Sukses

Mengenang 7 Pahlawan Revolusi yang Gugur Akibat Keberingasan G30S/PKI

Saat terjadinya G30S/PKI pada 1965 silam, setidaknya ada 6 jenderal dan satu letnan tewas. Mereka pun diberikan gelar Pahlawan Revolusi.

Liputan6.com, Jakarta - 30 September, peristiwa G30S/PKI atau Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia diperingati, hari ketika tujuh Pahlawan Revolusi tewas.

Enam jenderal dan satu letnan TNI AD itu korban kekejian G30S/PKI 1965 silam. Jenazahnya ditemukan di sebuah lubang berdiameter 75 sentimeter di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Para Pahlawan Revolusi ini ditemukan pada 4 Oktober 1965 dengan posisi kepala berada di bawah dan saling bertumpuk.

Ketujuhnya adalah Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani, Letjen (Anumerta) Suprapto, Mayjen (Anumerta) MT Haryono, dan Letjen (Anumerta) Siswondo Parman.

Lalu Mayjen (Anumerta) DI Pandjaitan, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomihardjo, serta Letnan Satu Corps Zeni (Anumerta) Pierre Andreas Tendean.

Tendean menjadi satu-satunya letnan yang menjadi korban PKI karena salah sangka dia adalah Jenderal AH Nasution.

Berikut kisah 7 Pahlawan Revolusi yang gugur saat peristiwa G30S/PKI dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 8 halaman

Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani

Brigjen Ahmad Yani terbang ke London, Inggris. Kepergiannya suatu hari pada 1959 itu mengemban tugas penting.

Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Belanda dalam perebutan Papua Barat. Yani, yang kala itu menjabat Deputi II Kepala Staf Angkatan Darat, ditunjuk menjadi Ketua Staf Operasi.

Ia bertanggung jawab memperkuat persenjataan, mengantisipasi kemungkinan operasi militer. Yani melakukan safari ke negara-negara Eropa, menjajaki pembelian senjata. Perjalanan itu kemudian dikenal dengan Misi Yani.

Di Inggris, ia dibantu Atase Militer KBRI Kolonel Sutojo Siswomihardjo. Yani menjalin kontak dengan Alvis Car and Engineering Company. Dari perusahaan otomotif itu, Indonesia membeli dua jenis kendaraan lapis baja.

"Ayah saat itu Atase Militer RI di London, menyaksikan penandatanganan nota pembelian panser buatan Inggris tahun 1959," kata Anak Sutojo, Nani Nurrachman Sutojo, dalam Kenangan Tak Terungkap: Saya, Ayah, dan Tragedi 1965.

Salah satu jenis kendaraan yang dibeli adalah FV603 Saracen. Panser pengangkut personel berkapasitas 11 orang ini masuk rumpun Alvis FV600.

Dengan bobot 11 ton, Saracen dipersenjatai 16 mm Rolled homogeneous armour. Mesin Rolls-Royce B80 mampu memacu panser hingga 72 Km/jam. Panser Saracen tergolong baru pada masa itu. FV603 Saracen pertama kali diproduksi 1952.

Nani Nurrachman Sutojo menceritakan pesanan kendaraan taktis dari Inggris baru tiba di Indonesia menjelang 1965. Tak lama kemudian, terjadilah pemberontakan PKI.

Enam jenderal diculik. Panser Saracen tampil di momen penting penumpasan Pemberontakan PKI.

Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyerbu basis pasukan pemberontak di Halim Perdana Kusuma, 2 Oktober 1965.

Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo memimpin operasi yang dimulai sejak dini hari itu.

"Kolonel Sarwo Edhie Wibowo masuk pertigaan HEK dengan menumpang APC FV603 Saracen Kompi B Kostrad," tulis Hendro Subroto, dalam buku Sintong Pandjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

RPKAD bersama Batalyon 330 Kujang/Siliwangi memenangkan pertempuran. Halim berhasil direbut pagi hari pukul 06.00.

