Sukses

HEADLINE: PTUN Izinkan Reklamasi Pulau H, Peluru Pengembang Lawan Pemprov DKI?

Gubernur Anies Baswedan menyatakan siap melawan para pengembang. Ia pun sudah menyiapkan berbagai dalil dalam materi gugatan banding.

Liputan6.com, Jakarta - Keinginan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyetop proyek reklamasi Teluk Jakarta ternyata pupus di palu hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

PTUN Jakarta mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah tentang pencabutan izin pelaksanaan reklamasi Pulau H. Pencabutan izin ini merupakan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tertuang dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 1409 tahun 2018 tanggal 6 September 2018.

Dikutip dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara sipp.ptun-jakarta.go.id, amar putusan hakim menyatakan, eksepsi Anies tersebut ditolak.

"Menyatakan eksepsi dari tergugat tidak diterima," tulis situs tersebut, Senin (29/7/2019).

Dalam pokok perkara, pengadilan mengabulkan gugatan untuk seluruhnya. Selain itu pengadilan membatalkan Kepgub DKI nomor 1409 tahun 2018. Pengadilan juga mewajibkan DKI untuk mencabut keputusannya dan diwajibkan untuk memperpanjang proses izin SK Gubernur nomor 2637 tahun 2015 terkait izin reklamasi.

"Mewajibkan tergugat untuk memproses izin perpanjangan SK Gubernur DKI nomor 2637 tahu 2015 tentang pemberian izin reklamasi pulau H kepada PT Taman Harapan Indah," bunyi putusan tersebut.

Pengamat Tata Kota, Yayat Supriyatna berpandangan, putusan PTUN ini bisa membuat pengembang lain menggugat Pemprov DKI Jakarta, khususnya terkait kelanjutan proyek reklamasi Teluk Jakarta.

"Bakal muncul semua. Di situ lah kemampuan Pemprov untuk menunjukkan apakah tindakan yang dilakukan gubernur ini tepat atau tidak," kata Yayat saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Selasa (30/7/2019).

Yayat mengatakan, Anies harus bisa membuktikan di pengadilan banding bahwa tidak ada aturan yang dilanggar saat mencabut izin reklamasi. Sebab, dalam salah satu poin gugatannya, PT Taman Harapan Indah meminta majelis hakim mengabulkan gugatan pemohon, yakni menyatakan batal atau tidak sah keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1409 tahun 2018 tanggal 6 september 2018 tentang pencabutan keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2637 tahun 2015 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau H kepada PT Taman Harapan Indah.

"Gubernur harus menjelaskan atau melakukan peninjauan kembali atau PK (banding) untuk membuktikan dia tidak salah," ucap Yayat.

Yayat yakin, Anies dan tim biro hukum Pemprov DKI Jakarta sudah menyiapkan dalil untuk mematahkan putusan hakim PTUN. Ia memprediksi, Anies akan memasukan hak diskresi yang dimilikinya sebagai gubernur dalam materi gugatan.

"Diskresi itu adalah bentuk kebijakan atau keputusan atau perizinan yang dikeluarkan oleh pimpinan daerah, misalnya dengan pertimbangan-pertimbangan kekosongan hukum, kebijakan strategis penting, prioritas, kepentingan umum, dan sebagainya," terang Yayat.

Namun, Yayat menyebut bahwa masalah reklamasi yang tak kunjung selesai ini malah membuat ketidakpastian hukum bagi iklim usaha. Tentunya, kata dia, Pemprov DKI yang dirugikan atas situasi ini.

"Jadi kalau misalnya orang yang sudah dikasih izin oleh gubernur terdahulu, kemudian dibatalkan oleh gubernur sekarang dan seterusnya, kan bakalan bilang 'capek deh'. Yang mana sih yang benar ini. Apakah ganti gubernur, ganti kebijakan. Apakah izin yang sudah dikeluarkan itu sudah memberikan jaminan kepastian hukum usaha. Itu yang penting," tutur Yayat.

Yayat meminta, Pemprov DKI Jakarta belajar dan tidak mengulangi kesalahan dalam mengeluarkan izin serta kebijakan untuk pembangunan Ibu Kota. Tujuannya, agar pengusaha bisa dengan tenang berinvestasi di Jakarta.

