Sukses

Mengintip Kegiatan Siswa Sekolah Sungai Project Child di Yogyakarta

Kelebihan dari kelas yang diajarkan yakni menggunakan Bahasa Inggris. Ini akan membantu keberanian komunikasi anak dengan WNA.

Liputan6.com, Yogyakarta - Project Child Indonesia di Yogyakarta merupakan salah satu organisasi yang menjadi bagian dari jaringan Satu Murid Satu Guru (SMSG). Project Child tersebut memilih pendidikan alternatif anak sebagai fokusnya. Organisasi itu memiliki beberapa program sosial, salah satunya Sekolah Sungai di kawasan Kali Winongo.

Liputan6.com berkesempatan mengunjungi salah satu kelas Sekolah Sungai, lokasi tak jauh dari Kali Winongo, sekitar 500 meter. Project Child itu memanfaatkan balai RT 16 RW 04 Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta untuk menjadi sebuah tempat mengajar.

Ukurannya memang tidak terlalu luas yakni panjang kira-kira 4 meter dan lebar 2 meter. Tanpa pintu ataupun jendela, balai tersebut terlihat terbuka. Beberapa pengajar dan relawan pun tampak berbaur dengan anak-anak. Mereka memberikan arahan dan beberapa kegiatan kreatif sepeti yel-yel.

Salah satu pengajar di Project Child, Panca Ratna tampak sibuk memberikan arahan kepada anak-anak didiknya. Dia dengan salah satu relawan tampak meminta tenang kepada anak-anak umur 4-6 tahun. Sebenarnya kata dia, tidak ada kriteria khusus untuk usia anak yang menjadi peserta didik di kelas Sekolah Sungai.

Akan tetapi, Panca mengatakan kebanyakan yang datang ke Sekolah Sungai anak berusia 4 sampai 12 tahun. Saat ini sudah ada sekitar 50 anak yang mengikuti kelas di Kawasan Kali Winongo ini. Kelas biasanya dilaksanakan setiap Senin pukul 16.00 WIB sampai 17.00 WIB.

Setiap kelas, kata dia, terdapat 10 pengajar yang mendampingi setiap kelompok. Untuk anak prasekolah, Panca menyebut harus ada pendekatan khusus dan kreatif. Sehingga dapat membuat kenyamanan dan pemahaman yang lebih mudah.

"Biasanya kelas ini dibagi berdasarkan umur, jadi dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok didampingi dua pengajar yang dibantu volunteer (relawan)," kata Panca, Jumat (23/11/2018).

Pertemuan setiap Minggu di Sekolah Sungai memiliki tema yang berbeda-beda. Contohnya ketika pertemuan sebelumnya, Panca menyebut anak-anak diajak mengenal mengenai kebersihan lingkungan. Mereka dituntut untuk observasi secara langsung lokasi yang dituju, yaitu toilet umum.

Warga di sekitar Sekolah Sungai Yogyakarta, menurut dia, tidak semua memiliki toilet di rumah. Karena hal itu, warga memanfaatkan toilet umum yang ada untuk keperluan sehari-hari. Dengan adanya kelas mengenai lingkungan sekitar, anak-anak mengetahui fungsi dan cara penggunaan toilet umum.

"Kalau anak-anak kelas 3-5 SD itu sudah bisa mendeskripsikan apa itu toilet, ada apa aja di toilet. Tapi kalo anak-anak pra sekolah harus ditunjukan secara langsung, sehingga mereka lebih paham dan tahu," papar dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Penyampaian Bahasa Inggris

Program Manager Sekolah Sungai, Filla Lavenia menyebut kelebihan dari kelas yang diajarkan yakni menggunakan Bahasa Inggris, meskipun tidak secara keseluruhan. Hal terpenting yaitu anak-anak mengetahui kosa kata dalam Bahasa Inggris. Sebab beberapa volunteer ada yang berasal dari luar negeri.

"Jadi setiap pertemuan mereka diajarkan beberapa kosa kata tentang lingkungan menggunakan Bahasa Inggris. Nanti lama-lama anak-anak paham dan tahu," kata dia.

Filla juga menyebut dengan penggunaan Bahasa Inggris dapat membantu keberanian komunikasi anak dengan warga negara asing (WNA). Tak hanya itu, dengan adanya kelas Sekolah Sungai ini, menurut dia, terdapat beberapa aspek kompetensi yang didapat anak-anak yang belum tentu dijangkau ketika sekolah formal.

"Jadi mereka itu kalau ada bule yang dateng langsung aja ngajak ngobrol dengan sebisanya. Terus seperti disiplin yang setiap Senin mereka dateng, terus team work, responsif gitu," ucap Filla.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Project Child, Abie Zaidannas mengatakan Sekolah Sungai ini pertama kali dibentuk tahun 2011. Dia beralasan sekolah ini guna mempermudahkan anak-anak dalam mengakses pendidikan yang baik.

Khususnya untuk kondisi masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Apalagi kawasan Kali Winongo, kata dia, seringkali banjir ketika musim hujan. Tak hanya, kawasan tersebut juga terhubung dengan Gunung Merapi.

"Di sini rentan dengan banjir dan bencana lainnya, selain masyarakat di sini rentan dari segi ekonomi, rentan dari bencana juga," ucap Abie.

 

3 dari 3 halaman

Kolaborasi Pendidikan

Penggagas dan Pengiat jaringan SMSG Najelaa Shihab menyatakan, pihaknya terus mendorong kolaborasi untuk memajukan dunia pendidikan. Gerakan ini, kata dia, dapat membentuk jejaring yang menghubungkan sejumlah komunitas dan organisasi pemerhati pendidikan.

Saat ini, kata dia, sedikitnya terdapat 473 komunitas dan organisasi pendidikan yang bergabung dalam jaringan SMSD. Bahkan melibatkan sebanyak 357.329 relawan di 252 kabupaten atau kota di Indonesia. Serta berkerja sama dengan 15 lembaga dan kementrian.

Tak hanya itu, Najelaa juga menyebut peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia yang lebih merata dapat terbiasa bila terdapat suatu kolaborasi antarelemen. Yakni antara anak, orang tua, pendidik hingga lingkungan sekolah.

"Kalau kita ingin perubahan pendidikan ke arah yang semakin baik, maka cara yang paling efektif untuk mewujudkannya adalah dengan berkolaborasi," kata Najelaa.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.