Sukses

Deretan Fakta Terkait Belajar Online Sebabkan Anak SD Meninggal Dunia

Ibu berinisial LH (26) tega membunuh putrinya lantaran kesal sang anak sulit menerima pembelajaran saat belajar online.

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi Corona Covid-19 membuat sejumlah aktivitas berubah tak seperti biasa. Salah satunya adalah anak-anak sekolah yang harus belajar online dari rumah.

Namun, permasalahan baru justru muncul akibat belajar online. Misalnya saja ketidaksabaran orangtua mendampingi anaknya saat jam pelajaran.

Seperti yang terjadi pada seorang ibu berinisial LH (26). Ia tega membunuh putrinya lantaran kesal sang anak sulit menerima pembelajaran saat belajar online.

Jenazah anak kecil bernama KS (8) itu ditemukan warga terkubur di TPU Gunung Keneng, Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak, Banten dengan pakaian lengkap.

"Pelaku ini memukul lebih dari lima kali, 26 Agustus. Dari pengakuan pelaku (korban) lagi daring (belajar online) dengan sekolah. Kelas 1 SD korban ini," kata Kasatreskrim Polres Lebak, AKP David Adhi Kusuma, Selasa, 15 September 2020.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun angkat bicara. KPAI berduka atas meninggalnya KS yang menjadi korban kekerasan orangtuanya sendiri akibat kesulitan belajar online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).

"Pembelajaran jarak jauh memang membutuhkan bimbingan dan bantuan orangtua di rumah, menjadi tugas ayah dan ibu untuk mendampingi anak belajar dari rumah. Yang utama adalah keteraturan belajar, tidak harus dituntut bisa semua mata pelajaran dan tugas untuk diselesaikan dengan benar atau sempurna," ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tulis, Rabu, 16 September 2020.

Berikut deeretan fakta terkait belajar online yang sebabkan seorang anak meninggal dunia dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Jenazah Ditemukan Warga

Warga Desa Cipalabuh, Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak, Banten, digegerkan dengan penemuan jenazah anak kecil bernama KS (8) yang terkubur di TPU Gunung Keneng dengan pakaian lengkap.

Jenazah korban ditemukan warga sekitar pada Sabtu, 12 September 2020 yang curiga ada gundukan kuburan masih baru.

Kemudian masyarakat bersama pihak kepolisian sekitar berinisiatif membongkar dan ditemukan jenazah KS.

Ternyata, korban yang masih duduk di kelas 1 SD itu meninggal usai dianiaya ibunya, LH (26).

 

3 dari 6 halaman

Tewas Dianiaya Ibu Kandung

Pelaku LH tega membunuh putrinya lantaran kesal sang anak sulit menerima pembelajaran saat belajar online.

"Pelaku ini memukul lebih dari lima kali, 26 Agustus. Dari pengakuan pelaku (korban) lagi daring dengan sekolah. Kelas 1 SD korban ini," kata Kasatreskrim Polres Lebak, AKP David Adhi Kusuma, Selasa, 15 September 2020.

Lantaran sulit menerima pembelajaran daring, sang ibu merasa kesal kemudian menganiaya anaknya.

Awalnya hanya mencubit, kemudian memukul tubuhnya menggunakan tangan, gagang sapu, hingga mendorongnya dan kepalanya terbentur lantai.

 

4 dari 6 halaman

Panik dan Kuburkan Anaknya

David menjelaskan, sang ayah IS (27) yang datang ke kontrakannya di daerah Kreo, Tangerang, Banten mengaku kaget putrinya dalam kondisi lemas.

"Kemudian LH dan IS berniat membawa KS dan satu anaknya lagi jalan-jalan keluar rumah dengan niat mencari udara segar dan membawa ke rumah sakit menggunakan sepeda motor," papar dia.

Nahas, di perjalanan KS mengembuskan nafas terakhir. Karena panik, LH dan IS membawa jenazah putri kandungnya itu ke Cijaku, Kabupaten Lebak, Banten, untuk dimakamkan dengan meminjam cangkul dari warga sekitar.

"Kemudian berupaya menghilangkan jejak dengan menguburkan korban. Di mana, di TPU di Cijaku itu ada neneknya, alamatnya dari paman si ibunya ini. Setelah menguburkan jenazah di wilayah Banten, mereka pulang dan pindah kontrakan," terang David.

 

5 dari 6 halaman

KPAI Angkat Bicara

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya seorang anak berusia 8 tahun yang menjadi korban kekerasan orangtuanya sendiri akibat kesulitan belajar online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Sang anak diketahui mendapatkan beberapa pukulan dari orangtuanya saat belajar online di rumah.

"Pembelajaran jarak jauh memang membutuhkan bimbingan dan bantuan orangtua di rumah, menjadi tugas ayah dan ibu untuk mendampingi anak belajar dari rumah. Yang utama adalah keteraturan belajar, tidak harus dituntut bisa semua mata pelajaran dan tugas untuk diselesaikan dengan benar atau sempurna," kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tulis, Rabu, 16 September 2020.

