Sukses

Duka Kepergian Mendadak Artidjo Alkostar, Hakim Agung yang Tak Gentar Hukum Koruptor

Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Artidjo Alkostar meninggal dunia pada Minggu, 28 Februari 2021.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Artidjo Alkostar meninggal dunia pada Minggu, 28 Februari 2021.

Kepergian mendadak Artidjo Alkostar cukup mengagetkan sejumlah pihak. Sebab, ia diketahui masih prima ketika menjalankan aktivitas sebagai anggota Dewan Pengawas KPK pada Jumat, 26 Februari 2021 di gedung Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK, dilansir Antara.

Namun sekitar pukul 14.00 WIB pada Minggu siang, 28 Februari 2021, sopir Artidjo menelepon ajudan dan mengatakan pintu kamar Artidjo di Apartemen Springhill Terrace Residence Tower Sandalwood lantai 6 Nomor 6-H tidak bisa dibuka.

Saat pintu didobrak, Artidjo Alkostar ditemukan sudah tidak sadarkan diri dan diketahui kemudian telah meninggal dunia.

Jenazah Artidjo Alkostar dibawa ke Rumah Sakit Polri Jakarta untuk disemayamkan lalu dibawa ke tempat pemakamannya di Situbondo, Jawa Timur.

"Rencana kita almarhum hari ini kita bawa untuk di semayamkan di RS Polri karena di sana sudah siap. Dari sana baru kita siapkan akan rencana dibawa untuk pemakaman keluarga di Situbondo. Itu adalah keputusan pimpinan KPK dan Dewan Pengawas," ujar Ketua KPK Firli Bahuri saat dikonfirmasi, Minggu, 28 Februari 2021.

Sementara itu, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md mantan hakim agung itu wafat karena menderita penyakit jantung dan paru-paru.

 

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Siapakah Artidjo Alkostar?

Artidjo Alkostar sendiri lahir di Situbondo pada 22 Mei 1948. Sejak 20 Desember 2029, dia menjadi Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023 bersama dengan Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho, Syamsuddin Haris, dan Harjono.

Artidjo mengaku menerima permintaan Presiden Jokowi untuk menjadi Anggota Dewas KPK untuk membantu republik.

"Ya panggilan republik ini, saya tidak boleh egois untuk kepentingan saya, tapi kan kalau itu diperlukan kan negara perlu kita bantu, negara kita kan negara kita bersama," kata Artidjo di Istana Negara pada 20 Desember 2019.

Ia pun bertekad untuk dapat bekerja secara profesional dan proporsional.

"Kita profesional dan proporsional, proporsional itu penting menjaga keseimbangan supaya lembaga ini sehat dan bekerja baik, sesuai harapan bersama," tambah Artidjo.

 

3 dari 5 halaman

Jejak Karier

Sebelum menjabat sebagai anggota Dewas KPK, Artidjo Alkostar adalah Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung yang dikenal memberikan hukuman berat dan tambahan hukuman kepada terdakwa kasus korupsi.

Artidjo menyelesaikan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo. Ia selanjutnya melanjutkan studi di Fakultas Hukum (Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Kemudian dia melanjutkan Master of Laws di Nort Western University, Chicago, lulus 2002 serta menyelesaikan studi S3 di Universitas Diponegoro Semarang dan mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum pada 2007.

Artidjo mengawali kariernya sebagai pengacara publik di LBH Yogyakarta.

Ketika ia berada di New York pada 1989-1991 untuk mengikuti pelatihan pengacara HAM di Columbia University, ia juga bekerja di Human Rights Watch.

Sepulangnya dari Amerika, Artidjo mendirikan kantor hukum bernama Artidjo Alkostar and Associates sampai 2000.

Selanjutnya ia berkarier sebagai Hakim Agung hingga 22 Mei 2018 dan sudah menangani 19.483 perkara.

 

4 dari 5 halaman

Ketegasan Artidjo

Artidjo Alkostar juga dikenal sebagai seorang Hakim Agung yang kerap memberikan vonis berat pada pelaku korupsi.

