Sukses

Mereka-reka Penjarahan Harta Negara di Bank Lippo

Harga saham Bank Lippo selama tujuh bulan sejak April 2002 menurun sistematis. Kalangan DPR menyayangkan lembaga pemerintah yang saling lempar tanggung jawab menangani masalah tersebut.

Liputan6.com, Jakarta: Dua pekan terakhir, media massa menyoroti Bank Lippo. Kasus yang mencuat dari laporan keuangan ganda itu kini melebar ke pengadilan. Komisaris Bank Lippo Rudi Toha Bachrie menggugat analis bursa Lin Che Wei secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (26/2). Che Wei dinilai mencemarkan nama baik manajemen Bank Lippo. Presiden Direktur PT SG Securities itu dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp 103 miliar. Masalah ini dikupas dalam Debat SCTV pekan ini yang menampilkan Lin Che Wei, Wakil Presiden Komisaris Lippo Roy E. Tirtadji, dan Wakil Ketua Komisi IX DPR Paskah Suzetta. Reporter Bayu Sutiyono memandu acara tersebut.

Dalam tulisannya di sebuah surat kabar harian, Che Wei menduga telah terjadi praktik perampokan kekayaan negara dalam jumlah besar. Orang yang pertama mencurigai laporan keuangan ganda itu menuding manajemen Bank Lippo merekayasa harga saham dengan tujuan pemilik lama bisa membeli saham dengan harga murah. Saat ini, saham Bank Lippo di lantai bursa hanya Rp 30 per lembar.

Padahal, ketika menyuntik Lippo, pemerintah harus membayar Rp 260 untuk tiap lembarnya. Analisis Che Wei juga didukung pihak lain. Laporan Koalisi Masyarakat Antiskandal Bank Lippo kepada Kejaksaan Agung menyebutkan kasus itu berpotensi merugikan negara senilai Rp 6 triliun atau setara dengan saham yang pernah disetorkan pemerintah. Karena harga saham yang terus melorot, saham pemerintah hanya tersisa Rp 600 miliar.

Kontroversi Bank Lippo berawal dari munculnya dua laporan keuangan yang bertolak belakang. Pada akhir November 2002, laporan kepada publik menyebutkan total asetnya mencapai Rp 24 triliun, dengan keuntungan bersih Rp 99 miliar. Tapi sebulan kemudian, dalam laporan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ), aset Lippo merosot menjadi Rp 22,8 triliun dan menderita kerugian hingga Rp 1,3 triliun.

Menurut pengelola Bank Lippo, penurunan itu terkait dengan anjloknya nilai agunan yang sudah diambil alih (biasa disebut sebagai AYDA, foreclosed asset), dari semula Rp 2,4 triliun menjadi Rp 1 triliun. Kejanggalan tersebut kemudian menjadi sorotan masyarakat pasar modal. BEJ yang menyelidiki masalah ini menemukan Bank Lippo memberikan informasi yang dapat menyesatkan publik. Investigasi Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tak hanya terbatas pada laporan keuangan ganda, tapi juga memeriksa dugaan rekayasa harga saham Bank Lippo di pasar modal antara November 2002 hingga Januari 2003. Hasil pemeriksaan akan diumumkan pada pertengahan Maret mendatang.

Sebagian kalangan berpandangan agak sulit mengandalkan penyelidikan kasus itu pada otoritas pasar modal karena kasus-kasus di bursa jarang yang terbukti. Saling menggugat di pengadilan mungkin satu-satunya harapan untuk membuktikan siapa sesungguhnya yang bersalah dalam kasus ini.

Dalam pandangan Che Wei, laporan keuangan bertujuan memberikan informasi yang benar kepada publik. Tapi yang dilakukan Bank Lippo dengan laporan ganda adalah suatu rekayasa untuk menurunkan nilai buku dari perusahaan. "Itu sama dengan pemalsuan kepada publik, bahkan BEJ telah memberi peringatan keras," kata dia melalui video telekonferens dari Bali. Sedangkan Roy Tirtadji berpendapat laporan keuangan yang berbeda itu dimungkinkan untuk kepentingan berbeda sehingga angkanya juga bisa berlainan.

