Sukses

KPK Ajukan Banding Vonis Eks Bupati Tabanan Eka Wiryastuti

KPK mengajukan banding atas vonis eks Bupati Eka Wiryastuti hukuman penjara 2 tahun dan denda Rp 50 juta atau kurungan 1 bulan lantaran majelis hakim tidak menerima sebagian tuntutan jaksa.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding atas vonis mantan Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti. Permintaan banding dilakukan KPK lantaran Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar tak menerima sebagian tuntutan jaksa KPK.

"Jaksa KPK telah menyatakan banding atas putusan pengadilan Tipikor Denpasar Bali dengan terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti dan kawan-kawan," ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (29/8/2022).

Ali mengatakan, hakim Pengadilan Tipikor Denpasar tak menjatuhi hukuman berupa pencabutan hak politik terhadap Eka. Padahal, tim jaksa KPK sudah menyertakan hal tersebut dalam tuntutan.

Selain itu, menurut Ali, banding juga dilakukan karena pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Eka dinilai terlalu ringan. Eka hanya divonis dua tahun penjara.

"KPK nilai masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat," kata Ali.

Vonis hakim hanya setengah dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut hakim menjatuhkan pidana selama empat tahun penjara. KPK berharap permintaan banding ditimbang dengan bijak.

"KPK berharap majelis hakim pada tingkat banding akan memutus sebagaimana amar tuntutan tim jaksa KPK," kata Ali.

Majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar memvonis Bupati Tabanan periode 2016–2021 Eka Wiryastuti hukuman penjara 2 tahun dan denda Rp50 juta atau kurungan 1 bulan karena dia terbukti bersalah menyuap dua eks pejabat Kementerian Keuangan.

Uang suap itu diberikan oleh Eka melalui perantara-nya, yaitu mantan staf khususnya I Dewa Nyoman Wiratmaja, terhadap Yaya Purnomo dan Rifa Surya dengan harapan agar keduanya dapat membantu mengurus penambahan alokasi Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan Tahun Anggaran 2018.

Majelis hakim, yang dipimpin oleh I Nyoman Wiguna, pada sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Bali, Selasa, menetapkan Eka Wiryastuti terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Vonis Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa

Walaupun demikian, hukuman yang diberikan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar lebih ringan daripada tuntutan jaksa. Jaksa KPK pada persidangan sebelumnya menuntut majelis hakim agar menjatuhkan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp110 juta atau ganti kurungan 3 bulan.

Penuntut umum juga meminta majelis hakim mencabut hak politik Eka selama 5 tahun sejak dia selesai menjalani hukumannya di bui.

Namun, majelis hakim memutuskan menjatuhkan hukuman yang lebih ringan, karena beberapa pertimbangan, salah satunya suap itu diberikan bukan untuk kepentingan pribadi Eka.

"Tujuan pengurusan DID adalah untuk kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tabanan pada umumnya, dan secara khusus untuk melancarkan kinerja anggaran dalam pemerintahan terdakwa," kata majelis hakim saat membacakan putusan.

Menurut majelis hakim, perbuatan Eka itu tidak terlepas dari adanya dua eks pejabat Kemenkeu, yaitu Yaya Purnomo dan Rifa Surya yang menjanjikan seolah-olah keduanya dapat mengatur penambahan alokasi DID Kabupaten Tabanan.

Total nilai suap yang diserahkan Dewa kepada Yaya dan Rifa atas perintah Eka Wiryastuti saat itu sebanyak Rp600 juta dan 55.300 dolar AS atau senilai Rp1,4 miliar.

Yaya Purnomo saat kasus pengurusan DID Tabanan menjabat sebagai Kepala Seksi Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Permukiman Kemenkeu, sementara Rifa Surya saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Dana Alokasi Khusus Fisik II Kemenkeu.

Sementara itu, terkait pencabutan hak politik, majelis hakim menolak permintaan jaksa KPK.

"Dalam surat dakwaan, JPU (jaksa penuntut umum) tidak sedari awal memasukkan Pasal 18 ayat (1) huruf D UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pidana tambahan," tutur majelis hakim.

Dengan demikian, Eka Wiryastuti masih berhak mencalonkan dirinya untuk dipilih sebagai pejabat publik, misalnya, dalam pemilihan kepala daerah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.