Terhitung sejak bertugas di MA, Artidjo telah menyidangkan 842 pelaku korupsi dengan mayoritas putusan tergolong sangat berat.

Ketegasan Artidjo pernah dirasakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam perkara penerimaan suap terkait perkara-perkara di MK. Saat itu permohonan kasasinya ditolak sehingga dirinya tetap dihukum seumur hidup.

Selain itu, ada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan lshaaq dalam perkara korupsi berupa penerimaan suap terkait impor daging sapi juga mengalami hal serupa.

Sebelumnya, Luhfi Hasan divonis 16 tahun, tetapi kasasi yang dijatuhkan Artijdo memperberat vonisnya menjadi 18 tahun dan memberikan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.

Kemudian ada mantan ketua umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang awalnya dijatuhi vonis 8 tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Jakarta.

Namun di tangan majelis kasasi Artidjo, MS Lumme dan Krisna Harahap, Anas mendapat vonis kasasi 14 tahun penjara dalam perkara korupsi berupa penerimaan hadiah dari sejumlah proyek-proyek pemerintah.

Masih ada mantan anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh dalam kasus suap pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Di pengadilan tingkat pertama Angie mendapat vonis 4,5 tahun penjara, namun majelis hakim kasasi yaitu Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap menjatuhkan vonis 12 tahun penjara sesuai dengan tuntutan jaksa KPK.

Kemudian ada perkara mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Irjen Pol Djoko Susilo dalam kasus korupsi simulator SIM dan pencucian uang yang awalnya "hanya" mendapat vonis 10 tahun penjara dari putusan pengadilan Tipikor Jakarta namun oleh majelis kasasi yang terdiri atas Artidjo Alkostar, M Askin, dan MS Lumme dijatuhi 18 tahun penjara sesuai dengan tuntutan jaksa KPK.

Selanjutnya mantan politikus Partai Demokrat Sutan Bhatoegana dalam perkara penerimaan suap dijatuhi hukuman kasasi oleh majelis kasasi Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Abbdul Latief selama 12 tahun penjara dari tadinya vonis pengadilan Tipikor adalah 10 tahun penjara.

Namun Artidjo juga membuat putusan yang menguntungkan terdakwa korupsi yaitu kepada "office boy" Hendra Saputra dalam perkara korupsi proyek pengadaan videotron 2012 di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Majelis kasasi Artidjo Alkostar, Krisna Harahap dan MS Lumme menjatuhkan putusan lepas dari dakwaan terhadap Hendra Saputra pada 21 Januari 2016.

 

5 dari 5 halaman

Ucapan Duka Cita

Atas kepergian Artidjo Alkostar, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyampaikan duka citanya.

"Kita ditinggalkan lagi oleh seorang tokoh penegak hukum yg penuh integritras. Artidjo Alkostar adalah hakim agung yang dijuluki algojo oleh para koruptor. Dia tak ragu menjatuhkan hukuman berat kepada para koruptor tanpa peduli pada peta kekuatan dan back up politik," kata Mahfud dalam akun Twitter pribadinya @mohmahfudmd.

Mahfud mengaku mengenal Artidjo sejak menjadi dosen di Fakultas Hukum UII Yogyakarta sejak 1978 seperti dirinya dan juga ketika almarhum berporfesi sebagai pengacara.

Menurut Mahfud, Artidjolah yang menginspirasi dirinya untuk menjadi dosen dan menjadi aktivis penegakan hukum dan demokrasi.

"Pada 1990/1991 saya dan Mas Artidjo sama-sama pernah menjadi visiting scholar (academic researcher) di Columbia University, New York. RIP, Mas Ar," ungkap Mahfud.

Sedangkan penyidik KPK Novel Baswedan menyebut, sosok Artidjo Alkostar adalah tokoh yang jujur dan berani.

"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Turut berduka cita atas meninggalnya tokoh penegak hukum Pak Artidjo Alkostar. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa, menerima semua amal ibadahnya dan husnul khotimah. Kejujuran, keberanian dan kesederhanaannya menjadi teladan," tulis Novel di akun Twitter-nya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.