Sukses

Ketua MA Perintahkan Cabut Larangan Ambil Gambar saat Sidang

Hal ini telah dibenarkan oleh Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro. Begini penjelasannya.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Hatta Ali memerintahkan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Prim Haryadi untuk mencabut surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.

Hal ini telah dibenarkan oleh Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro.

"Benar mas," ujar Andi saat dikonfirmasi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (28/2/2020).

Menurut dia, Ketua MA Hatta Ali dan jajaran Mahkamah Agungtelah meneliti lebih dalam surat edaran tersebut. Setelah diteliti, Hatta Ali memerintahkan untuk mencabutnya.

"Ternyata setelah diteliti itu sudah diatur, dan itu sudah diperintahkan untuk mencabut," kata Andi.

Dia menjelaskan, dasar pencabutan surat edaran tersebut lantaran sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

"Saya sudah baca. Karena itu sudah diatur KUHAP, sudah diatur dalam PP 27 tahun 1983 itu kan dalam rangka ketertiban persidangan untuk kelancaran tertibnya persidangan," kata Jubir Mahkamah Agung.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kekhawatiran

Sebelumnya, SEMA Nomor 2 Tahun 2020 mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Salah satunya dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Menurut Ketua YLBHI, SEMA tersebut hanya akan menguntungkan mafia peradilan.

"YLBHI berpendapat bahwa Larangan memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin ketua pengadilan akan memperparah mafia peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak ditemukan," ujar dia dalam keterangan pers, Kamis (27/2/2020).

Asfinawati mengatakan, pelarangan mengambil gambar dan merekam suara bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.

"Apalagi terdapat ancaman pemidanaan di dalamnya. Ancaman pidana yang ada dalam surat edaran tersebut sudah terdapat dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak pada tempatnya dicantumkan dalam eurat edaran ini," kata dia.

Selain itu, dalam surat edaran itu juga menyebutkan bahwa mengambil gambar, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan mengambil gambar, merekam, dan meliput tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang.

"Ketua Pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu," tegasnya.

Berdasarkan catatan YLBHI, selama ini rekaman sidang memiliki beberapa manfaat, di antaranya sebagai bukti keterangan-keterangan dalam sidang. Kemudian sebagai bukti sikap majelis hakim dan para pihak di dalam persidangan.

"Rekaman persidangan, baik audio maupun video juga membuat hakim dan para pihak merasa diawasi. Setidaknya hakim dan para pihak akan berpikir dua kali apabila mereka hendak bertindak tidak patut atau melanggar hukum acara karena akan ada bukti dari rekaman audio dan video tersebut," kata Asfinawati.

Berdasarkan beberapa poin di atas, Asfinawati menyatakan YLBHI mengecam larangan MA untuk memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan.

"Meminta perihal larangan memfoto dan merekam persidangan dicabut dari SE Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum No. 2/2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan," kata dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.