Sukses

YLKI Desak Pemerintah Perbesar Gambar Peringatan Kesehatan di Bungkus Rokok

Ukuran gambar peringatan kesehatan di bungkus rokok di Indonesia merupakan yang terkecil di level Asia, yakni hanya 40 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam peringatan Hari Hak untuk Tahu Sedunia atau (TheInternational Right to Know Day atau RTKD) pada 28 September, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak pemerintah memperbesar peringatan kesehatan bergambar (Pictorial Health Warning/ PHW) yang saat ini sebesar 40% di bungkus rokok.

Selain itu, YLKI juga meminta pemerintah segera mengamandemen PP 109 Tahun 2012 guna melindungi konsumen utamanya anak dari bahaya zat adiktif merokok. Sebab, sudah dua tahun proses revisinya tertunda.

YLKI mengacu pada UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pada pasal 4 disebutkan bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dan berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur dalam hal ini bahaya produk rokok.

Besaran PHW di Indonesia merupakan yang terkecil di level Asia, yakni hanya 40 persen. Berbeda jauh apabila dibandingkan dengan Malaysia yang sudah 55 persen, Singapura 75 persen bahkan Timor Leste 92,5 persen.

Kecemasan YLKI dengan ukuran PHW yang terlalu kecil dapat mengurangi efektivitas penyampaian informasi bahaya merokok kepada konsumen. Peringatan ini menjadi refleksi terhadap keberadaan regulasi pengendalian tembakau di Indonesia yaitu PP 109/ 2012.

"Kaitannya dengan upaya penurunan perokok di Indonesia, terutama konsumen anak, pemerintah telah memberikan informasi bahaya merokok melalui pencantuman peringatan kesehatan bergambar (Pictorial Health Warning atau PHW) pada bungkus rokok," terang Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam rilis yang diterima wartawan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Realitanya

"Namun apa realitanya? Sudah ukuran PHW-nya kecil, tertutupi pita cukai pula, sehingga masih jauh dari kata efektif menginformasi konsumen akan bahayamerokok," tambahnya.

Tulus berpendapat, PP 109/ 2012 sudah tidak lagi efektif untuk melindungi masyarakat konsumen, baik konsumen perokok aktif, pasif maupun calon perokok pemula, terutama kelompok anak. Pasalnya, prevalensi perokok anak terus melonjak tinggi sejak 2013 sebesar 7,2% menjadi 9,1% pada 2018.

"Target yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2014-2019 bahwa perokok anak hanya 5,4 persen hanyalah coretan belaka alias gagal," ucap Tulus.

3 dari 3 halaman

Prevalensi Turun

Pemerintah sendiri sudah membuat target baru yakni prevalensi perokok anak di Indonesia turun menjadi 8,7 persen. Tapi, prevalensi yang ada hanya turun sebesar 0,4 persen, meski tetap harus diapresiasi.

"Perbesaran ukuran PHW cara yang paling efektif dan efisien sebab pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun," tutur dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.