Sukses

PKS Nilai Pemerintah Main-Main Rumuskan RUU Cipta Kerja

Mulyanto menjelaskan, saat ini banyak masyarakat yang membutuhkan kepastian dari undang-undang tersebut. Terlebih lagi, kontroversi menyangkut isi sesungguhnya dari tiap butir pasal di UU tersebut.

Liputan6.com, Jakarta Anggota legislatif dari Fraksi PKS, Mulyanto mempertanyakan kepastian dari isi Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang baru saja disetujui DPR RI pada Senin lalu (5/10/2020). Mulyanto menilai, pemerintah terkesan main-main dalam merumuskan isi undang-undang.

"Pemerintah terlihat main-main dalam merumuskan UU Ciptaker. Ini dapat dilihat dari adanya beberapa pasal yang tiba-tiba masuk, salah satunya pasal pekerja migran," jelas Mulyanto dalam keterangan tulis, Jumat (16/10/2020).

Mulyanto menjelaskan, saat ini banyak masyarakat yang membutuhkan kepastian dari undang-undang tersebut. Terlebih lagi, kontroversi menyangkut isi sesungguhnya dari tiap butir pasal di UU tersebut.

"Masyarakat membutuhkan kepastian dari undang-undang tersebut. Oleh karena itu, kita harus memberikan pembuktian berupa data-data," ucap Mulyanto.

Tak lupa, Mulyanto juga menjelaskan alasan PKS ikut serta dalam perumusan UU Ciptaker yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat. Menurutnya, keterlibatan dalam perumusan UU itu demi mengritisi isi di dalamnya.

"PKS memang menolak undang-undang ini karena cacat proses dan cacat substansi. Akan tetapi, kami ikut serta dalam perumusan ini agar dapat mengkritisi dan memasukkan pasal-pasal yang lebih baik untuk masyarakat ke depannya," terang Mulyanto.

Dirinya sangat menyayangkan tindakan Pemerintah dikala pandemi ini yang justru melahirkan UU kontroversial dan memancing keributan di publik. Ia mengharapkan pemerintah membentuk suatu kebijakan yang lebih menguntungkan masyarakat.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Klaster Pertahanan

Sementara, Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Toriq Hidayat mengritisi dimasukkannya klaster pertahanan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Pasalnya, dari sana tampak semangat pemerintah untuk mengarahkan pihak swasta dalam aktif dalam bidang produksi industri pertahanan.

"Melalui UU ini terlihat jelas keinginan pemerintah untuk mengarahkan kalangan swasta nasional lebih aktif di sektor produksi ketimbang menjadi agen semata. Seharusnya klaster pertahanan tidak usah masuk dalam klaster UU cipta Kerja," tegasnya dalam keterangan tulis, Jumat (16/10/2020).

Hal ini menyusul pernyataan Jubir Menteri Pertahanan RI, Dahnil Anzar Simanjuntak yang menjelaskan bahwa RUU Ciptaker klaster pertahanan yang merevisi beberapa pasal dari UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan menjadikan sektor ini dinamis dan progresif untuk investasi. Dia menyebut selama ini banyak swasta yang ingin masuk ke industri pertahanan. Dengan UU Cipta Kerja, swasta bisa berkontribusi.

Politikus PKS ini menambahkan, dalam Pasal 11, UU Nomor 16 tahun 2012 dinyatakan bahwa industri alat utama hanya bisa dikuasai BUMN yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara, swasta diizinkan di industri komponen utama atau penunjang industri alat utama.

"Memang tampaknya industri pertahanan menjadi monopoli BUMN. Tapi menurut saya itu adalah hal yang wajar karena di situ menyangkut pertahanan negara, memproduksi bahan peledak, memproduksi persenjataan dan amunisi, radar dan sebagainya. Belum saatnya menyerahkan penuh kepada pelaku dunia usaha swasta bahkan swasta nasional sekalipun," jelasnya.

Sedang dalam UU Cipta Kerja, kata Toriq disebutkan bahwa industri alat utama merupakan badan usaha milik negara dan/ atau badan usaha milik swasta yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pemandu utama (lead integrator) yang menghasilkan alutsista dan/atau mengintegrasikan semua komponen utama, komponen baku, dan bahan baku menjadi alat utama.

Berikutnya, lanjut dia pada pasal 52 dalam UU 16/2012 dinyatakan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama seluruhnya dimiliki oleh negara. Kemudian kepemilikan modal atas industri komponen utama dan/atau penunjang, industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan), dan industri bahan baku yang merupakan BUMN, paling rendah 51 persen modalnya dimiliki oleh negara.

Sedangkan dalam UU Cipta kerja bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama dimiliki oleh BUMN dan atau swasta yang mendapat persetujuan dari menteri pertahanan. Toriq menilai UU Cipta kerja ini membuka peluang swasta untuk berinvestasi penuh dalam industri ini.

"Membangun Industri bidang pertahanan memang butuh investasi sangat besar. Namun membuka peluang Investasi kepada swasta tanpa batas, menurut saya juga salah. Industri Pertahanan merupakan sesuatu yang sangat strategis buat sebuah pertahanan negara. Tidak boleh dikuasai swasta nasional, apalagi swasta asing. Pemerintah harus pemilik investasi yang paling besar," tegas Toriq.

Menurut anggota Komisi I DPR RI ini, UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan juga telah membuka peluang bagi pihak swasta nasional berkontribusi membangun Industri Pertahanan Nasional. Saat ini terdapat ratusan perusahaan industri pertahanan swasta nasional yang telah berani mengambil risiko tinggi untuk terjun di bidang industri pertahanan yang menyaratkan padat modal.

"Seharusnya mereka ini dirawat oleh pemerintah. Bukannya membuka peluang swasta asing masuk berinvestasi. Sungguh, semboyan NKRI Harga Mati tidak nampak pada keberpihakan terhadap industri pertahanan dalam negeri, juga masih minimnya anggaran untuk penguasaan teknologi," ungkap Toriq.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.