Tak jauh dari Halim, di Lubang Buaya, jenazah enam jenderal yang diculik PKI ditemukan.

Beberapa hari setelah percobaan kudeta yang gagal itu, tepat di hari ulang tahun TNI, 5 Oktober 1965, iring-iringan militer keluar dari Aula Departemen Angkatan Darat. Sejak semalam sebelumnya, tujuh jenazah Pahlawan Revolusi disemayamkan di sana.

Selain enam jenderal, ada pula jenazah perwira Pierre Tendean yang turut ditangkap saat peristiwa penculikan. Pasukan Cakra Birawa yang menculiknya mengira Tendean adalah Jenderal Nasution.

Harian Kompas 6 Oktober 1965 menggambarkan tiga puluh truk RPKAD berjalan di depan rombongan. Konvoi bergerak ke arah Taman Makam Pahlawan, tempat tujuh Pahlawan Revolusi akan dimakamkan. Iringan berjalan tenang membelah jalanan Jakarta.

Sekitar pukul 12.30 WIB mereka tiba di tujuan. Tank-tank berjejer di kanan kiri jalan menjelang Kompleks Taman Makam Pahlawan.

Formasi itu penghormatan pada iringan kereta merta yang membawa tujuh Pahlawan Revolusi.

"Para jenazah diturunkan dari kendaraan-kendaraan panser yang membawa mereka ke tempat istirahat terakhir," tulis Harian Kompas.

Tujuh peti jenazah berbalut bendera merah putih diletakkan di atas panser yang tak lain FV603 Saracen.

Jenazah Jenderal Anumerta Ahmad Yani dan Mayjen Anumerta Sutojo Siswomihardjo berada di antara tujuh jenazah Pahlawan Revolusi yang dimakamkan hari itu.

"Panser-panser ini adalah peralatan yang dibeli Bapak dalam Misi Yani," kenang Amelia Ahmad Yani dalam buku Profil Seorang Prajurit TNI.

Di London, pada 1959, keduanya mungkin tak menyadari tengah membeli kereta merta yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir tujuh tahun kemudian.

 

3 dari 8 halaman

Letjen (Anumerta) Suprapto

Letnan Jenderal TNI Anumerta R Suprapto, seorang pahlawan revolusi Indonesia yang menjadi korban dalam G30SPKI pada 1965 dan kini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Pria yang lahir pada 24 Agustus 1920 ini menyelesaikan pendidikan di sekolah MULO yang setara dengan SLTP dan AMS yang setara dengan SLTA sekarang pada tahun 1941.

Suprapto kemudian memilih untuk masuk ke sekolah militer Belanda yang bernama Koninklijke Militaire Akademie di Bandung.

Akan tetapi, Suprapto tidak menyelesaikan pendidikan militernya dikarenakan oleh serbuan Jepang ke Indonesia. Ia bahkan sempat menjadi tahanan Jepang pada saat itu, namun Suprapto berhasil melarikan diri.

Di masa awal kemerdekaan Indonesia, Suprapto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Ia juga turut serta dalam pertempuran melawan Jepang di Cilacap dan berhasil melucuti senjata para tentara Jepang.

Pria asal Purwokerto ini juga pernah diangkat menjadi ajudan dari Panglima Besar Sudirman pada 1946.

Pada September 1949, ia lalu diangkat menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (TST) IV/Diponegoro di Semarang dan pada 1951 pindah ke Markas Besar TNI di Jakarta sebagai Staf Angkatan Darat.

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, Suprapto yang saat itu tidak bisa tidur karena sakit gigi didatangi oleh sekawanan orang.

Mereka mengaku sebagai pengawal kepresidenan (Cakrabirawa) yang mengatakan bahwa ia dipanggil oleh Presiden Sukarno untuk menghadap.

Suprapto kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, daerah pinggiran kota Jakarta, bersama dengan 6 orang lainnya.