"Jadi hikmah di balik peristiwa ini adalah mekanisme yang terkait masalah perizinan itu harus memiliki dasar hukum yang kuat. Kedua, transparan. Ketiga, kepastian. Jadi kalau misalnya dasar hukumnya lemah, tidak transparan, dan kepastiannya lemot, ya susah lah," kata Yayat.

PT Taman Harapan Indah mengajukan gugatan ini pada 18 Februari 2019. Ada 6 poin permohonan dalam gugatan yang diajukan perusahaan tersebut.

Pertama, meminta majelis hakim mengabulkan gugatan pemohon, yakni menyatakan batal atau tidak sah keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1409 tahun 2018 tanggal 6 september 2018 tentang pencabutan keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2637 tahun 2015 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau H kepada PT Taman Harapan Indah.

Kedua, meminta majelis hakim memerintahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut Keputusan Nomor 1409 tahun 2018 tanggal 6 september 2018 tentang pencabutan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2637 tahun 2015 tentang pemberian izin pelaksanaan reklamasi Pulau H kepada PT Taman Harapan Indah.

Ketiga, meminta pengadilan menyatakan Anies selaku tergugat tidak menyelesaikan keberatan penggugat sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 77 ayat 4, 5, dan ayat 7 jo pasal 78 ayat 4, 5 dan 6 UU Nomor 30 tahun 2014.

Keempat, meminta majelis hakim menyatakan secara hukum berdasarkan ketentuan pasal 77 ayat 5 UU Nomor 30 tahun 2014 bahwa keberatan penggugat dikabulkan.

Kelima, meminta majelis hakim menghukum dan/atau memerintahkan tergugat mengeluarkan keputusan untuk memenuhi ketentuan pasal 77 ayat 5 dan ayat 7 UU Nomor 30 tahun 2014 sesuai dengan permohonan keberatan penggugat tanggal 19 Desember 2018.

Keenam, meminta majelis hakim mewajibkan Gubernur DKI Jakarta selaku tergugat membayar biaya perkara yang timbul dari gugatan tersebut.

Infografis Anies Baswedan Vs Pengembang Reklamasi Pulau H. (Liputan6.com/Triyasni)

Di sisi lain, anggota DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengkritik kebijakan Anies yang mencabut izin proyek reklamasi. Sebab, aturan yang dikeluarkan Anies tersebut tidak jelas dan tidak sesuai ketentuan perundangan yang berlaku.

"Sebelum membuat kebijakan itu harus cermat, harus mengikuti seluruh alur yang ada. Artinya sebelum memberhentikan, SK reklamasi itu harus dikaji terlebih dahulu aspek hukumnya," tutur Gembong di gedung DPRD DKI Jakara, Selasa (30/7/2019).

Menurut Gembong, aturan reklamasi tak hanya berkaitan dengan urusan hukum saja, melainkan juga ada aspek bisnis di dalamnya. Ia mengatakan, para pengembang tidak mendapatkan kepastian dalam berbisnis di pulau reklamasi.

Padahal, sejak awal para pengembang sudah menggelontorkan dana besar di proyek reklamasi. Langkah itu pun sudah disetujui pemerintah dalam Keputusan Presiden (Kepres) No 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Gembong menyebut, rencana Anies yang mencabut izin reklamasi semata-mata hanya urusan politik, yakni menepati janji kampanye.

"Ya karena ketidakcermatan tadi. Lagi pula, pengembang ini kan warga pak Anies juga. Masa dia mau melawan warga," ucap Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Anies Melawan

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memastikan, akan melakukan perlawanan hukum terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugatan PT Taman Harapan Indah, selaku pengembang reklamasi pulau H.

"Sesudah kita menerima petikan resminya, kita akan merespons secara hukum juga. Tapi intinya kita enggak akan mundur. Kita menghormati pengadilan, tapi kita akan terus melawan pengembang yang berencana melanjutkan reklamasi," kata Anies di GOR Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Senin 29 Juli 2019.

Anies menyebut pihaknya akan mengajukan banding atas putusan tersebut, namun terlebih dahulu ia meneliti petikan amar putusan PTUN.

"Kita lihat nanti petikannya. Nanti kalau sudah ada petikannya, kita respons secara detail. Tapi yang jelas kami akan terus melawan pengembang yang mau melanjutkan reklamasi karena kita akan hentikan reklamasi itu," ucapnya.

Anies mengaku menghormati putusan PTUN Jakarta yang menganulir pencabutan izin reklamasi. Dia juga menghargai langkah pengembang yang menggugatnya melalui jalur hukum.

