Sukses

Khouw Goan Seng, Perekam Aktivitas Sukarno lewat Lensa Kamera

Khouw Goan Seng kerap dipanggil oleh Sukarno untuk memenuhi permintaan foto yang diinginkan presiden pertama RI itu.

Liputan6.com, Jakarta - Khouw Goan Seng bukanlah suatu nama yang familiar di telinga masyarakat Indonesia. Paling hanya satu atau dua orang saja yang akan mengingat namanya dari majalah Varia atau buku Djakarta Guide 1962 terbitan PT Gunung Agung.

Namun, lebih dari itu dia adalah sosok yang hampir tak pernah disebut dalam sejarah, meski dia ikut mengabadikannya.

Puluhan tahun berlalu, dan kini kenangan akan dirinya hanya diingat oleh ketiga anaknya yang masih hidup, dan beberapa sanak saudara serta teman keluarga. Tapi, satu hal yang diingat persis oleh mereka adalah fakta bahwa dia hampir selalu ikut kemanapun Sukarno pergi.

“Bermula dari hobi foto dan ikut banyak lomba, baik nasional maupun internasional. Sampai akhir-akhirnya panggilan ke istana,” tutur anak pertama Khouw Goan Seng, Gunawan Sularko. Pria berumur 69 tahun ini masih ingat sosok sang ayah bagai baru kemarin dia bertemu dengannya.

Salah satu jepretan Khouw Goan Seng alias Ganda Sularko akan Sukarno dalam suatu acara. (Foto: Dok. Pribadi Khouw Goan Seng).

Khouw Goan Seng lalu kerap dipanggil oleh Sukarno untuk memenuhi permintaan foto yang diinginkan presiden pertama RI itu. Gunawan mengatakan, ayahnya pun pernah mendapat hadiah penghargaan dari istana.

“Waktu itu Sukarno sedang pidato tentang nasionalisasi perusahaan Belanda. Salah satu pose yang dia ambil, sudut pengambilannya itu salah satu yang dipuji atau disenangi Sukarno. Papa pulang bawa hadiah radio,” sambungnya sambil tertawa.

Salah satu piala penghargaan yang pernah diraihnya dalam bidang fotografi ajang nasional adalah Juara Kontes Warta Potret Menteri Penerangan Maladi saat G.D.U.W Ke-9. Untuk ajang internasional, dia memenangkan juara dua Sri Lanka Trophy 1953.

Selain itu, karena sikap nasionalismenya yang tinggi, Khouw Goan Seng akhirnya juga mengganti namanya menjadi Ganda Sularko. Dia yakin dirinya pantas disebut orang Indonesia, terlepas dari garis keturunannya.

Salah satu jepretan Khouw Goan Seng alias Ganda Sularko akan Sukarno dalam suatu acara. (Foto: Dok. Pribadi Khouw Goan Seng).

“Walaupun dia itu adalah nama tiga huruf, berarti dia keturunan (Tionghoa). Tapi dia benar-benar nasionalis Indonesia,” kenang Gunawan, yang juga akrab disapa dengan nama Tionghoanya, Khouw Hao Liang alias Oyang.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Memotret Rumah Jenderal Ahmad Yani Pasca G30S

Pada 30 September 1965, Indonesia dicekam ketakutan saat terjadi pembunuhan tujuh perwira tinggi militer Indonesia serta beberapa orang lainnya. Kudeta G30S/PKI ini membuat khawatir masyarakat, termasuk keluarga Khouw Goan Seng.

Saat itu Gunawan masih berumur 13 tahun, dan ada satu kejadian berkesan yang masih cukup jelas terpatri di ingatannya setelah kudeta G30S/PKI terjadi.

“Kalau nggak salah Oktober tanggal 4 atau 3, itu saya lupa persis tanggalnya, sekitar jam 2 siang. Tahu-tahu ada mobil polisi militer pakai sirine berhenti di depan rumah saya, di belakangnya ada mobil sedan,” tutur dia.

