Sukses

Indonesia Masih Menjaga Jarak Terkait Konflik Rusia Vs Ukraina?

Dengan adanya Presidensi G20 itu, Indonesia dinilai bisa mengambil kesempatan baik untuk tampil jadi penengah dalam perdamaian Rusia dan Ukraina.

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia telah menjadi Ketua Presidensi Group of Twenty atau G20 tahun 2022. Dengan adanya Presidensi G20 itu, Indonesia dinilai bisa mengambil kesempatan baik untuk tampil jadi penengah dalam perdamaian Rusia dan Ukraina.

Namun, hingga kini Indonesia dinilai masih menjaga jarak terkait konflik Rusia Vs Ukraina. 

"Indonesia saya lihat berusaha menjaga jarak dengan konflik tersebut, tidak mengeluarkan statement-statement yang terlalu dini," ujar Pengamat Hubungan Internasional Dinna Prapto Raharja kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat, (26/2/2022).

Dia berharap sikap pemerintah Indonesia ini tidak terlalu lama karena perang ini akan berdampak ke Indonesia secara ekonomi. 

"Pada akhirnya kita harus menekan lewat dialog dengan AS dan Rusia juga para sekutu AS untuk tidak memperkeruh suasana dengan aneka sanksi ekonomi yang justru akan makin memperburuk kondisi ekonomi di Eropa dan pada akhirnya mitra-mitra dagang Eropa," ujar dia.

Sebagai Ketua Presidensi G20, kata Dinna, Presiden Joko Widodo bisa membangun komunikasi dengan pimpinan negara-negara anggota G20 untuk mendorong peredaan ketegangan di Ukraina agar tidak mengganggu agenda kerjasama di belahan dunia lain.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Indonesia Dianggap Mampu Redam Konflik

Indonesia dinilai bisa mengambil kesempatan baik untuk tampil jadi penengah dalam perdamaian Rusia dan Ukraina.

Salah satu caranya, yaitu upaya terbuka untuk penyelesaian konflik melalui Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU PBB).

"Indonesia dapat mengambil peran ini mengingat Indonesia saat ini memegang Presidensi G-20 dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia," ujar Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat, (25/2/2022).

Menurut Hikmahanto, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dapat mengutus Menlu Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden MU dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS.

Dalam MU PBB, kata dia, tidak ada hak veto dan semua negara anggota memiliki satu suara yang sama.

Menlu juga perlu melakukan pembicaraan dengan Menlu berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa Timur, hingga Amerika Latin mengingat bila saling serang yang terjadi di Ukraina dibiarkan terus akan menjadi cikal bakal Perang Dunia III

Dalam sejarahnya, kata Hikmahanto, Majelis Umum PBB pernah mengeluarkan resolusi yang disebut sebagai Uniting For Peace pada tahun 1950 saat pecah perang di Semenanjung Korea.

"Dalam resolusi tersebut dapat meminta negara-negara yang bertikai untuk segera melakukan gencatan senjata. Bila seruan ini tidak digubris maka MU PBB dapat memberi mandat kepada negara-negara untuk mengerahkan pasukan terhadap negara yang tidak mematuhi gencatan senjata," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.