Malam harinya, Jendral Suprapto dan keenam orang lainnya ditembak mati dan dilemparkan ke dalam sebuah sumur tua.

Baru pada 5 Oktober, jenazah para korban pembunuhan tersebut bisa dikeluarkan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Di hari itu juga, Presiden Sukarno mengeluarkan Kepres nomor 111/KOTI/1965 yang meresmikan Suprapto bersama korban Lubang Buaya yang lain sebagai Pahlawan Revolusi.

 

4 dari 8 halaman

Mayjen (Anumerta) MT Haryono

Jalan MT Haryono mungkin sering Anda dengar. Jalan ini diambil dari nama salah satu pahlawan Indonesia.

Mayjen MT Haryono merupakan salah satu Pahlawan Revolusi Indonesia. Tak hanya di Jakarta, nama jalan tersebut juga ada di daerah Mantrijeron, Yogyakarta dan Jawa Timur.

MT Haryono memiliki nama lengkap Mas Tirtodarmo Haryono. Ia lahir pada 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. Ketika Belanda masih menguasai Indonesia, MT. Haryono menempuh pendidikan di berbagai tempat.

Ketika awal masa sekolah, ia masuk di Eurospeesch Lagere School (ELS) pendidikan setingkat sekolah dasar yang merupakan sekolah bentukan pemerintah Belanda.

Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan setingkat sekolah umum di Hoogere Burgerschool (HBS), yang juga sekolah bentukan Belanda.

Kemudian, ketika Jepang menguasai Indonesia setelah Belanda, MT Haryono masuk di sekolah kedokteran Ika Dai Gakko, tetapi tidak sampai selesai.

Singkat cerita, ketika kemerdekaan RI berkumandang, MT Haryono yang sedang berada di Jakarta bergabung dengan pemuda-pemuda lainnya demi mempertahankan Indonesia.

Semangatnya tersebut membawa ia berserikat dengan masuk ke organisasi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pada awal pengangkatannya, ia menduduki jabatan sebagai Walikota di TKR. Prestasinya yang semakin gemilang, membuat MT Haryono berkali-kali naik pangkat hingga mendapatkan jabatan Letnan Jenderal.

Dan pada peristiwa G30S/PKI, MT Haryono menjadi salah satu korban dari insiden di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

 

5 dari 8 halaman

Letjen (Anumerta) Siswondo Parman

Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman (S Parman) dan Ir Sakirman lahir dari rahim ibu yang sama. Namun, ideologi dan keyakinan membuat mereka berada dalam garis yang berbeda.

S Parman merupakan salah seorang Pahlawan Revolusi dalam G30S. Ada pun sang kakak, Sakirman, merupakan anggota di Politbiro CC PKI, semacam dewan penasihat partai.

Meski seorang seorang insinyur sipil, dia pernah menyandang pangkat letnan kolonel pada awal kemerdekaan.

Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan menulis, Sakirman bersama DN Aidit, Lukman, dan Sidik Kertapati sempat bergabung dalam Barisan Pelopor Istimewa, semacam pengawal pribadi Bung Karno pada masa pendudukan Jepang.

Sementara, S Parman merupakan tentara yang brilian dalam bidang intelijen. Berpangkat terakhir sebagai Mayor Jenderal, Parman sempat mengenyam pendidikan di Koninklijke Militaire Academie di Breda, Belanda.

Di masa mudanya, pria kelahiran Wonosobo, 4 Agustus 1918 itu juga terlibat dalam Agresi Militer II. Kala itu, Parman ikut bergerilya di luar kota.

Di masa pendudukan Jepang, dia juga pernah ditempatkan sebagai penerjemah pemerintah Jepang untuk bahasa Inggris.

Meski membantu Jepang, rasa nasionalisme Parman tetap tinggi. Dia disebut terus berhubungan dengan teman-temannya yang berjuang melalui gerakan bawah tanah.

