Sukses

Banyak Pasal Bermasalah, DPR Diminta Tunda Pengesahan RKUHP

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus dikebut oleh DPR.

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus dikebut oleh DPR. Direktur Imparsial Al Araf, minta parlemen untuk menundanya, lantaran banyak pasal bermasalah.

"Kami menilai RKUHP mengandung pasal-pasal bermasalah yang mengancam kebebasan sipil dan bertentangan dengan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi," ucap Al Araf dalam keterangannya, Jumat (20/9/2019).

Dia mencontohkan, masih adanya pasal penghinaan terhadap Presiden yakni 218-220, kemudian kejahatan HAM, pasal 599-600, serta yang lainnya.

"Pembahasan RKUHP sebaiknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa, mengingat RKUHP menjadi tulang punggung penegakan hukum pidana yang berdampak secara luas kepada seluruh masyarakat," jelas Al Araf.

Dengan masih banyaknya poin-poin yang bermasalah, maka sebaiknya pengesahan RKUHP pada sidang paripurna DPR RI harus ditunda.

"Untuk menyelamatkan demokrasi dan reformasi hukum saat ini. Pembahasan RKUHP sebaiknya dibahas oleh anggota DPR terpilih periode 2019-2024," pungkasnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Masih Pakai Hukum Belanda

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly berharap pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bisa rampung pada 2019. Sebab, hukum yang digunakan hingga saat ini merupakan warisan dari masa kolonial Belanda dan sudah perlu direvisi sesuai perkembangan zaman.

"Saya berharap tahun ini bisa kita selesaikan. Malu kita sebagai bangsa kalau kita masih menggunakan hukum pidana yang 100 tahun lalu masuk 1915, masuk Indonesia sekarang sudah 100 berapa tahun," tutur Yasonna di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (28/3/2019).

Untuk itu, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menggelar seminar nasional arah kebijakan pembaharuan hukum pidana bertajuk 'Sumbangan Pemikiran Multidisiplin Ilmu Terhadap Perkembangan Hukum Pidana' dan mengundang banyak pakar.

"Nah maka saya kira ini merupakan kontribusi. Ini multidisiplin berbagai ilmu pengetahuan, kriminologi, IT, psikologi, dan lain-lain, semua kita ambil," jelas dia.

Meski hukum pidana warisan zaman kolonial Belanda akan direvisi, lanjut Yasonna, pemerintah juga mesti berkaca dengan produk undang-undang yang digunakan hingga ratusan tahun itu. Perancang pembaharuan KUHP juga mesti visioner.

"Menjangkau keutuhan hukum nasional, sistem nilai kita harus terakomodasi. Nilai masyarakat harus dianut dalam hukum kita. Tapi pada saat yang sama jangkauan ke depannya, prediksi ke depannya, jenis-jenis perbuatan pidana yang mungkin terjadi ke depan itu seperti apa," kata Yasonna.

"Maka jangan sampai hukum pidana kita baru masuk 20 tahun sudah harus direvisi lagi. Maka ini betul-betul yang sangat kita harapkan bersama," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.