Menurut Retno, kesabaran orangtua membimbing anak-anaknya belajar di rumah selama pandemi Covid-19 menjadi modal utama agar anak tetap semangat dan senang belajar.

Jika selalu dibentak apalagi dipukul, anak justru akan mengalami kesulitan memahami pelajaran.

"KPAI sangat prihatin atas perbuatan kedua orangtua korban yang justru membawa jenazah korban dengan kardus ke Lebak dan dimakamkan sendiri secara diam-diam di TPU Desa Cipalabuh," kata dia.

Diketahui jenazah korban tidak dimakamkan secara layak dan sesuai ketentuan agama. Hal tersebut dilakukan demi menutupi kesalahan pelaku yang merupakan orangtua kandung korban.

"Dalam UU 35/2014 tentang perlindungan Anak, ada ketentuan jika pelaku kekerasan adalah orang terdekat korban, maka pelaku bisa mendapat pemberatan hukuman sebanyak 1/3. Dalam kasus ini tuntutan hukuman maksimal 15 tahun dan jika diperberat 1/3 menjadi 20 tahun," ucap Retno.

KPAI mengingatkan para orangtua dan para guru selalu membangun komunikasi yang baik selama kegiatan Belajar dari Rumah (BDR). Peran guru yang digantikan orangtua siswa haruslah dilakukan dengan memperhatikan tumbuh kembang dan kemampuan anak.

"Guru juga jangan memberikan penugasan yang terlalu berat, apalagi pada anak SD kelas 1 – 3 yang mungkin saja baru belajar membaca dan belajar memahami bacaan. Perlu dikomunikasi kondisi dan kesulitan yang dihadapi anak, karena setiap anak tidak sama," ujar Retno.

Retno juga mengingatkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak juga berkorelasi pada perkembangan regulasi emosi anak dan perilakunya yang buruk di kemudian hari.

"Sebagai contoh, anak kehilangan kemampuan untuk menenangkan dirinya, menghindari kejadian-kejadian provokatif dan stimulus yang memicu perasaan sedih dan marah, dan menahan diri dari sikap kasar yang didorong oleh emosi yang tidak terkendali," jelas Retno.

6 dari 6 halaman

DPR Menanggapi

Komisi X DPR melihat serius permasalahan yang ditimbulkan dari kebijakan pembelajaran jarak jauh ini. Terlebih hingga menelan korban jiwa.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mengaku prihatin terhadap kejadian tersebut. Menurut dia, kasus itu menunjukkan bahwa metode pembelajaran jarak jauh banyak memberikan dampak negatif dan membutuhkan penanganan yang lebih serius dari pemangku kepentingan (stakeholder) terkait.

“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Dinas Pendidikan (Disdik) di seluruh Indonesia harus benar-benar memantau pelaksanaan PJJ karena banyaknya kendala yang bisa memberikan tekanan psikis terhadap siswa, orangtua siswa, maupun para guru," kata Syaiful dalam keterangan tulis.

"Kasus pembunuhan anak oleh seorang ibu yang kesal akibat anak kesulitan mengikuti PJJ harus menjadi peringatan keras bagi kita semua,” sambungnya.

Dia menjelaskan, model pembelajaran jarak jauh memang mempunyai banyak kendala, baik dari rendahnya literasi digital di sebagian besar ekosistem pendidikan nasional, keterbatasan kuota data, belum solidnya metode PJJ, hingga tidak meratanya sinyal internet di Indonesia. 

“Berbagai kendala ini menciptakan tekanan psikologis yang lumayan besar bagi para siswa, guru, dan orangtua siswa,” katanya.

Hal tersebut, lanjut Syaiful, diperparah dengan kondisi sosial-ekonomi yang kian berat akibat dampak pandemi Covid-19. Banyaknya pemutusan hubungan kerja, pemotongan gaji, hingga hilangnya kesempatan berusaha yang dialami sebagian orangtua siswa juga membuat beban hidup kian berat.

“Maka bisa jadi berbagai tekanan tersebut menciptakan ledakan emosional jika dipicu hal-hal yang terkesan sepele, seperti anak yang tidak cepat mengerti saat melakukan pembelajaran jarak jauh,” katanya.

Politikus PKB ini berharap agar pihak sekolah memberikan pemahaman kepada para guru dan orangtua siswa terkait turunnya beban kompetensi dasar yang harus dipenuhi siswa selama proses pembelajaran jarak jauh.

Hal ini penting, sehingga guru dan orangtua siswa tidak melulu mengejar pemenuhan beban kompetensi selama masa pandemi.

“Pada praktek PJJ selama ini guru hanya memberikan beban baik berupa hafalan maupun tugas menjawab pertanyaan begitu saja kepada siswa. Kondisi ini membuat orangtua siswa kerap kali stres karena harus menyetorkan tugas tersebut baik melalui video maupun gambar kepada guru. Harusnya pola ini tidak lagi terjadi karena sudah ada modul-modul PJJ yang disediakan oleh Kemendikbud,” katanya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.