Parman dan Sakirman menjadi seteru politik yang nyata. Satu TNI, satu PKI. Fakta ini membuat seorang indonesianis asal Amerika Serikat, Benedict Anderson, yang sempat bertemu Parman, menjadi heran.

"Si kakak adalah anggota Politbiro PKI, sementara adiknya Kepala Intelijen Angkatan Darat. Sulit membayangkan hal ini terjadi di Barat," ujar Ben Anderson dalam memoarnya Hidup di Luar Tempurung. Jabatan resmi Parman adalah Asisten I/Intelijen Menpangad.

Ketika bertemu di Jakarta, Parman sempat mengira Ben sebagai agen CIA.

"Karena ia sesumbar punya mata-mata hebat dalam tubuh PKI sehingga dalam hitungan jam, ia bisa tahu keputusan-keputusan Politbiro," kenang Ben.

Sebagai salah satu elite di PKI, Sakirman berjuang keras dan berupaya meyakinkan Presiden Sukarno agar segera dibentuk Angkatan kelima yang terdiri dari kaum Buruh dan Tani yang dipersenjatai.

Berbeda dengan adiknya S Parman. Saat isu mengenai pembentukan Angkatan Kelima mencuat, Parman justru menjadi salah satu yang terdepan menolak. Sebagai seorang petinggi di intelijen Angkatan Darat, Parman menganggap keberadaan Angkatan Kelima malah memicu perang saudara.

Pada 1 Oktober 1965 malam, melalui sebuah operasi senyap, enam Jenderal senior, termasuk S Parman dan beberapa orang lainnya diculik pasukan Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden, yang loyal kepada PKI.

Di Lubang Buaya, Parman mengembuskan napas terakhir. Jasadnya ditemukan 4 Oktober 1965 dan dimakamkan pada keesokan harinya di TMP Kalibata.

 

6 dari 8 halaman

Mayjen (Anumerta) DI Panjaitan

Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan atau DI Panjaitan adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang meninggal di usia muda yakni 40 tahun.

Meski demikian, perjuangan DI Panjaitan dalam mempertahankan Tanah Air tak bisa dianggap remeh dan patut diacungi jempol.

DI Panjaitan adalah sosok pahlawan yang pernah mengenyam bangku kuliah di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat.

Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI.

DI Panjaitan menduduki jabatan sebagai komandan batalyon di TKR yang kemudian menjadi KOmandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada 1948. Setelah itu menjabat sebagai Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.

Jabatan sebagai pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pun berhasil diraihnya ketika Agresi Militer Belanda ke II terjadi.

Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, beliau diangkat kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan yang kemudian saat dipindah ke Palembang menjabat Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.

Usai pulang menuntut ilmu di Amerika Serikat, DI Panjaitan membongkar rahasia PKI akan pengiriman senjata dari Republik Rakyat China yang dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan.

Senjata-senjata tersebut diperkirakan akan digunakan oleh PKI untuk melancarkan aksi pemberontakan.

Aksi di Panjaitan atas pembongkaran rahasia PKI menyulut api kemarahan dari pihak PKI dan akhirnya pada 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September datang ke rumah Panjaitan.

Ketika DI Panjaitan berusaha untuk melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal dunia. Mayatnya kemudian dibawa dan dibuang di Lubang Buaya. Lalu pada 4 Oktober, mayat Panjaitan diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta.

Panjaitan mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia berkat keberaniannya membela negara.

 

7 dari 8 halaman

Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomihardjo

Sutoyo Siswomiharjo mengecap pendidikan HIS dan AMS di Semarang. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Balai Pendidikan Pegawai Negeri di Jakarta.

Sebelum menjadi tentara, Sutoyo bertugas sebagai Pegawai Menengah/III di Kabupaten Purworejo.

Karirnya di bidang militer dimulai dengan menjabat sebagai Polisi Tentara saat perjuangan kemerdekaan 1945.

Setelah itu karirnya terus menanjak sehingga pada 1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD. Lalu pada 1964 dinaikkan pangkatnya menjadi Brigjen.