“Waktu itu saya lagi ada di rumah tante yang letaknya di sebelah rumah saya persis. Kita orang kaget, kita keluar, kita kan ngeliatin, semua bilang ada apa tuh. Terus beberapa karyawannya tante bilang ke saya, eh papa lu ditangkep loh,” lanjut Gunawan.

Namun, bukan penangkapan yang terjadi, tapi penjemputan. Gunawan melihat ayahnya membawa kameranya dan masuk ke mobil sedan. Pada waktu maghrib, ayahnya pulang dan Gunawan langsung menanyakan apa yang terjadi.

“Dia pulang saya tanya, Pa kenapa Pa? Nggak, disuruh motret. Motret rumahnya Jenderal A. Yani. Waktu itu kan dia ditembak di rumah, jadi motret itu suasana rumahnya memang itu belum dibersihkan,” ungkap Gunawan.

“Jadi dia harus motret itu posisi-posisi dimana ada darah, tempat ditembak semua. Terus saya lihat posisinya. Memang agak seram lihatnya, hasilnya. Ada fotonya kita lihat lah ada percikan-percikan darah,” sambung dia.

Saat itu Gunawan meminta ayahnya untuk menyimpan saja foto-foto tersebut. Namun, Khouw Goan Seng menolak dengan tegas. Menurutnya, foto seperti ini tidak boleh disimpan karena milik negara. Bahkan negatifnya pun tidak disimpan.

“Ya sudah, jadi sampai sekarang cuma kenangannya yang saya ingat saja, begitu. Yang dia dipanggil atau apa semuanya. Memang yang hebohnya kan dia dipanggil dateng pakai mobil sirine,” ucap Gunawan sembari terkekeh.

 

3 dari 4 halaman

Pengoleksi Perangko dan Tanda Tangan Pahlawan

Khouw Goan Seng juga dikenal oleh keluarganya sebagai sosok yang eksentrik. Dia memiliki hobi filateli, alias mengoleksi perangko. Tak hanya sampai di sana, dia pun meminta tanda tangan beberapa pahlawan nasional dan pejabat negara di atas sampul hari pertamanya.

Di antaranya adalah tanda tangan Mohammad Hatta, Gatot Subroto, A. H. Nasution, Soeharto, Adam Malik, Idham Chalid, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Roeslan Abdulgani, dan masih banyak lainnya.

"Papa dapat tanda tangan Gatot Subroto itu 2 minggu sebelum Gatot Subroto meninggal. Ini juga sudah dikonfirmasi oleh anak dari Gatot Subroto sendiri bahwa itu adalah tanda tangan asli ayahnya,” tutur anak keempat Khouw Goan Seng, Gunawati Sularko.

Koleksi perangko dari Khouw Goan Seng, Fotografer yang Mengikuti Sukarno. (Foto: Dok. Pribadi Khouw Goan Seng).

Bahkan, dia juga memiliki tanda tangan Cindy Adams, penulis buku autobiografi Sukarno, serta suaminya Joey Adams. Khouw Goan Seng pun sempat mengambil foto Cindy dan Joey Adams yang lalu dia tempelkan bersama tanda tangan mereka.

Selain itu, menurut Gunawati, sang ayah mampu berbicara 4 bahasa, yakni Belanda, Inggris, Indonesia, dan Jepang.

Salah satu koleksi perangko sampul hari pertama Khouw Goan Seng alias Ganda Sularko yang ditandatangani oleh Cindy Adams, penulis buku autobiografi Sukarno, serta suaminya Joey Adams. (Foto: Dok. Pribadi Khouw Goan Seng).

“Mama dulu cerita, Papa itu bisa berbahasa Belanda karena dulu sekolah Belanda. Kalau bisa Bahasa Jepang karena dulu pernah menjadi tentara Jepang, nginep di asrama pas masih muda merantau dari Cirebon ke Jakarta,” tutur Gunawati.