Meski begitu, kata Anies, Pemprov DKI tidak akan mendiamkan rencana pengembang melanjutkan reklamasi.

"Kami akan terus menempuh jalur hukum untuk menghentikan reklamasi. Jadi, pengembang yang rencana meneruskan, kami tidak akan diamkan," ucap mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, Yayan Yuhanah mengatakan, pihaknya sudah mendaftarkan banding atas putusan PTUN pada 18 Juli 2019.

Sejumlah poin memori banding juga sudah disiapkan, terutama soal keputusan Gubernur Anies Baswedan yang mencabut izin proyek reklamasi. Yayan menegaskan, pihaknya siap menghadapi para pengembang di Pengadilan Tinggi TUN.

"Ya nanti kami beberkan seputar itu, kenapa kami terbitkan (SK), kenapa kita benar," ungkap Yayan saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (30/7/2019).

Hanya saja, Yuyun enggan mengungkapkan lebih detail poin-poin yang menjadi senjata Pemprov DKI dalam menghadapi banding.

"Poin-poinnya enggak bisa dibicarakan dong, nanti bocor. Kan ini masih diperkarakan," singkat dia.

Sementara, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Mohamad Taufik mendukung langkah Pemprov DKI Jakarta yang mengajukan banding atas hasil putusan PTUN terkait proyek reklamasi. 

"Ya harus dong harus banding, sampai pada upaya hukum terakhir. Kalau enggak banding, malah kita nanti dipikir sekongkol," kata Taufik di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa (30/7/2019).

Taufik berpendapat, keputusan Anies mencabut izin reklamasi sudah tepat. Ia menganggap, langkah Anies sudah memperjuangkan keinginan warga pesisir DKI Jakarta yang menolak reklamasi.

"Saya kira apa yang dilakukan DKI juga sudah berdasarkan pertimbangan," ucap Taufik.

Taufik pun tak mempermasalahkan apabila ada pengembang lainnya yang menggugat Anies. Politikus Partai Gerindra ini mempersilakan pengembang lainnya untuk mengajukan gugatan ke PTUN.

"Kami enggak melarang menggugat. Kami tak melarang melakukan upaya hukum lain," terang Taufik.

3 dari 3 halaman

Digugat Pengembang Lain

Pengembang lain, yakni PT Agung Dinamika Perkasa juga menggugat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait pencabutan izin proyek reklamasi. PT Agung Dinamika Perkasa merupakan pengembang Pulau F.

Dalam situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara PTUN Jakarta, sipp.ptun-jakarta.go.id disebutkan bahwa PT Agung Dinamika Perkasa mendaftarkan gugatannya pada Jumat 26 Juli 2019 lalu dengan nomor perkara: 153/G/2019/PTUN.JKT. Status gugatan masih dalam tahap pemeriksaan persiapan.

PT Agung Dinamika Perkasa meminta hakim PTUN menyatakan batal atau tidak sahnya Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1409 tahun 2018 tertanggal 6 September 2018 perihal Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi sepanjang yang berhubungan dengan Keputusan Gubernur Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo.

Selain itu, juga mewajibkan tergugat dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1409 tahun 2018 tertanggal 6 September 2018 perihal Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi sepanjang yang berhubungan dengan Keputusan Gubernur Nomor 2268 Tahun 2015 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F Kepada PT Jakarta Propertindo.

Tak hanya PT Agung Dinamika Perkasa, Anies juga didugat oleh PT Jaladri Kartika Pakci, pemegang izin Pulau I. Gugatan tersebut didaftarkan pada Senin 27 Mei 2019 lalu dengan nomor perkara 113/G/2019/PTUN.JKT. Status gugatan ini masih dalam tahap persidangan.

PT Jaladri Kartika Pakci meminta hakim PTUN menyatakan batal atau tidak sahnya Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1409 tahun 2018 tertanggal 6 September 2018 perihal Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi.

Selain itu, juga mewajibkan tergugat dalam hal ini Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mencabut atau membatalkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1409 tahun 2018 tertanggal 6 September 2018 perihal Pencabutan Beberapa Keputusan Gubernur tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi.

Ada poin lainnya yang menjadi gugatan PT Jaladri Kartika Pakci, yakni menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) setiap harinya, apabila tergugat terlambat, lalai atau tidak melaksanakan putusan pengadilan, terhitung sejak tanggal, bulan, dan tahun putusan pengadilan dalam perkara ini telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.