Paskah Suzetta menyayangkan sikap lembaga pemerintah yang saling melempar tanggung jawab menghadapi skandal ini. "Saya tidak senang BPPN diam dan saling lempar dengan BEJ dan Bapepam," kata dia. Paskah berharap peristiwa ini tak menganggu kepemilikan saham pemerintah dan merusak harga saham. Menurut dia, Lippo adalah bank swasta nasional terbesar ketiga setelah Bank Central Asia dan Bank Danamon. Bank Lippo yang kini memiliki 367 cabang dan 6.000 karyawan itu melayani sekitar 3,5 juta nasabah. Rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo sejak direkapitalisasi terus meningkat, bahkan mencapai 31 persen pada 2001. Angka ini melebihi ketentuan Bank Indonesia yang hanya 12 persen.

Kepemilikan saham Bank Lippo tersebar pada tiga pihak: 59,26 persen pemerintah, 32,57 persen publik, dan delapan persen pengelola. Namun pengamat ekonomi Faisal Basri berpendapat, ada kejanggalan dalam perwakilan komisaris di Bank Lippo. Meski pemegang saham mayoritas, pemerintah hanya diwakili empat orang yakni dua pejabat BPPN, petinggi Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, dan pejabat Departemen Keuangan. Jumlah itu sama dengan komisaris dari Bank Lippo.

Che Wei juga menyoroti tentang sumber penjualan aset-aset Bank Lippo, Desember 2002. Roy Tirtadji menjawab ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan kecuali atas permintaan BI. "Kami mempunyai kode etik dan rahasia perbankan," kata dia. Menurut Roy, jika terjadi kejanggalan penjualan aset tentunya diketahui tiga pejabat BI yang setiap hari mengawasi.

Menurut Paskah Suzetta, berdasarkan perjanjian dengan pemerintah, Bank Lippo diperbolehkan menjual lima persen dari aset yang diambil alih. Dia menuturkan, laporan keuangan periode 1999-2001 menyebutkan laba dan CAR Bank Lippo juga meningkat. "Ini artinya kepercayaan masyarakat bertambah, bahkan total dana pihak ketiga mencapai Rp 21 triliun," ujar dia.

Fakta yang diperoleh Che Wei menunjukkan harga saham Bank Lippo turun secara sistematis. Selama tujuh bulan sejak April 2002, harga saham bank terbesar nomor tujuh Indonesia itu merosot tajam hingga 75 persen. Padahal, harga saham bank lain justru terus membaik. "Dalam jangka waktu tersebut, Bank Lippo the worst performer di antara saham perbankan," kata dia. Roy Tirtadji mempertanyakan kecenderungan serupa pada keseluruhan harga saham di pasar modal. "Apakah hanya saham Bank Lippo saja yang turun," tanya dia.

Anehnya, kata Che Wei, kecurigaan itu diperkuat saat BEJ menghentikan transaksi penjualan saham ketika seorang investor melaporkan kejanggalan itu ke Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. "Itu membuktikan ada konspirasi kok kebetulan banget. Saya punya bukti," ujar dia menegaskan. Roy Tirtadji menyanggah manajemen merekayasa harga saham di bursa karena mereka tidak mengurus hal tersebut.

Menurut Roy, para pendiri dan manajemen Bank Lippo berkomitmen mengelola bank tersebut. Hal ini terlihat ketika mereka menyerahkan dana pribadinya sebesar Rp 4 triliun untuk dana rekapitulasi. "Dari sekian bank yang direkap, pemerintah hanya memiliki 60 persen saham di Bank Lippo," kata dia. Roy juga mengungkapkan, Bank Lippo akan menjual aset-asetnya pada pada 2003.

Di sesi terakhir, Che Wei menegaskan, kecurigaan yang diungkapnya itu bukan persoalan pribadi dirinya dengan jajaran komisaris dan direksi Bank Lippo. "Ini usaha saya mempertahankan independensi sebagai analis yang tidak bisa diancam oleh pengadilan manapun," kata dia. Che Wei juga berharap pejabat pemerintah tidak saling melempar tanggung jawab dan menjaga investasi uang rakyat.

Sedangkan Roy Tirtadji mengingatkan Che Wei agar berhati-hati menuding telah terjadi praktik perampokan dan penjarahan di Bank Lippo. Berbeda dengan Rudi Toha Bachrie, Roy tidak tertarik menggugat Che Wei ke meja hijau. "Saya berkonsentrasi mengelola bank karena mempunyai tanggung jawab secara hukum," kata dia.

Untuk memverifikasi semua dugaan tersebut, Paskah Suzetta mengajak semua pihak menunggu laporan keuangan Bank Lippo pada semester keempat 2002. "Kami berharap tidak terjadi rush (penarikan uang besar-besaran) karena dana masyarakat dijamin pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1998," kata dia.(COK)