpin.

"Termasuk merawat demokrasi ini. Jika ada kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi bukan berarti ini menjadi argumentasi untuk dicalonkan kembali," jelas dia.

Senada, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Aisah Putri Budiatri menegaskan, meski tidak melanggar aturan hukum, tetapi nampaknya tak tepat dari sisi etika politik.

"Ada amanat konstitusi tentang pembatasan kekuasaan presiden-wapres hanya dua periode dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan politik dan mencegah tirani, dan dalam konteks Jokowi sudah menjadi presiden, tampuk kekuasaan politik tertinggi, selama dua periode, maka sebaiknya dilakukan pergantian kepemimpinan presiden dan Jokowi pun tak sepatutnya turun posisi menjadi wapres," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (15/9/2022).

Putri menyebut, Jokowi dan Prabowo merupakan lawan politik dalam dua kali pilpres yang dalam konteks berdemokrasi, maka memposisikan mereka sebagai dua calon presiden dengan perspektif tawaran kebijakan berbeda.

"Namun yang terjadi setelahnya justru Prabowo masuk ke dalam pemerintahan Jokowi dan tentu saja, akan menjadi semakin tak elok ketika kemudian berpasangan terbalik dengan Jokowi sebagai wakil dari Prabowo dalam pemilu ke depan," ungkap dia.

Putri menegaskan, sudah sepatutnya, rakyat diajarkan tentang berpolitik dan berdemokrasi yang benar ketika pasangan capres-cawapres terbentuk karena memiliki ideologi dan visi misi politik yang sama, bukan sekedar berpasangan untuk kepentingan memenangkan pemilu dan melanggengkan kekuasaan.

"Selain itu, partai politik punya kewajiban untuk melakukan rekrutmen politik untuk jabatan-jabatan politik penting termasuk presiden dan wakil presiden, sehingga seharusnya partai menyiapkan kader terbaiknya menjadi cawapres dan capres, dan harus ada regenerasi pencalonan artinya tidak kemudian cawapres berasal dari presiden yang sudah dua kali periode," tegas dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Punya Peluang

Direktur Eksekutif Lembaga Survei KedaiKOPI, Kunto Adi Wibowo memandang bahwa memang ada kedekatan antara Jokowi dan Prabowo. Namun, masalahnya ada di tingkatan partai.

"Menurut saya yang krusial adalah partainya. Pak Jokowi kan dari PDIP, problemnya kalau Pak Prabowo hendak mengajak Pak Jokowi sebagai cawapresnya mau gak PDIP? Ini persoalan pertama. Kedua, kalau tidak lewat PDIP apakah PKB mau? Lalu bagaimana hubungan Pak Jokowi dengan PDIP selanjutnya? Jadi akan meninggalkan persoalan di belakang," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (15/9/2022).

Dia pun menyebut, wacana menjodohkan Prabowo dengan Jokowi jangan terlalu dibuat serius. Pasalnya, jika akhirnya maju maka ini tidak baik-baik saja.

"Apakah Pak Jokowi mau jadi cawapres, ngapain? Kan udah jadi presiden (dua periode), ngapain jadi cawapres? Itu kan turun level istilahnya, apalagi jadi cawapresnya Prabowo. Jadi menuru saya Pak Jokowi enggak serendah itu," kata dia.

Terpisah, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas menilai, wajar saja wacana tersebut sebagai sebuah aspirasi.

"Tapi, menurut saya, peluangnya sangat kecil. Itu pun jika Presiden Jokowi dan timnya sanggup menghadapi gelombang protes yang sangat besar," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (15/9/2022).

Sirojudin pun sepakat dengan Jimly bahwa harus dibaca utuh dan tak ada peluang sama sekali. Karena jika ada sesuatu terjadi terhadap presiden maka wapres yang akan menggantikan posisi tersebut, dan dalam hal ini Presiden Jokowi sudah dua periode.

"Secara etik, peluang itu kurang baik bagi demokrasi Indonesia. Sebab, upaya pemeliharaan kekuasaan seperti itu akan membuka bibit-bibit otoritarianisme. Menghalangi proses pergantian kekuasaan secara alamiah," jelas dia.

Meski demikian, Sirojudin menegaskan, wacana tersebut juga hal yang kosong juga.