Fotografer eksentrik ini juga menulis buku diarinya dalam Bahasa Belanda. Buku tersebut masih disimpan rapi oleh Gunawati di rumahnya, salah satu kenangan penuh arti dari ayah yang tak pernah dikenalnya.

Salah satu koleksi perangko sampul hari pertama Khouw Goan Seng alias Ganda Sularko yang ditandatangani oleh Jenderal Dr. A.H. Nasution. (Foto: Dok. Pribadi Khouw Goan Seng).

Sebab, Khouw Goan Seng meninggal karena kecelakaan saat usia Gunawati masih 4 tahun. Dia hanya mengenal ayahnya melalui cerita dari ibunya, istri dari Khouw Goan Seng, Jo Biauw Nio.

“Dulu mama juga pernah diajak papa untuk datang ke pesta yang digelar Sukarno. Katanya, mama waktu itu senang sekali rasanya bisa ke istana dan sempat berdansa dengan Sukarno,” tutur Gunawati.

 

4 dari 4 halaman

Akhir Hayat Sang Fotografer

Khouw Goan Seng lahir pada 21 Juni 1927. Dia diingat sebagai sosok yang teliti, idealis, nasionalis, dan tidak peduli dengan materi. Ilmu fotografinya pun seringkali dia bagikan dengan gratis kepada mereka yang ingin belajar.

Di zaman itu, fotografi merupakan suatu seni yang Khouw Goan Seng kuasai penuh tekniknya. Dia pun mampu memberikan warna pada hasil fotonya melalui goresan tangan, menggunakan cat berwarna di atas foto hitam dan putih.

Kini, semua itu hanya kenangan belaka. Ketiga anaknya yang masih hidup, Gunawan, Gunadi, dan Gunawati adalah beberapa saksi terakhir jejak hidup ayah mereka, Khouw Goan Seng alias Ganda Sularko.

“Banyak sekali foto papa yang sudah tidak tahu kemana. Saya hanya simpan sebagian, kakak saya simpan sebagian, dan sebagian lagi ada di rumah adik iparnya yang sudah lupa dimana dia menaruh album papa,” ujar Gunawati.

Hasil jepretan Khouw Goan Seng atau Ganda Sularko yang menunjukkan Fatmawati di dalam mobil. Foto ini juga ditandatangani oleh Fatmawati khusus untuk Khouw Goan Seng. (Foto: Dok. Pribadi Khouw Goan Seng).

“Lalu sebagian lagi ya mungkin ada di arsip istana. Karena itu memang milik negara. Mama saya dulu cerita, papa juga mendokumentasikan koleksi istana seperti lukisan, patung, dan yang lainnya,” dia mengakhiri.

Khouw Goan Seng alias Ganda Sularko (di belakang memegang kamera) tengah bekerja mengambil foto dalam suatu acara ambasador. (Foto: Dok. Pribadi Khouw Goan Seng).

Khouw Goan Seng wafat pada 1 September 1968 karena terjatuh dari atap yang jeblos. Gunawan adalah orang pertama yang menemukan ayahnya sudah terkapar di lantai, dengan kepala bagian belakangnya remuk karena terhantam drum besi.

Khouw Goan Seng meninggalkan keluarganya dengan masih banyak cerita yang tak pernah diungkapkanya. Banyak misteri yang tak pernah diucapkannya. Banyak foto bersejarah di Indonesia yang juga adalah hasil jepretan tangan cekatannya.

“Saat-saat terakhir beliau sering memperhatikan saya, sehingga membingungkan saya. Mungkin dia merasa anak-anaknya belum dewasa, ini yang saya rasakan sebagai anak tertuanya,” tutur Gunawan.

“Tapi saya merasa bangga banyak tahu tentang dia, walaupun tidak terlalu banyak,” Gunawan mengakhiri.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.