Pak Toyo, panggilan akrab Sutoyo, dikenal masyarakat Indonesia saat dirinya menjadi korban G30S/PKI pada 1 Oktober 1965.

Menjelang peristiwa tersebut Pak Toyo mengalami beberapa firasat yang tidak enak. Namun di tengah perasaan kurang enak itu, dia memerintahkan untuk membuat rencana peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1965 secara cermat kepada ajudannya.

Firasat itu ternyata terbukti pada 1 Oktober jam 04.00 Brigjen TNI Sutoyo diculik oleh pasukan yang dipimpin oleh Serma Surono dari Men Cakrabirawa dengan kekuatan 1 peleton.

Dengan todongan bayonet, mereka menanyakan kepada pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju kamar tengah.

Setelah pintu dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi dan Praka Sumardi masuk ke dalam rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden.

Kedua orang itu membawa Brigjen TNI Sutoyo ke luar rumah sampai pintu pekarangan diserahkan pada Serda Sudibyo.

Dengan diapit oleh Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi, Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar pekarangan meninggalkan tempat untuk selanjutnya dibawa menuju Lubang Buaya.

Pak Toyo gugur dianiaya di tempat tersebut dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.

 

8 dari 8 halaman

Letnan Satu Corps Zeni (Anumerta) Pierre Andreas Tendean

Letnan Satu Corps Zeni Pierre Andreas Tendean, atau lebih dikenal dengan Pierre Tendean, merupakan ajudan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab) Jenderal AH Nasution.

Saat Kasab Jenderal AH Nasution yang kala itu menjadi Menhankam sedang memberikan ceramah di depan sebuah kampus, para mahasiswi tak bisa memalingkan matanya dari podium.

Rupanya, ada Pierre Tendean, pria berkulit putih dan bertubuh atletis yang berdiri di belakang AH Nasution. Pierre Tendean memang dikenal ganteng, hingga di kalangan mahasiswi ada sebuah lelucon.

"Telinga untuk Jenderal Nasution, tapi mata untuk Letnan Tendean," kata para mahasiswi kala itu.

Saat menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD), Pierre Tendean juga membuat mojang Bandung terpesona.

Bahkan, ia dijuluki Robert Wagner dari Panorama. Robert Wagner adalah bintang film terkenal pada era 1950-an, sementara Panorama adalah nama daerah di Bandung tempat ATEKAD berlokasi.

Namun, sang adik Roosdiawati mengingat, tak ada gadis yang dipacari kakaknya saat sekolah di ATEKAD. Pierre kelihatan lebih serius menekuni sekolah militernya daripada jalan-jalan dengan para mahasiswi itu.

Pendidikan di ATEKAD menitikberatkan pada bidang konstruksi dan teknik sipil selain bidang kemiliteran. Lama pendidikan untuk menjadi perwira zeni adalah empat tahun.

Jadi tentara memang pilihan hidup Pierre Tendean. Setelah lulus SMA di Semarang, dia enggan mengikuti jejak ayahnya Dr AL Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa.

Konon kabarnya, Pierre sengaja mengerjakan tes asal-asalan saat mengikuti ujian Fakultas Kedokteran agar tak lolos.

Namun ketika mendaftar akademi militer, Pierre mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ia pun berasil lolos menjadi taruna angkatan darat pada 1958. Walau pada saat itu yang mendukung Pierre hanya Mitzi, kakak sulungnya.

Ibu Pierre adalah Maria Elisabeth Cornet, seorang wanita Indonesia berdarah Prancis. Dari ibunya, Pierre memperoleh kulit putih dan tubuh tinggi.

Pierre Tendean memiki 2 saudara kandung, yaitu kakaknya Mitzi Farre dan adiknya Roosdiawati. Ia merupakan anak laki-laki satu-satunya.

Operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera menjadi pengalaman tempur pertama bagi Pierre. Saat itu Pierre masih Kopral Taruna. Dia diberi kesempatan magang untuk merasakan medan pertempuran sesungguhnya.

Pada 1962, Pierre lulus dari ATEKAD dan menyandang pangkat Letnan Dua. Jabatan pertamanya sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2/Kodam II di Medan.

Pierre tak lama menjadi komandan peleton. Saat persiapan Dwi Komando Rakyat, konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris, dia ditugaskan mengikuti sekolah intelijen di Bogor.

Pierre kemudian ditugaskan di garis depan untuk menyusup ke Singapura dan Johor menyamar sebagai turis.

Dengan postur seperti bule, imigrasi tak curiga pria ini sebenarnya intelijen yang sedang mengumpulkan data.

Tugas menantang bahaya seperti ini rupanya disenangi Pierre. Namun, sang ibu selalu khawatir. Dia meminta anaknya tak lagi bertugas di garis depan.

Akhirnya, Pierre mau menerima tugas sebagai ajudan Menhankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution. Dia bertugas mulai 15 April 1965.

Nasution dan istri memang sudah kenal dekat dengan keluarga Tendean. Ibu Nasution bahkan sudah mengenal Pierre sejak kecil. Selama di Bandung, Pierre juga sempat tinggal di kediaman keluarga Nasution.

Faktanya, tak hanya Jenderal Nasution yang ingin Pierre menjadi ajudannya. Jenderal Hartawan dan Jenderal Dandi Kadarsan juga menginginkan Pierre Tendean.

"Hanya untuk satu tahun saja, setelah itu saya akan minta dipindah," kata Pierre pada salah satu rekannya.

Pierre agaknya lebih nyaman menjadi perwira tempur lapangan daripada menjadi ajudan pejabat yang harus kental memegang protokoler.

Namun, baru enam bulan bertugas, terjadilah tragedi maut G30S/PKI. Sekelompok tentara Tjakrabirawa menerobos masuk ke kediaman Jenderal AH Nasution.

Ironisnya, Pierre saat itu sebenarnya sudah turun piket. Dia sudah berencana pulang ke Semarang untuk merayakan hari ulang tahun ibunya yang jatuh pada tepat 30 September. Pada 30 September sore, dia berencana langsung pulang ke Semarang, tapi dicegah keluarga Nasution.

"Besok pagi saja. Bermalam dulu, tak aman pergi malam-malam," ujar Edi Suparno, penjaga Museum Jenderal Besar AH Nasution, menirukan suasana sore itu.

Lantas, ketika jelang tengah malam, Pierre bangun karena mendengar suara ribut. Seorang anak Nasution berlari untuk berlindung ke kamar paviliunnya.

Pierre mengenakan jaket dan keluar menyandang senapan. Tak jelas, di mana ajudan pengganti yang seharusnya bertugas menggantikan Pierre pada malam itu.

"Siapa di sana. Letakkan senjata!" bentak para penculik sambil menodongkan senjata.

"Saya Nasution," katanya gagah pada para penculik.

Sementara itu Jenderal Nasution bisa menyelamatkan diri dengan cara melompat tembok ke Kedutaan Besar Irak yang berada di sebelah rumahnya.

Pierre segera diikat dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana sudah berkumpul tentara dan pemuda rakyat pendukung Gerakan 30 September.

Pierre sempat melawan saat mau ditembak. Akhirnya dia didudukkan paksa dan ditembak empat kali dari belakang.

Jenazah Pierre dimasukkan paling akhir ke sumur tua itu. Sebelum ditutup tanah, seorang tentara merah memberondongkan senjata ke dalam lubang untuk memastikan semua korban tewas.

Usia Pierre baru 26 tahun saat dibunuh. Dia menjadi korban termuda dan satu-satunya perwira pertama yang jadi korban penculikan gerombolan Letkol Untung.

Anak laki-laki satu-satunya kesayangan sang Ibu pun tak pernah lagi pulang ke Semarang.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.