"Sebab bagi Gerindra, ini bahan kampanye menarik. Mungkin bisa punya efek untuk menarik perhatian sebagian pemilih Jokowi ke Prabowo dan Gerindra," kata dia.

 

3 dari 3 halaman

Sikap PDIP Dan Gerindra

Muncul wacana Presiden Joko Widodo atau Jokowi maju kembali sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024. Jokowi dipasangkan dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto.

Menanggapi ini, Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga menuturkan, konstitusi tidak melarang presiden yang sudah maju dua periode menjadi wakil presiden. Tidak ada hambatan untuk duet Prabowo-Jokowi.

"Sebenarnya begini, secara konstitusi kan tidak ada yang bisa menghambat hal itu," ujar Eriko, Kamis (15/9/2022).

Namun kembali kepada partai politik. Apakah memang ada niatan memasangkan Prabowo dengan Jokowi. Perlu juga ditanyakan kepada koalisi Gerindra dan PKB, apakah punya wacana mengusung Prabowo-Jokowi di Pilpres 2024.

"Itu tentu harus ditanyakan kepada partai-partai tersebut, apakah misalnya contoh Gerindra-PKB seperti apa, itu kan perlu ditanyakan ke Gerindra dengan PKB apakah ada hal seperti itu," kata Eriko.

Semua juga tergantung kepada Prabowo dan Jokowi apakah tertarik untuk dipasangkan.

Dia mengatakan, sampai pendaftaran Pilpres 2024, masih ada waktu yang panjang. Dinamika politik masih akan terus berubah. Wacana Prabowo-Jokowi juga bisa berubah.

"Karena menurut kami tentunya, satu tahun ke depan ini kan masih banyak hal yang bisa terjadi, bisa berubah. Nah, kembali pada hak otoritas dari masing-masing partai untuk menentukan siapa calonnya. Dan itu bisa sangat dinamis," ujar Eriko.

Sementara PDIP masih terus melakukan komunikasi dengan partai-partai politik melalui Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Hasil komunikasi yang dilakukan ketua DPR RI ini akan disampaikan kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

"Tentu ini kan menjadi suatu bahan yang bisa menjadi untuk nanti keputusan pada kemudian hari. Siapa yang nanti akan diputuskan oleh ibu Mega," kata Eriko.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Gerindra Habiburokhman bicara peluang memasangkan Prabowo Subianto dengan Joko Widodo Atau Jokowi.

"Ya kalau kemungkinan ya ada saja. Dan secara konstitusi kan dipertegas oleh MK. Tanpa putusan MK kan juga sudah jelas, bisa," ujar Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta," Rabu (14/9/2022).

Habiburokhman mengatakan, secara konstitusi memang membolehkan Jokowi untuk maju lagi. Namun, dalam konteks politik tergantung kewenangan partai. Di Gerindra berada di tangan Prabowo selaku Ketua Umum Gerindra.

"Ya kalau secara konstitusi memungkinkan. Tapi dalam konteks politik ya itu bukan kewenangan saya. Kewenangannya ada di pak Prabowo kalau partai Gerindra," ungkap dia.

Sementara itu, di internal Gerindra masih mencari calon wakil presiden. Pada saatnya akan diumumkan.

"Sedang dalam proses. Pada saatnya akan diumumkan," kata Habiburokhman.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Presiden Jokowi hibur anak-anak dengan atraksi sulap di peringatan Hari Anak Nasional, di Pekanbaru, Riau.
    Joko Widodo merupakan Presiden ke-7 Indonesia yang memenangi Pemilihan Presiden bersama wakilnya Jusuf Kalla pada 2014

    Jokowi

  • H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo adalah seorang pengusaha, politisi, dan mantan perwira TNI Angkatan Darat.
    H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo adalah seorang pengusaha, politisi, dan mantan perwira TNI Angkatan Darat.

    Prabowo

  • H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo adalah seorang pengusaha, politisi, dan mantan perwira TNI Angkatan Darat.
    H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo adalah seorang pengusaha, politisi, dan mantan perwira TNI Angkatan Darat.

    Prabowo Subianto

  • Pemilihan umum legislatif yang disingkat sebagai Pemilu tahun 2024 akan mulai dilaksanakan pada 14 Februari 2024.

    Pemilu 2024

  • Cawapres 2024